-->
    |


Belajar Ekonomi Kerakyatan Dari Tiongkok



 Oleh : Edi Soebroto
( Pemerhati Ketahanan Nasional )

Selama ini banyak yang memaknai ekonomi kerakyatan sekedar segala sesuatunya berpusat pada usaha yang dijalankan oleh orang kecil dengan jenis usaha yang juga kecil. Dalam pandangan tersebut, ekonomi kerakyatan lalu diasosiasikan dengan penjual bakso, penjual sate, tukang becak, para pengrajin, dan lain-lain sejenis itu yang harus terus didukung dan dilindungi. 

Pemahaman tentang ekonomi kerakyatan semacam itu tentu saja kurang tepat. Ekonomi kerakyatan tentu saja tidak sekedar berbicara tentang hal yang menyangkut pertukangan tersebut. Bukan itu yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan. 

Revrisond Baswir, salah seorang tim ahli di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan yaitu sebuah bangunan ekonomi yang didirikan di atas fondasi Pasal 33 UUD 1945. Ekonomi kerakyatan yaitu sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi.

Tiga prinsip ekonomi kerakyatan, menurut Revrisond Baswir, dengan mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 yaitu; pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ketiga, bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 

Jika dilihat dari substansi Pasal 33 UUD 1945 tersebut, secara eksplisit dapat dikatakan bahwa peran negara dalam mengurusi soal ekonomi kerakyatan sangat dominan, sedangkan sasaran penguasaan ekonomi yang dilakukan negara itu bermuara kepada semata-mata untuk kepentingan rakyat. 

Masih menurut Revrisond Baswir, peran negara dalam ekonomi kerakyatan dapat meliputi lima hal sebagai berikut; pertama, mengembangkan koperasi. Kedua, mengembangkan BUMN. Ketiga, memastikan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diperuntukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keempat, memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Kelima, memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. 

Ekonomi kerakyatan adalah sebuah bangunan ekonomi yang dibuat sebagai antithesa terhadap paham kebebasan ekonomi yang berdasar pada kepentingan individu. Dengan merujuk pada Pasal 33 UUD 1945, ekonomi kerakyatan dianggap menjadi senjata yang ampuh yang saat ini dapat digunakan sebagai perlawanan terhadap ekonomi neoliberal. 

Prinsip ekonomi neoliberal yaitu; pertama, bertujuan untuk mengembangkan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas di pasar. Kedua, kepemilikan yang bersifat pribadi terhadap faktor-faktor produksi harus diakui. Ketiga, pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang. Demikian yang disampaikan oleh Revrisond Baswir.

Peranan negara, dengan melihat prinsip-prinsip di dalam neoliberalisme tersebut, dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Pada perkembangannya, seperti yang diatur di dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal, antara lain; pertama, pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi. Kedua, liberalisasi sektor keuangan. Ketiga, liberalisasi perdagangan. Keempat, pelaksanaan privatisasi BUMN.

Jika dilihat dari semangat didirikannya ekonomi kerakyatan yang berbasis pada kolektivisme sebagai bentuk perlawanan terhadap semangat individualisme yang diusung penganut paham kebebasan seperti halnya neoliberalisme, dengan melihat hingga saat ini berbagai produk kebijakan negara di Indonesia yang semakin menjauh dari gagasan Pasal 33 UUD 1945, dan dengan mengakui bahwa saat ini kapitalisme, yang melekat neoliberalisme di dalamnya telah menjadi sistem dunia, bagaimana ekonomi kerakyatan seperti yang tertuang di dalam Pasal 33 UUD 1945 sebaiknya dilaksanakan?

Memang, cabang-cabang strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak harus tetap dikuasai oleh negara. Namun, dikuasainya cabang-cabang strategis oleh negara ini tidak berarti bahwa investasi modal terhadap aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat dilakukan, dengan catatan, investasi itu diatur oleh negara dengan orientasi rakyatlah yang harus menikmati hasil dari investasi tersebut. Upaya elit kekuasaan melakukan praktek rente dalam mengambil alih keuntungan dari investasi modal sebisa mungkin ditiadakan. 

Negara harus melakukan kontrol yang ketat terhadap aliran masuk dan keluar modal. Jangan sampai keuntungan jatuh pada segelintir elit kekuasaan yang dengan jabatannya dipemerintahan menggunakan jabatannya untuk mengakses keuntungan dari masuknya modal dan digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Masuknya modal tetap harus berujung pada keuntungan rakyat dalam memperoleh kesejahteraannya.

Selanjutnya, mengingat dunia saat ini telah menggunakan jalan kapitalisme dalam melaksanakan perekonomiannya, dan kapitalisme telah menjadi sistem dunia yang sedang beroperasi, maka sekiranya perlu untuk kita meredefinisikan kembali apa itu ekonomi kerakyatan. Sebuah pengertian yang harus tetap menempatkan rakyat sebagai inti persoalan dari proses penyelenggaraan negara. Maka, dapat kita katakan di sini bahwa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan tidak lain adalah rakyatlah yang harus menjadi pemain ekonomi di dalam wilayah atau di dalam negerinya sendiri.

