-->
    |



Ketika Mantan Legislator di Panggung Pemuda : Antara Rehabilitasi Citra dan Bayang-bayang Manuver Politik


Penulis;

Hairil Sadik, Pemuda Kelurahan Bobo


Musyawarah Pemuda Kelurahan Bobo periode 2025–2027, yang sejatinya menjadi forum regenerasi dan aktualisasi gagasan anak muda, mendadak berubah arah.

Alih-alih menjadi ruang murni inisiatif pemuda, forum ini justru dikomandoi oleh figur lama yang telah lama tenggelam dari kancah publik, Hambali Muhammad, mantan anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan periode 2014–2019. Ia tampil sebagai pimpinan sidang, mengatur alur musyawarah, mengarahkan dinamika diskusi, dan pada akhirnya menciptakan ketegangan intelektual di antara peserta yang mempertanyakan motif kehadirannya.

Langkah Hambali ini menimbulkan pertanyaan serius dan mendalam, apa sebenarnya yang sedang ia kejar?.

Politisi Senyap yang Kini Muncul Sebagai Juru Arah

Kita tidak bicara tentang tokoh sembarangan. Hambali pernah duduk di lembaga legislatif Kota Tidore selama lima tahun, suatu masa yang seharusnya cukup untuk menunjukkan keberpihakan, menyuarakan kepentingan masyarakat atau merumuskan kebijakan penting bagi wilayah seperti kelurahan Bobo, yang selama ini hanya menjadi bayang-bayang dalam peta pembangunan Tidore. Tapi sayangnya, tak ada catatan monumental, tak ada warisan kebijakan yang dapat dibanggakan, bahkan suara yang bersifat keberpihakan pun nyaris tak terdengar.

Bukankah orang yang telah mencederai kepercayaan publik yang dia dapatkan dengan susah payah partisipasi masyarakat adalah kesalahan fatal?

Orang-orang seperti ini akan bertingkah pongah dan masa bodoh terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh publik, oleh masyarakat di kelurahan Bobo. Jangan heran, saat ini efeknya begitu terasa, masyarakat seakan bersikap skeptis jika kemudian mendapati wakil rakyat yang pongah dan masa bodoh seperti sebelumnya. Sikap skeptis ini akan berdampak pada munculnya apatisme bahwa ada atau tidaknya wakil rakyat tidaklah berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Kelurahan Bobo.

Kita lihat sekilas sebuah filosofi, gambaran pemerintah yang Utopia, oleh Thomas More dalam bukunya “The Best State of a Commonwealth and The New Island or Utopia”. Bahwa kerapkali rakyat/masyarakat masih dirugikan oleh hasil kerja sama itu. Kerja sama dalam hal ini adalah nota kesepakatan saat ajang demokrasi dihelatkan untuk memilih serta menunjuk siapa yang mewakili suara mereka secara kolektif di pemerintahan.

Hal ini perlu bagi kita untuk merefleksikan seperti apa tanggungjawab, suara masyarakat diakomodir oleh pemerintahan. Jelasnya, semasa dirinya menjadi Anggota Dewan, Wakil masyarakat yang harusnya benar-benar mampu untuk mengangkat suara dari bawah, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga negara, seluruh masyarakat terutama di Kelurahan Bobo, ternyata jauh dari kata terwujud.

Semasa menjadi Perwakilan masyarakat sebagai anggota dewan, Hambali mestinya memainkan tiga fungsi utama yakni : legislasi, anggaran, dan pengawasan. Namun dalam praktiknya, ia menjadi bagian dari barisan politisi senyap yang menjalani jabatan bak rutinitas administrasi tanpa greget ideologi atau keberanian membela kepentingan masyarakat di Kelurahan Bobo. Ia tidak dikenal sebagai penggerak isu, tidak pula dikenang sebagai pembela masyarakat, petani, nelayan, kelompok kreatif produk rumah tangga dan terutama kelompok pemuda di Kelurahan Bobo.

Maka tak heran, jika ketika masa jabatannya berakhir, nama Hambali ikut menghilang bersama kepentingan-kepentingan yang pernah ia wakili. Tak ada suara perpisahan, tak ada evaluasi terbuka, dan tak ada pertanggungjawaban moral terhadap publik atas kinerjanya selama lima tahun menjabat, Ia lenyap dalam senyap.

Namun kini, secara mengejutkan, ia kembali. Tapi bukan di panggung dewan, bukan pula dalam forum diskusi kebijakan publik, melainkan dalam ruang musyawarah pemuda Kelurahan Bobo. Yang lebih menggelikan, ia tidak hanya hadir sebagai peserta biasa, tapi langsung memegang palu pimpinan sidang.

