![]() |
Gambar : Ilustrasi |
Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara dalam beberapa tahun terakhir menjadi sorotan nasional. Data BPS mencatat bahwa laju pertumbuhan ekonomi provinsi ini meningkat signifikan, dari 20,49% pada 2023 menjadi sekitar 25,22% pada 2024, dan mencapai rata-rata sekitar 34% pada 2025 (rata-rata Triwulan I dan II). Lonjakan ini terutama didorong oleh ekspansi sektor pertambangan dan industri pengolahan mineral berbasis nikel di kawasan industri Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan dll.
Di balik angka yang impresif, terdapat dinamika sosial yang menarik yakni pencapaian dalam dimensi sosial masih relatif terbatas. Jumlah penduduk miskin hanya turun dari 83,80 ribu jiwa pada 2023 menjadi 77,27 ribu jiwa pada 2025. Tingkat kemiskinan juga hanya menurun tipis, dari 6,46% menjadi 5,81% dalam periode yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa trickle-down effect dari pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan berjalan lambat.
Lebih jauh, Indeks Gini yang digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan menunjukkan stabilitas relatif, yaitu 0,328 pada 2023 menjadi 0,320 pada 2025. Stabilitas ini menunjukkan bahwa ketimpangan tidak memburuk, namun juga tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak otomatis diikuti oleh peningkatan pemerataan pendapatan.
Dari perspektif pembangunan inklusif, fenomena ini menegaskan adanya paradoks pertumbuhan di Maluku Utara. Ekonomi tumbuh sangat cepat berkat sektor ekstraktif dan hilirisasi, tetapi capaian sosial seperti pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan hanya bergerak marginal. Situasi ini berpotensi menimbulkan risiko "growth without development," di mana pertumbuhan ekonomi makro tidak sepenuhnya tercermin dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat.
![]() |
BPS diolah |
Breaks / Pemicu Pertumbuhan Ekonomi Maluku Utara 2025
Diolah Dari berbagai sumberKinerja ekonomi Maluku Utara tidak bisa dilepaskan dari strategi hilirisasi mineral. Ekspor produk olahan berbasis nikel, terutama ferro-nikel dan baterai listrik, menjadi motor utama pertumbuhan. Peran ekspor semakin krusial karena selain meningkatkan devisa, serta menumbuhkan sektor pendukung seperti transportasi, logistik, kuliner, hingga jasa. IWIP bahkan dilaporkan menyerap lebih dari 75 persen tenaga kerja lokal, sehingga memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang cukup besar terhadap perekonomian daerah.
- Pertumbuhan >30% sebagian besar digerakan oleh pertambangan dan industri pengolahan nikel/kobalt
- Risiko : Perdagangan nikel mengikuti mekanisme pasar global sehingga bila terjadi penurunan harga nikel global atau terjadi pembatasan ekspor maka pertumbuhan bisa anjlok drastis (vulnerable to external shocks)
- Sektor seperti pertanian, perikanan,hingga UMKM mengalami pertumbuhan relatif kecil dan stagnan sehingga ekonomi tidak terdiversifikasi.
- Pertumbahan besar belum otomatis menurunkan kemiskinan struktural atau memperkecil ketimpangan antar kabupaten/kota
- Ekspansi tambang Nikel dan smelter berpotensi menimbulkan masalah lingkungan : pencemaran air , deforestasi dan limbah industri
- Konflik lahan dan sosial dengan masyarakat adat/pesisir menjadi potensi terbuka
- Infrastruktur publik (jalan, pelabuhan, energi, air bersih) belum linear dengan kecepatan ekspansi industri
- Pemerintah daerah menghadapi tantangan regulasi, pengawasan, dan kapasitas fiskal untuk memastikan pertumbuhan berkelanjutan
- Pertumbuhan bisa jadi hanya angka mikro tanpa mencerminkan hidup masyarakat
- Gizi, kesehatan, pendidikan dan ketahanan pangan masih menghadapi tantangan dan masalah
- Potensi kutukan sumber daya jika tidak ada diversifikasi sektor produktif