Ekonomi kerakyatan dapat dilihat misalnya ketika ada mobil yang diproduksi oleh masyarakat Pemalang, diproduksi dan dijual sendiri dengan harga yang sangat murah yakni Rp 18 juta. Karena harganya yang murah tersebut, mobil produksi masyarakat Pemalang-pun direspon antusias oleh masyarakat luas, dan karena keterjangkauannya itu masyarakat kecil-pun dapat membelinya. 

Realitas semacam ini, jika ia mendapatkan dukungan cukup serius oleh semua kalangan, terkhusus oleh penyelenggara negara, maka akan berdampak pada meledaknya bakat-bakat yang dimiliki rakyat untuk membuat inovasi-inovasi dengan berbagai jenisnya. Masyarakat yang lain juga bisa menjadi terpacu untuk menciptakan teknologi-teknologi atau inovasi-inovasi baru lainnya.

Kondisi ekonomi kerakyatan semacam ini sayangnya kurang mendapatkan perhatian dari penyelenggara negara, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat untuk terus dikembangkan. Bukankah, jika hasil produksi rakyat semacam itu di dukung dan dikembangkan, bangsa Indonesia sudah dapat mengatasi sedikit persoalan bangsanya dalam masalah lapangan pekerjaan dan setidaknya produk Indonesia dapat didorong terus untuk ditingkatkan dalam rangka bersaing dengan industri otomotif buatan luar negeri?

Inti dari demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, setidaknya itu yang pernah disampaikan oleh Abraham Lincoln. Jika aktor utama adalah rakyat dan tujuan akhir dari proses demokrasi juga diarahkan kepada rakyat, maka, apapun yang dilakukan oleh penyelenggara negara haruslah bertitik tolak dari rakyat dan untuk kemaslahatan rakyat itu sendiri. 

Tiongkok yang dikenal menerapkan sistem pemerintahan yang tersentral dapat dijadikan sebagai contoh bagaimana rakyat selalu menjadi fokus penyelenggara negara dalam pengambilan keputusan dalam menjalankan roda negaranya. Hal itu pernah disampaikan oleh Jiang Zemin, dalam menjawab kritik pihak luar yang mengatakan bahwa Tiongkok adalah sebuah negara yang anti terhadap demokrasi. Jiang Zemin, dengan mengutip pernyataan Abraham Lincoln, “democracy is government of the people, by the people, and for the people”, lalu menjawab kritik terhadap anti demokrasi Tiongkok itu dengan mengatakan bahwa pemerintah Tiongkok dalam setiap keputusan dan tindakannya sangat peduli dengan kesejahteraan rakyat. 

Dari pernyataan Jiang Zemin yang mengatakan bahwa pemerintahan Tiongkok sangat peduli dengan kesejahteraan rakyat, dan jika kita menarik inti demokrasi sebagai sarana untuk mensejahterakan rakyat, maka, secara implisit, Jiang Zemin ingin mengatakan bahwa Tiongkok juga telah menjalankan demokrasi dengan caranya sendiri.

Ketika menempatkan rakyat sebagai aktor utama dan tujuan utama dalam proses penyelenggaraan negara, kita boleh mengatakan bahwa rakyat Tiongkok saat ini sudah lebih menikmati kesejahteraannya sekalipun pemerintahan dan negara sangat kuat terkendali. Dan, sekalipun Tiongkok menerapkan kebijakan negara yang terkendali, pada waktu yang sama, untuk urusan inovasi dan partisipasi dalam pembangunan negara, Tiongkok sendiri telah menerapkan mekanisme desentralisasi dan kompetisi selayaknya pasar bekerja.

Diterapkannya ekonomi pasar di Tiongkok saat ini tentu tidak terlepas dari peran Deng Xiaoping, salah seorang pemimpin Tiongkok yang dicap sebagai kapitalis nomor 2 setelah Liu Shaoqi di era kekuasaan pemerintahan Mao Tzetung. Pandangan-pandangan Deng Xiaoping tentang kapitalisme berawal ketika Deng di kirim ke Moscow untuk belajar (kurang lebih usianya 22 tahun pada waktu itu). Di Moscow, Deng melihat usaha industrialisasi besar-besaran oleh pemerintah komunis yang berkuasa, dan tampaknya masyarakat di surga komunis itu hidup makmur dan berkecukupan, bahkan, kekayaan tidaklah menjadi sesuatu yang dianggap tabu. 

Dengan berbekal pengalamannya sewaktu di Moscow, membuat Deng akhirnya mengutamakan industrialisasi dan modernisasi ekonomi serta menganjurkan agar rakyat “menjadi kaya”. Menurut Deng sendiri, tidak ada salahnya jika rakyat itu kaya, karena menjadi miskin itu tidak otomatis berarti sosialisme. Bagi Deng, menjadi kaya juga mulia.