Panggung Regenerasi Dijadikan Arena Cuci Nama

Musyawarah pemuda adalah forum sakral, sangat penting bagi proses kaderisasi dan kemandirian pemikiran generasi muda. Di situlah gagasan segar lahir, sebuah arah baru dibentuk, dan semangat kritis akan diasah. Ketika seorang mantan anggota dewan yang gagal menunjukkan prestasi politik justru memimpin jalannya forum ini, maka musyawarah itu telah kehilangan ruhnya dalam seketika.

Ini bukan semacam nostalgia baru? Ataukah langkah terencana untuk membangun kembali jejaring dan simpati menjelang momentum politik baru?.

Kita tak bisa menafikan bahwa ruang-ruang pemuda kini mulai dibidik sebagai tempat strategis oleh para politisi usang yang kehilangan panggung. Mereka sadar bahwa suara anak muda adalah kekuatan baru yang belum mapan dan mudah dibentuk. Dalam konteks itulah, kehadiran Hambali bisa dibaca sebagai langkah oportunistik, memanfaatkan forum musyawarah sebagai kendaraan untuk rehabilitasi citra dan pemanasan mesin politik.

Lebih ironis lagi, musyawarah ini sedang memilih pemimpin baru pemuda Kelurahan Bobo, dua nama yang deal terdaftar sebagai Calon kuat Ketua Umum Ikatan Pemuda Bobo adalah Habir Hamid dan Alan Hasan. Namun proses ini seolah-olah dikawal oleh tokoh yang seharusnya sudah “pensiun” dari panggung publik. Alih-alih membiarkan pemuda mengambil kendali penuh atas nasib organisasinya sendiri, Hambali justru menjadi “sutradara yang tampil di depan layar.

Saya pikir, jangan sampai kehadirannya di tengah-tengah generasi muda dapat memicu konflik tanpa disadari, pemuda dan pemudi terbelah pada polarisasi aksi dukung-mendukung siapa tokoh mereka, yang seringkali direspons secara emosional. Hal seperti ini, pada akhirnya tidak dapat menciptakan ruang ketentraman bagi masyarakat karena minim konfirmasi validitas soal kebenaran pembelaanya tentang segala bentuk keegoisan sebagai tokoh publik beberapa waktu lalu.

Kepalsuan Partisipasi dan Bahaya Kooptasi Ruang Pemuda

Keterlibatan tokoh senior dalam kegiatan pemuda tidak otomatis salah. Tetapi menjadi masalah besar ketika keterlibatan itu tidak dilandasi refleksi kritis atas masa lalu, tidak disertai itikad jujur untuk memperbaiki diri, dan apalagi jika itu hanya dijadikan alat untuk mencuci nama yang telah luntur. Yakin saja, noda itu tidak akan hilang dari jubah suci suara dan amanat masyarakat yang dititipkan padanya semasa menjadi wakil masyarakat.

Kita semua sudah bertemu dan tahu bahwa tipe ideal seorang wakil rakyat yang diidam-idamkan pada masa itu ternyata kembali mengkhianati kita. Lantas, kita tidak mau sikapi hal itu secara profesional sebagai bagian dari generasi muda?.

Anggap saja, kita tidak akan melihat, atau tidak pernah melihat sosok-sosok wakil rakyat yang amanah yang setia mewujudkan meski hanya sebagian kecil aspirasi masyarakat di Kelurahan Bobo.

Hambali Muhammad seharusnya tahu, bahwa memperbaiki citra tidak bisa dilakukan dengan cara menyusup ke forum anak muda dan mengklaim diri sebagai pembina, penyambung aspiras atau tokoh netral.

Sebelum berbicara tentang masa depan, ia wajib menjelaskan masa lalunya, mengapa selama lima tahun menjadi anggota DPRD, tidak ada legacy yang berarti bagi masyarakat kelurahan Bobo?. Mengapa suara pemuda, suara perempuan, dan suara adat, suara anak-anak yang mengalami kasus diskriminasi dan rasis nyaris tak pernah mendapatkan ruang dalam pernyataan-pernyataannya?.

Kalau kita bermimpi bahwa dengan perbaiki citranya, ia akan kembali membela suara kita sebagai masyarakat yang saat ini masih jauh dari perhatian pembangunan di Kota Tidore, maka mimpi seperti ini sebaiknya dihapuskan dalam kepala kita.

Ingat, salah satu tokoh terpenting dalam sejarah modern Amerika yang dianggap sebagai pahlawan perdamaian. Dalam buku Why? People, Martin Luther King Jr, mengulas mengenai perjuangannya dalam menghapuskan diskriminasi ras, melakukan gerakan anti kekerasan, serta memperjuangkan hak asasi manusia dan perdamaian dunia.

