|


Dibalik Topeng Festival Kota Tidore Kepulauan: Selebrasi Megah di Tengah Inkompetensi Kebijakan

Tirta Wowotubun ( Mahasiswa Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nuku )

Penulis : Tirta Wowotubun

Mahasiswa Fakultas Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Nuku 


Dibalik Topeng Festival Kota Tidore Kepulauan: Selebrasi Megah di Tengah Inkompetensi Kebijakan

Transisi kalender dari 2025 menuju 2026 bukan sekadar pergantian angka, melainkan sebuah fase transisional yang menyingkap tabir kontradiksi sosiopolitik. Di tengah tumpukan polemik yang tak kunjung terurai, publik justru disuguhi rentetan agenda seremonial yang masif. Secara epistemologis, fenomena ini merupakan bentuk "anestesi sosial" sebuah upaya sistematis untuk mematikan nalar kritis rakyat agar mereka abai terhadap inkompetensi para pemangku kebijakan dalam menjalankan mandat konstitusionalnya.

Kesenjangan antara realitas objektif dan agenda permukaan ini menemukan bentuk nyatanya dalam lanskap domestik Kota Tidore Kepulauan. Ketika persoalan fundamental masyarakat belum tersentuh solusi, otoritas justru sibuk memproduksi simulasi kegembiraan melalui berbagai perhelatan akhir tahun. Kompetisi domino berhadiah ratusan juta hingga Lokas Fest dengan anggaran fantastis hadir sebagai tontonan megah yang dalam kacamata Karl Marx, berfungsi sebagai opium bagi massa. Di sini, festival menjadi alat untuk menciptakan kesadaran palsu false consciousness, di mana rakyat dipaksa merayakan kegembiraan artifisial agar lupa akan penderitaan struktural yang mereka alami akibat kegagalan tata kelola.

Ketiadaan dampak nyata tersebut kemudian memicu pertanyaan eksistensial mengenai tujuan di balik pemborosan sumber daya ini. Jika ditelusuri lebih dalam melalui lensa Michel Foucault, keganjilan ini merupakan manifestasi dari relasi kuasa yang bekerja secara mikroskopis. Kekuasaan tidak lagi bekerja melalui represi fisik, melainkan melalui pengaturan "tubuh sosial" dalam bentuk event-event hiburan. Politik dalam perspektif Auguste Comte yang bertujuan melanggengkan kekuasaan bersenyawa dengan teknik bio-politik Foucault: penguasa mengatur suasana hati dan perhatian publik agar tetap patuh di bawah narasi "keberhasilan" yang dipentaskan di panggung festival.

"Panggung-panggung seremonial ini sejatinya adalah teater politik di mana kegagalan administratif disamarkan dengan selebrasi yang megah."

Persoalan ini bukanlah anomali baru, melainkan sebuah repitisi tahunan yang telah terlembagakan. Dalih normatif yang selalu dikonstruksikan oleh otoritas adalah bahwa perhelatan seremonial ini merupakan stimulan bagi pelaku UMKM lokal. Namun, secara empiris, klaim ini patut digugat melalui pendekatan analisis biaya-manfaat cost-benefit analysis. Pertanyaan krusialnya bukan lagi tentang "apakah ada dampak," melainkan sejauh mana persentase dampak tersebut dibandingkan dengan masifnya alokasi anggaran yang dikuras dari kas publik. Jika keuntungan ekonomi hanya bersifat temporal dan marjinal, sementara problematika sosial-ekonomi yang fundamental tetap stagnan, maka kita sedang menyaksikan sebuah kegagalan inovasi kebijakan yang kronis.

Secara sosiologis, fenomena ini dapat dibaca melalui teori Sirkulasi Elit Vilfredo Pareto. Dalam konteks Tidore Kepulauan, yang secara faktual memiliki keterbatasan potensi sumber daya alam ekstraktif, Sumber Daya Manusia (SDM) seharusnya menjadi poros utama pembangunan. Namun, program pemberdayaan yang digembar-gemborkan khususnya dalam sektor ekonomi kreatif seringkali terdistorsi menjadi instrumen klientelisme. Alih-alih menyentuh akar rumput, akses terhadap modal dan panggung ekonomi kreatif diduga kuat hanya bersirkulasi di lingkungan "benalu kekuasaan" individu atau kelompok yang dekat dengan dahan otoritas untuk kepentingan patronase politik.

Korelasi antara gerakan ekonomi kreatif dan rentetan event akhir tahun menciptakan sebuah skeptisme radikal. Kita harus mempertanyakan apakah ini benar-benar sebuah upaya pengembangan kreativitas atau sekadar "Ekonomi Performa" sebuah tindakan yang hanya mengejar tampilan luar demi laporan pertanggungjawaban yang estetis namun hampa substansi.

"Kreativitas rakyat seolah hanya dijadikan aksesoris dalam panggung kekuasaan, bukan subjek utama yang diberdayakan secara berkesinambungan."