Sewaktu Deng Xiaoping menjadi Deputi Menteri Keuangan dan Wakil Perdana Menteri di bawah Zhou Enlai, di bidang keuangan, Deng berhasil menerapkan arahan Mao untuk meningkatkan pemasukan, mengetatkan pengeluaran, dan fleksibilitas di masa-masa sulit, sehingga pemasukan negara pada tahun 1954 melampaui target yang ditetapkan. Ini memungkinkan pemerintah meminjamkan modal kepada industri dan perusahaan komersial.

Pada tahun 1962, Deng bahkan meluncurkan kebijakan privatisasi lahan. Kebijakan ini menggantikan kebijakan kolektivisasi lahan pertanian di masa Lompatan Besar, dan memungkinkan petani kembali memiliki lahan sendiri dan menggarapnya untuk kebutuhan mereka sendiri. 

Dengan privatisasi, petani akhirnya dirangsang untuk semakin produktif karena panenan yang mereka hasilkan akan mereka miliki sendiri, dan terserah pada mereka apakah akan menjualnya atau tidak. Dampaknya, tentu saja panen petani menjadi meningkat dan akhirnya mengalami surplus.

Revitalisasi ekonomi dan penghapusan kolektivitas yang semakin terarah pada kapitalisasi perekonomian inilah yang membuat Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping dicaci dan dituduh sebagai “Kapitalis Nomor Satu dan Dua”, yang membuat mereka berdua disingkirkan ketika Revolusi Kebudayaan dikobarkan. Mereka dianggap revisionis.

Bagi Deng, “kucing hitam” (Kapitalisme) ataupun “kucing putih” (sosialisme) tidaklah menjadi masalah, selama bisa “menangkap tikus” (menyejahterakan rakyat), itu adalah “kucing” (program ekonomi) yang terbaik. Maka saat ini dapat disaksikan bersama, atas kepeloporan Deng Xiaoping, Tiongkok menjadi negara raksasa yang telah muncul kepermukaan, dan mampu mengimbangi dominasi Amerika Serikat dikancah internasional.

Dalam babak baru kebangkitan ekonomi Tiongkok saat ini, ketika Presiden Xi Jinping memberikan pidato sepanjang 3,5 jam di Kongres Nasional ke-19 Partai Komunis China, Presiden Xi Jinping menggembar-gemborkan awal dari “era baru sosialisme dengan karakteristik Tiongkok.” Presiden Xi membedakannya dari pemikiran Deng “sosialisme dengan karakteristik China” dengan menambahkan perkataan “era baru” untuk arah kebijakan negara Tiongkok yang baru. 

Dengan menggunakan istilah “era baru,” Xi bermaksud mengejar pertumbuhan ekonomi yang lebih seimbang, yang membedakannya dengan kebijakan awal Deng Xiaoping yang melemparkan gagasan “kemakmuran awal dan umum,” yang berarti kemakmuran bagi sebagian orang (dalam jangka pendek) sehingga mencapai kemakmuran bagi semua (dalam jangka panjang). Dampak dari kebijakan Deng di awal mengakibatkan ketidaksetaraan ekonomi yang jika diilustrasikan oleh koefisien Gini China menjadi 0.465.

Saat ini, dengan menggunakan “era baru sosialisme dengan karakteristik Tiongkok”, Presiden Xi akan berupaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan jalan lebih seimbang. Dan untuk mencapai tujuan “masyarakat yang cukup makmur” pada tahun 2020. Xi juga akan mempromosikan inovasi industri secara aktif.

Dalam pidatonya, Presiden Xi berulang kali menekankan perlunya dilakukan reformasi ekonomi dan inovasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurut Presiden Xi, inovasi merupakan kekuatan pendorong utama dalam pembangunan, dan landasan strategis dalam membangun masyarakat modern. 

Dengan itu, Presiden Xi Jinping akan terus memperkuat kemampuan inovasi domestik di bidang digital, teknik, genetik, kedirgantaraan, dunia maya, dan teknologi cerdas. Dan dari pernyataan Presiden Xi Jinping itu, kita bersama-sama dapat menangkap maksud Presiden Xi, bahwa Tiongkok, di “era baru untuk sosialisme dengan karakter Tiongkok,” di bawah komando Presiden Xi dan Partai, akan mendorong rakyatnya untuk bergerak dalam kerangka sains dan inovasi teknologi dan saat ini siap membawa Tiongkok masuk ke dalam Zaman Baru.

Lantas, ketika kita melihat perkembangan Tiongkok, termasuk India, Rusia, dan negara lainnya yang sangat luar biasa dalam mengembangkan ekonominya yang berbasis pada sains dan inovasi teknologi seperti saat ini, apakah kita, bangsa Indonesia, masih tetap mendefinisikan ekonomi kerakyatan kita semata-mata pro terhadap tukang sate, tukang becak, atau para pedagang angkringan sebagai pilar ekonomi kita? Dapatkah bangsa Indonesia akan bangkit dengan itu jika dunia saat ini sudah memasuki era Revolusi Industri 4.0 ? ***
Komentar

Berita Terkini