![]() |
| Foto istimewa |
Pemuda Kelurahan Bobo
Banjir lumpur yang terjadi di Kelurahan Bobo, Kota Tidore Kepualauan, bukan pertama kali. Berapa bulan lalu, juga terjadi hal yang sama saat hujan deras mengguyur Kota Tidore dengan intensitas tinggi. Narasi bersiliweran di media massa, pro dan kontra menerka sambil meraba sumber yang memperparah keadaan alam tersebut.
Banjir bukan sekadar akibat tingginya curah hujan, tersimpan persolan lebih dalam dan rumit dibalik peristiwa ini: masyarakat awam, mungkin saja tidak pernah melihat dan perhatikan dengan serius, sebab focus meraka tertuju pada respon dan tanggapan cepat pemerintah Kota Tidore yang serius mengupayakan solusi untuk ini.
Tidak dengan saya secara pribadi, sebagai generasi muda yang lahir dan tumbuh besar dari Kelurahan Bobo, saya melihat beberapa hal yang sejauh ini semacam kado beracun dibalik peristiwa banjir yang kesekian kalinya terjadi.
Saya melihat lebih pada psikologi masyarakat terdampak, sangat terganggu psikologinya, meski mereka terlihat beraktivitas seperti biasanya. Ketakutan-ketakutan kecil yang menggumpal di mata masyarakat Kelurahan Bobo tidak mampu dilihat dengan teropong tim gerak cepat merespon bencana berikut solusinya.
Bagaimana pun, pembangunan gorong-gorong, drainase atau sejenisnya bagi Pemerintah merupakan solusi. Bagi saya, ini hanya sebatas menyentuh bagian terluar dari luka di tengah-tengah gangguan psikologi yang paling akut di mata masyarakat. Pemerintah kerja keras mengobati dari luar (membangun drainase, gorong-gorong dan oembersihan), dan membiarkan peradangan (ketakutan) menjadi akut dibagian dalam daging.
Warga Bobo sudah lama meyakini bahwa banjir yang membawa lumpur dan batu bukan hanya karena hujan deras, melainkan akibat aktivitas penambangan Galian C di daerah perbukitan, (Lihat: reportmalut.com). Keyakinan ini muncul dari pengalaman langsung: setiap kali hujan turun, air yang meluap bukan hanya membawa air, tetapi juga material berat seperti pasir dan kerikil dalam jumlah besar. Kondisi ini menandakan bahwa struktur tanah di hulu sudah terganggu.
Namun, pemerintah daerah justru menyatakan hal berbeda. Kalak BPBD Kota Tidore, Muhammad Abubakar menilai banjir ini adalah akibat alamiah dari hujan dan erosi, bahkan menyebut bahwa kemungkinan dampak dari memperluas lahan pertanian. Begini pernyataannya dilansir zonatimur.id (23/9/2025), "Yang kami cek aliran air itu berasal dari gunung karena hujan deras, mungkin karena ada perluasan lahan pertanian sehingga terjadi penebangan pohon,”.
Pernyataan ini menimbulkan jarak antara pengalaman masyarakat dan narasi resmi pemerintah, yang pada akhirnya memperlebar jurang kepercayaan Masyarakat terhadap Pemerintah.
Penambangan Galian C di wilayah perbukitan, tentunya berpotensi besar memicu erosi dan mempercepat aliran air permukaan. Ketika lapisan tanah atas (topsoil) dihilangkan, tanah kehilangan kemampuan menyerap air. Akibatnya, saat hujan turun, air langsung mengalir deras membawa partikel tanah dan batu ke wilayah bawah. Dampak ini semakin besar jika vegetasi penahan air sudah hilang, semua orang sadar akan hal itu.
Dengan kata lain, banjir lumpur di Bobo bukan fenomena acak. Ini adalah konsekuensi logis dari kerusakan ekologis yang diabaikan. Karena itu, menolak keterkaitan antara aktivitas tambang dan banjir berarti sama halnya menolak bukti empiris yang sudah terlihat jelas di lapangan.
Saat ini, diakui Pemerintah memang cepat merespons setiap kali banjir terjadi, mengirim alat berat, mengevakuasi warga, dan membersihkan jalan nasional yang tertutup lumpur. Bukankah semua itu hanyalah tindakan darurat, bukan solusi jangka panjang?.