Jika pemerintah benar-benar melirik kreativitas lokal, maka indikator keberhasilannya bukan terletak pada seberapa megah penutupan sebuah festival, melainkan pada terciptanya ekosistem ekonomi yang mandiri dan stabil pasca-perayaan berakhir. Selama inovasi program masih bersifat reaktif dan seremonial, maka pemberdayaan SDM hanya akan menjadi mitos, sementara anggaran publik akan terus mengalir ke dalam "lubang hitam" kegiatan yang hanya memberikan kepuasan sesaat dan citra yang baik bagi mereka yang berada di puncak hirarki.

Pada titik krusial inilah, kita dipaksa menyaksikan potret kegagalan inovasi yang sangat mendasar. Tragedi ini menjadi kian ironis ketika kita menilik ke belakang; bahwa setiap kali mahasiswa dan rakyat turun ke jalan menyodorkan alternatif kebijakan yang secara ontologis lebih potensial, mereka selalu membentur dinding pertahanan para pemangku kebijakan yang berlindung di balik dalih klasik: anggaran terbatas.

Respons defensif mengenai "anggaran yang tak seberapa" ini bukan sekadar alasan teknis, melainkan sebuah dekadensi nalar atau logical fallacy yang sistemik. Mengatakan bahwa anggaran terbatas sebagai pembenaran atas kebijakan yang tidak berdampak adalah kegagalan dalam meletakkan sesuatu pada tempatnya. Secara filosofis, keterbatasan seharusnya memicu sebuah "intelektualitas darurat" yang melahirkan prioritas paling substansial, bukannya menjadi pembenaran untuk memelihara inefisiensi.

Ketiadaan inovasi ini menunjukkan bahwa otoritas telah kehilangan kemampuan untuk melakukan sinkronisasi antara sumber daya yang ada dengan visi kemajuan yang nyata. Ketika kebijakan tetap dipaksakan pada hal-hal permukaan sementara solusi strategis diabaikan, maka kita tidak lagi bicara soal keterbatasan dana, melainkan soal defisit kemauan dan kegagalan dalam menempatkan keadilan anggaran pada porsinya yang benar. Inilah bentuk pengabaian terhadap nalar publik yang pada akhirnya memperlebar jurang antara kebijakan penguasa dengan realitas penderitaan rakyat.

Krisis nalar kebijakan ini kian menemukan titik kritisnya ketika kita membenturkan realitas "anggaran terbatas" tersebut pada tantangan mendesak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP). Bagi para pelaku UMKM di Tidore Kepulauan, kebijakan ini hadir bagaikan pedang bermata dua, sebuah tantangan urgensi yang menuntut ketangkasan mitigasi dari otoritas, namun hingga kini masih dibiarkan mengambang tanpa arah. Kenaikan UMP di satu sisi adalah hak konstitusional pekerja, namun di sisi lain, tanpa intervensi negara yang cerdas, ia berpotensi memicu ledakan harga produksi atau bahkan pemangkasan tenaga kerja secara massal. Kita sedang terjebak dalam kondisi simulacra kesejahteraan, di mana angka upah di atas kertas naik, namun daya tahan ekonomi rakyat justru rontok.

Jika ditelaah melalui pemikiran Karl Polanyi mengenai The Great Transformation, pasar tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa perlindungan sosial (social protection). Pemerintah Kota Tidore Kepulauan tidak boleh bersikap agnostik terhadap potensi guncangan ini. Mengabaikan dampak kenaikan UMP terhadap stabilitas UMKM adalah bentuk pengingkaran terhadap "Kontrak Sosial" meminjam istilah Jean-Jacques Rousseau di mana negara seharusnya hadir sebagai penjamin keseimbangan bagi pihak yang lemah. Alih-alih sibuk menghamburkan anggaran pada festival yang bersifat temporal, otoritas seharusnya melakukan sinkronisasi anggaran untuk menciptakan jaring pengaman bagi pelaku usaha dan buruh lokal.

Secara sosiologi hukum, membiarkan pelaku UMKM berjuang sendirian menghadapi kenaikan biaya produksi tanpa skema insentif yang konkret adalah bentuk "Kekerasan Struktural" sebagaimana didefinisikan oleh Johan Galtung. Kebijakan yang tidak disertai mitigasi dampak ini ibarat memaksa rakyat berjalan di atas titian sempit; maju kena, mundur pun kena. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengkaji persoalan ini secara saintifik dan aplikatif membuktikan bahwa orientasi pembangunan kita masih terjebak pada kulit luar, sementara fondasi ekonomi akar rumput dibiarkan keropos diterjang badai regulasi.

Pada akhirnya, jika pemerintah masih enggan beranjak dari pola pikir seremonial dan terus berlindung di balik retorika anggaran terbatas, maka kita tidak sedang menuju kemajuan. Kita hanya sedang merayakan sebuah kemunduran yang dikemas dengan lampu-lampu festival, sementara di sudut-sudut pasar dan lorong-lorong usaha kecil, rakyat sedang bertaruh nyawa melawan ketidakpastian ekonomi yang diciptakan oleh ketiadaan visi pemimpinnya sendiri.


Komentar

Berita Terkini