Kita tidak serta merta menginginkan Martin Luther menjadi contoh buat Hambali. Akan tetapi, Hambali yang saat itu sebagai seorang yang ditunjuk, dipilih oleh masyarakat untuk mengakomodir aspirasi masyarakat, terlebih lagi sejumlah kasus diskriminasi yang selama ini masih ditanggung oleh masyarakat di Kelurahan Bobo, dirinya bungkam. Sampai sejauh ini, semasa dirinya menjadi Anggota Dewan dan sebagai perwakilan masyarakat, sejumlah kasus diskriminasi bahkan semakin jauh dari radar rasional dirinya.

Partisipasi palsu seperti ini bukan hanya berbahaya bagi integritas ruang pemuda, tapi juga mencoreng semangat regenerasi. Alih-alih menjadi ruang bebas intervensi, forum pemuda malah berubah menjadi arena bayangan kekuasaan lama yang mencoba hidup kembali dengan wajah baru.

Pemuda Bukan Alat Politik, Tidak Boleh Jadi Korban Politik Ingatan Pendek

Apa yang sedang terjadi di Kelurahan Bobo adalah contoh klasik bagaimana tokoh politik yang kehilangan panggung berusaha naik ke atas panggung yang bukan miliknya, dengan cara yang halus tapi manipulatif. Hambali tahu bahwa politik lokal memiliki ingatan pendek. Ia tahu banyak orang lupa pada siapa yang pernah menjabat dan siapa yang gagal menjalankan amanah. Maka ia memilih cara yang halus, masuk ke ruang pemuda, tampil sebagai fasilitator, dan perlahan membangun kembali simpati.

Namun, pemuda hari ini bukan pemuda yang bisa dibungkam dengan simbol formalitas dan basa-basi politik tua. Generasi muda di Kelurahan Bobo punya hak untuk menolak politisasi ruang mereka. Mereka punya hak untuk mempertanyakan kehadiran tokoh-tokoh usang yang mencoba kembali ke panggung tanpa proses pertanggungjawaban.

Meminjam kata W. H. Auden seorang penyair berkebangsaan Amerika yang getol bicara soal saling mencintai dalam setiap bait-bait puisi kritisnya, meramalkan dunia pada sebuah kalimat “Kita harus saling mencintai satu sama lain atau mati”. Pandangan yang lugas ini menangkap urgensi yang timbul akibat banyaknya ujaran kebencian antar sesame manusia.

Tulisan ini, tidak ada maksud sebagai ujaran kebencian, tulisan ini mengulas sedikit lebih banyak semua hal nyata yang sejauh ini telah terjadi di tengah-tengah lingkungan kita, antara tokoh politik dan generasi muda. Ada yang lebih memilih mati (Hengkang dari harapan masyarakat) dari pada saling mencintai, tapi itu sudah berlalu.

Jadi, kehadiran Hambali ditengah-tengah pemuda Kelurahan Bobo bukan sebagai urgensi keberpihakan. Sebab urgensi tersebut tidak dapat membangun kesadaran kolektif yang dapat menyadarkan kita mengenai tantangan yang sangat krusial yang kita alami sejak ia menjadi wakil kita sebagai Anggota Dewan periode itu.

Kalau memang Hambali niatnya tulus memperbaiki nama, maka langkah pertama adalah refleksi jujur dan terbuka. Sampaikan kepada publik, pada masyarakat kelurahan Bobo, mengapa selama menjabat ia gagal menunjukkan keberpihakan yang nyata. Mengapa ia lalai dari cinta yang masyarakat berikan padanya. Akui apa yang luput, dan berhentilah berpura-pura netral dalam forum yang bukan tempat dia lagi.

Turun Gunung Boleh, Tapi Jangan Mendaki dengan Kepalsuan

Hambali Muhammad mungkin merasa bahwa dengan “turun gunung” ke level pemuda, ia bisa membangun ulang kredibilitasnya. Tapi publik di Kelurahan Bobo tak sependek ingatan itu. Mereka tahu, bahwa panggung pemuda bukan tempat untuk membersihkan jejak kegagalan masa lalu. Turun ke bawah bukan berarti menyaru menjadi bagian dari rakyat, jika tak disertai keberanian untuk mengakui kesalahan masa lalu.

Tentunya semua orang, semua pemuda, pemudi dan masyarakat di Kelurahan Bobo tidak menginginkan lembaga pemuda menjadi panggung cuci nama. Lembaga pemuda jangan sampai terafiliasi oleh politik senyap dari para politisi yang mengais kepentingan untuk masa mendatang.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin katakan bahwa Musyawarah Pemuda Kelurahan Bobo periode 2025–2027 harusnya menjadi momentum regenerasi sejati. Bukan jadi panggung para mantan, bukan jadi ladang kepentingan tersembunyi, dan bukan ruang aman untuk politisi yang ingin kembali bersinar tanpa mau mengakui, bahwa dulu ia pernah mengecewakan dan bahkan tidak mewakili aspirasi masyarakat di Kelurahan Bobo. (*)


Komentar

Berita Terkini