Upaya seperti pembangunan gorong-gorong atau normalisasi sungai dan sebagainya memang terlihat konkret, namun tanpa menghentikan sumber masalah di hulu, bencana yang sama akan terus berulang, bahkan bukan hari ini saja, besok pun masih terus terjadi.
Respons seperti ini menunjukkan pola kebijakan yang reaktif dan bersifat “paliatif” hanya meredakan gejala tanpa menyembuhkan penyakitnya. Ketika pemerintah menolak untuk meninjau kembali izin tambang, atau bahkan menyangkal dampak yang dihasilkan, mereka sesungguhnya memperpanjang siklus bencana.
Dampak yang paling berbahaya dari bencana ini bukan hanya kerusakan fisik, tetapi luka psikologis yang dialami warga. Curah hujan kini bukan lagi tanda alam yang menyejukkan, melainkan pemicu rasa takut. Warga hidup dalam kewaspadaan terus-menerus, khawatir setiap kali awan gelap datang. Kondisi ini menimbulkan apa yang disebut psikolog sebagai stres lingkungan kronis, yakni rasa cemas yang berulang karena ancaman bencana yang tak kunjung selesai.
Lebih parah lagi, ketidakpercayaan kepada pemerintah tumbuh seiring penolakan otoritas untuk mengakui penyebab sebenarnya. Ketika pengalaman warga dianggap berlebihan atau tidak sah, masyarakat merasa diabaikan. Akibatnya, terjadi erosi kepercayaan sosial yang dapat lebih merusak daripada banjir itu sendiri. Rasa jenuh dan lelah warga (“kami sudah bosan dengan situasi ini” sumber: reportmalut.com) bukan sekadar keluhan. Itu adalah bentuk keputusasaan terhadap sistem yang mereka anggap tidak berpihak. Dalam jangka panjang, hilangnya rasa percaya ini dapat mengganggu stabilitas sosial dan solidaritas komunal, dua hal yang sangat penting dalam menghadapi bencana.
Pemerintah seharusnya melihat persoalan ini bukan sekadar urusan teknis, tetapi juga moral dan psikologis. Menjaga kepercayaan publik berarti berani mengakui kesalahan dan memperbaikinya, bukan menutupi dengan narasi yang menenangkan. Transparansi dan keberanian mengakui penyebab bencana adalah langkah awal untuk memulihkan hubungan dengan masyarakat.
Sikap defensif justru menunjukkan adanya masalah psikologis dalam institusi pemerintahan: ketakutan untuk kehilangan citra atau kekuasaan. Padahal, keberanian mengakui kesalahan adalah bentuk kepemimpinan sejati. Pemimpin yang baik tidak diukur dari seberapa lihai ia menghindari kritik, tetapi dari seberapa tulus ia memperbaiki keadaan meski harus menghadapi risiko politik.
Pemulihan pasca-bencana tidak hanya soal memperbaiki jalan, saluran buangan atau jembatan yang rusak. Lebih penting dari itu adalah memulihkan rasa aman dan kepercayaan warga. Pengakuan terhadap penyebab banjir, termasuk keterlibatan aktivitas Galian C, merupakan langkah penting untuk memulai pemulihan psikologis kolektif.
Kesejahteraan masyarakat tidak bisa diukur hanya dari pembangunan fisik atau kecepatan penanganan teknis. Kualitas hidup yang sejati tercermin dari rasa aman, kebebasan dari ketakutan, dan keyakinan bahwa pemerintah hadir untuk melindungi, bukan menutupi.
Kota Tidore Kepulauan kini berada di persimpangan jalan: tetap mempertahankan narasi penyangkalan atau berani menempuh jalan kebenaran. Pengakuan terhadap kerusakan akibat Galian C bukanlah bentuk kelemahan, melainkan tanda keberanian moral dan tanggung jawab sosial.
Banjir di Bobo tidak boleh lagi dianggap sekadar fenomena alam. Banjir adalah peringatan keras tentang apa yang terjadi ketika kebijakan pembangunan mengabaikan keseimbangan lingkungan dan suara masyarakat terdampak. Dan seperti halnya sungai yang terus mencari jalannya ke laut, kebenaran pun pada akhirnya akan menemukan jalan keluar, entah diakui atau dipaksa oleh kenyataan.
