Hairil (Pemuda Kelurahan Bobo)
Di negeri ini, janji tentang pendidikan yang hebat, sejahtera, dan merata seringkali serupa layang-layang di musim hujan, melayang tinggi di angkasa, tapi talinya basah dan putus sebelum sempat kita tarik. Namun kali ini, Maluku Utara coba mengikat layang-layang itu lebih kuat.
Dalam peluncuran Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Ternate, Pemerintah Provinsi Maluku Utara akhirnya menyuarakan komitmen yang terdengar serius. Mulai tahun 2026, guru non-sertifikasi akan mulai mendapatkan Tunjangan Kinerja (Tukin), ini luas biasa komitmennya.
Plt Kepala Dinas Pendidikan Abubakar Abdullah dan Gubernur Sherly Tjoanda berdiri di panggung kebijakan dan menyampaikan komitmen manis itu di hadapan para pendidik dan pejabat. Bagi sebagian orang, mungkin ini terdengar biasa. Tapi bagi ribuan guru yang telah bertahun-tahun mengabdi hanya dengan gaji pokok, ini adalah embun di tengah kemarau panjang.
Dari total 5.929 guru SMA, SMK, dan SLB se-Maluku Utara, sebanyak 3.872 guru belum bersertifikasi dan tak pernah merasakan tunjangan profesi, menurut laporan dalam artikel tribunternate.com 28 Mei.
Mereka inilah yang akan menjadi sasaran awal dari kebijakan Tukin ini. Sebuah langkah yang layak disambut, meski tetap perlu dikawal—sebab terlalu banyak janji pendidikan yang sebelumnya hanya berhenti di meja konferensi pers.
Namun, ketika seberkas cahaya tampak di sektor pendidikan, suara jeritan lain terdengar dari balik rimba Halmahera, dari sungai yang menghitam, dari langit yang menurunkan debu, bukan hujan.
Tiga lembaga yakni Forum Studi Halmahera, Trend Asia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) baru saja merilis laporan kelam bertajuk “Daya Rusak Hilirisasi Nikel : Kebangkrutan Alam dan Derita Rakyat Maluku Utara”.
Dalam laporan itu, terungkap wajah muram dari proyek hilirisasi yang selama ini diklaim sebagai penyelamat ekonomi nasional. Semua orang dibajak pemikirannya agar setuju dengan proyek tersebut. Namun, di balik gegap gempita industri nikel, ada cerita deforestasi, pencemaran, dan derita yang disapu di bawah karpet narasi kemajuan.
Sejak 2001, Kabupaten Halmahera Tengah kehilangan lebih dari 26 ribu hektare tutupan pohon, sementara Halmahera Timur kehilangan lebih dari 56 ribu hektare. Di bawah tanah yang digali, bukan hanya nikel yang dicabut, tapi juga akar pohon, sumber air, sejarah panjang hutan-hutan alami dan bahkan kenangan masyarakat disana.
Dampak buruknya tak berhenti di hutan. Daerah Aliran Sungai (DAS) rusak parah akibat aktivitas tambang. Semua masyarakat lingkar tambang mengetahui dan menyadari hal ini. Sungai Sagea merupakan jantung kehidupan warga desa yang dulu bening dan sejuk, kini tercemar limbah, penyakitnya airnya sudha mulai nampak.
Di Teluk Weda, Teluk Buli, dan perairan Pulau Obi dilaporkan mengandung zat beracun di atas ambang baku mutu. Akibatnya, bukan hanya nelayan kehilangan tempat menangkap ikan. Ikan yang ditangkap pun telah terdampak. Sementara di Desa Lelilef, angka Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) meningkat, diduga akibat polusi entah itu pembangkit batu bara atau aktivitas perusahaan yang menyuplai listrik ke kawasan industri.
Tak hanya alam, tubuh manusia pun jadi korban. Laporan Tempo, 29 Mei dalam sebuah artikel dengan tema " Hilirisasi Nikel Dikeluhkan Berdaya Rusak di Maluku Utara, dari Deforestasi sampai Represi", Sejak operasional PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dimulai pada 2018, telah terjadi empat ledakan dan satu kebakaran besar. Ledakan smelter di akhir 2023 bahkan menewaskan 25 buruh dan melukai puluhan lainnya.
Di tengah itu semua, angka kemiskinan di Maluku Utara justru meningkat. Bukannya makmur, rakyat justru semakin terpinggirkan. Maka, pertanyaannya jelas : Jika tambang menggerus hutan, mencemari air dan udara, serta meningkatkan kemiskinan, lalu kemakmuran itu milik siapa?
Kita kembali ke ruang kelas, ke papan tulis yang mulai lapuk, ke guru-guru yang masih menulis dengan kapur karena belum pernah merasakan digitalisasi, sampai guru-guru yany suka selfi meski gaji mereka tidak serasi. Kita tidak bisa bicara masa depan jika masa kini sedang digerus buldoser. Memberi Tukin kepada guru adalah keharusan moral, tapi membiarkan desa tempat sekolah berdiri dihancurkan industri adalah bunuh diri ekologis menurut hemat saya. Ibarat membangun gedung sekolah di tanah longsor, indah di foto, tapi tragis dalam kenyataan. Maka, kiranya dua solusi ini harus dijalankan bersamaan, tidak bisa ditunda.
Pertama, pastikan implementasi Tukin tidak macet di jalan birokrasi. Jangan jadikan ini semata sebagai retorika menjelang pemilu. Libatkan organisasi guru, audit secara terbuka, dan permudah proses bagi yang belum sertifikasi. Jangan sampai guru kembali menjadi korban dari sistem yang mereka harap selamatkan nasib mereka.
Kedua, dorong moratorium industri ekstraktif di Maluku Utara, saya pikir hal ini sudah dilakukan sebelumnya. Setiap izin tambang baru harus ditinjau ulang dengan melibatkan warga terdampak. Supaya adil melihat suara dari warga Patani, Buli, hingga Sagea atau masyarakat lingkar tambang lainnya bukanlah gangguan pembangunan, tapi suara alarm dari masa depan. Jika kita terus meminggirkan mereka, menolak suara meraka, kita sedang mendidik anak-anak untuk menjadi pemimpin di atas puing-puing kampung mereka sendiri, tujuan memajukan pendidikan hanya menjadi mimpi kosong.
Bayangkan jika suatu hari, anak-anak yang kita didik bertanya: "Kenapa sekolahku bagus, tapi sungaiku mati?", Ikan hasil tangkap ayahku tercemar? Apakah kita siap menjawabnya?
Pembangunan yang mencerdaskan tapi merusak akar kehidupan, hanya akan menjadi ironi yang ditertawakan sejarah. Mari kita bayangkan masa depan yang utuh, di mana guru dihargai, murid sehat, dan tanah tetap bernyawa.
Sejatinya bangsa besar bukan hanya yang membangun gedung tinggi, memberi izin ekploitasi demi mendorong pendapatan daerah, tapi yang tahu cara menjaga bumi tempat gedung itu berdiri, terutama di tanah Halmahera. (*)