JAKARTA-Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPN PERMAHI) mengelar webinar Nasional dengan tema “Polemik Pencabutan PP 99 Tahun 2012 oleh Mahkamah Agung, Karpet Merah Remisi Napi Korupsi", Kegiatan tersebut dilakukan via daring (zoom metting). Kamis (18/11/2021).
Bertindak sebagai Keynote Speeck adalah Prof. Jimly Asshidqie, S.H, sementara pemantiknya yaitu, Prof. Denny Indrayana, Prof. DR. Muzakir, S.H., M.H dan dimodaratori oleh bendahara umum PERMAHI, Nur Azizah. Dihadiri oleh berbagai kalangan, mahasiswa, dosen, pegiat hukum serta pengurus DPC PERMAHI seluruh Indonesia. Selain itu, berkolaborasi dengan media partner, yaitu Jendela Hukum, Suka Hukum, Malupakum dan Kanal Hukum.
Ketua Umum DPN PERMAHI, Saiful Salim, S.H, dalam pembuka Webinar menyampaikan, visi-misi besar lembaga ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, memiliki semangat literasi, prestasi, dan advokasi guna menciptakan tatanan hukum Nasional yang berkeadilan serta mental dan ilmu pengetahuan generasi milenial perlu dikembangkan melalui agenda ilmiah hingga mereka tidak tergerus oleh perkembangan zaman terutama di bidang hukum.
“Tujuan besar PERMAHI adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, semangat berliterasi, prestasi, dan advokasi agar tatanan hukum negara kita adil serta generasi kita perlu dikembangkan mental dan pengetahuannya hingga tidak tergerus zaman,”ucap Saiful.
Prof. Jimly Asshidqie menjelaskan, terpenting bagi mahasiswa hukum, yaitu merespon isu-isu terkini hingga mampu menerawang masa depan agenda kebangsaan, juga dapat belajar dari masa lalunya. Apabila buruk mempelajari masa lalu, maka buruk pula menerawang masa depan bangsa.
”Kalian (mahasiswa) banyak respon isu-isu hangat terbaru, dan harus mampu terawang masa depan. Karena jika kita buruk dalam mempelajari masa lalu maka seburuk itu pula kita buruk menerawang masa depan bangsa”kata Jimly.
Sementara itu, Prof. DR. Muzakir, S.H., M.H. sebagai pembicara pertama, menguraikan bahwa konsep sistem hukum pemidanaan Nasional Indonesia, sebaiknya mengedepankan hak setiap individu seseorang. Sebab, berbicara hak remisi bukan saja kepada pejabat negara malainkan siapa saja yang menjadi terpidana korupsi. Olehnya itu, pemberian remisi sebagai apresiasi kepada terpidana korupsi berkesempatan menjadi yang terbaik untuk Negara dan bangsa.
“Sistem hukum kita harus prioritaskan hak seseorang, karena berbicara hak remisi bukan saja pada pejabat tapi siapapun bisa saja menjadi pelaku. Sehingga adanya pemberian remisi ini, sebagai apresiasi bagi terpidana menjadi seorang yang berarti untuk negara”kata Muzakir.
Berbeda dengan Prof. Deny Indrayana, menurutnya bahwa hak terpidana koruptor bukan hak asasi manusia. Ia juga menyentil sejarah lahirnya Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012, kala itu dirinya menjabat sebagai Wamenkumhan di era pemerintahan SBY.
Pengajuan pencabutan peraturan tersebut berkali-kali ditolak oleh Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Namun, belakangan isue tersebut dibahas kembali, perlu diketahui bahwa adanya PP nomor 99 tahun 2012 adalah untuk Pengetatan Remisi yang diberikan pada napi koruptor bukan untuk penghapusan ataupun penambahan remisi.
“Peraturan ini untuk terpidana koruptor bukan untuk HAM. Aturan tersebut sudah diajukan ke MA dan MK, namun ditolak berulang kali. Sekarang baru diulas lagi, perlu diingat adanya PP 99 2012 ini, untuk Pengetatan Remisi diberikan pada napi koruptor, bukan utk penghapusan ataupun penambahan remisi"tutup Deny. (fy)