Ariyanto A Gani
(Mahasiwa Administrasi
Negara Universitas Nuku)
Membahas tentang mahasiswa, berarti kita akan membahas tentang sejarah panjang pergerakan, sejarah panjang perlawanan, serta agen yang menjadi otak dibalik revolusi yang pernah terjadi di negara kita. Kata “Mahasiswa” itu sendiri, jika ditelusuri dari prespektif etimologi maka akan ditemukan dua pembagian, yakni “maha” dan “siswa”.
Maha berarti lebih, paling, atau tertinggi, sedangkan kata
“siswa” diartikan sebagai pelajar, atau orang yang terpelajar. Jika diuraikan
terminologi mahasiswa, maka defenisinya tak lari dari mereka yang berkedudukan
tinggi sebagai pelajar atau pelajar yang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi.
Selain itu, jika merujuk pada peraturan pemerintah RI No. 30 tahun 1990,
mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi
tertentu.
Saya
rasa, kita semua cukup terbiasa dengan ungkapan-ungkapan yang kita dengarkan
dan baca dari berbagai sumber. Bahwa mahasiswa adalah agent of change atau agen perubahan dan agen pengontrol sosial untuk
mengontrol kondisi sosial masyarakat. Tentu, label ini tak begitu saja melekat
dengan sendirinya pada mahasiswa, tetapi telah ada pembuktian nyata yang kita
sama-sama ketahui secara empiris. Bukti ini dilihat ketika pemuda dan mahasiswa
sama-sama berjuang dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, melakukan demonstrasi
terhadap orde lama, melengserkan orde baru, membuat gerakan reformasi, hingga mengawal
proses demokratisasi di negara Indonesia hingga saat ini.
Pada
masa pra kemerdekaan, mahasiswa serta pemuda terus melakukan berbagai cara agar
negara Indonesia bisa terlepas dari belenggu imperealisme, gerakan ini bisa
dilihat saat terbentuknya organisasi Budi Oetomo, berkumpulnya para pemuda
dalam mendeklarasikan sumpah pemuda, serta puncaknya, penculikan presiden
Soekarno dan Muhammad Hatta pada peristiwa rengasdengklok yang berujung pada
deklarasi kemerdekaan negara Indonesia. Pada masa Soekarno, mahasiswa membuat
gerakan yang namanya Tritura (tiga tuntutan rakyat) dan pada masa pemerintahan
soeharto yang dikenal otoriter, mahasiswa membuat gerakan reformasi dan
berhasil serta masih bertahan hingga sekarang ini.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah mahasiswa di era Gen Z ini, masih sama seperti pada era kemerdekaan, orde lama hingga orde baru?. Ataukah mahasiswa menjadi tidak bernyali dan takut bersuara. Untuk melihat itu, penulis berusaha memberikan pandangan sesuai dengan pengalaman penulis, yang sementara berkuliah di Universitas Nuku. Sebuah kampus swasta yang berada di kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. Menurut hemat penulis, gerakan mahasiswa di kampus ini sudah memgalami penurunan serta tidak sejalan dengan progresifitas mahasiswa yang pernah eksis pada masa lampau.
Femonema Gerakan di
Universitas Nuku
Universitas
Nuku merupakan sebuah kampus swasta yang terletak di kota Tidore Kepulauan
Provinsi Maluku Utara. Sejak berdirinya kampus ini pada tahun 2001, tentu telah
melahirkan banyak lulusan terbaik yang berkiprah di berbagai bidang
pemerintahan. Baik di tingkat kota, provinsi, maupun nasional. Namun,
belakangan ini penulis merasa resah karena pergerakan mahasiswa dalam membela
problem kerakyatan, semakin hari semakin menurun dan mengalami antiklimaks
gerakan. Tentu, antiklimaks ini terjadi karena berbagai faktor, yakni dari
faktor lingkungan yang berada di kampus, maupun faktor lingkungan di luar
kampus yang mempengaruhi pandangan
mahasiswa .
Faktor Internal Dalam
Kampus
Eko
Prasetyo dalam bukunya “Bangkitlah Gerakan Mahasiswa” mengatakan bahwa kampus
merupakan tempat dimana organisasi itu ada. Kampus menjadi tempat untuk belajar
berorganisasi, dan melahirkan gerakan mahasiswa yang merubah dunia. Dalam
kampus, pikiran-pikiran besar dilahirkan, rasa percaya diri mahasiswa bisa
terpupuk.
Selain
itu, Harun Gafur dalam bukunya “ Mahasiswa dan Dinamika Dunia Kampus”
mengatakan bahwa kampus merupakan ladang bagi masyarakat ilmiah. Masyarakat
ilmiah bertugas untuk bagaimana melihat fenomena yang terjadi dalam masyarakat
dan kemudian di respon dengan gerakan-gerakan sosial. Masyarakat ilmiah tentu
memiliki sistematika pemikiran yang terstruktur berdasarkan data dan fakta
serta memiliki kemampuan untuk menganalisis problem sosial kemasyarakatan.
Namun,
berdasarkan analasis penulis di Universitas Nuku Tidore, mahasiswa yang
berkuliah di kampus ini sudah sangat jauh dari apa yang disampaikan oleh Eko
Prasetyo dan Harun Gafur. Mahasiswa tidak lagi fokus terhadap organisasi kampus
serta tidak tercerminkan adanya masyarakat ilmiah dalam diri mahasiswa di
Universitas Nuku. Setelah berdiskusi dengan beberapa teman dari berbagai macam
fakultas di Universitas Nuku, penulis mendapatkan beberapa jawaban yang menurut
hemat penulis, ini menjadi kendala terhambatnya gerakan mahasiswa di kampus
Nuku.
Pertama,
adanya doktrin dari senior serta dosen yang mengatakan bahwa berkuliah tidak
perlu mengikuti organisasi, karena dapat mengganggu nilai perkuliahan, serta
membuat kuliah menjadi lebih lama. Menurut pandangan penulis, dosen dan senior
yang berpandangan seperti ini, bisa membatasi serta mematikan nalar kritis
mahasiswa. Pikiran ini sebaiknya di kubur dalam tanah agar tak berkembang.
Kedua,
Organisasi internal kampus. Organisasi internal kampus seperti Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM), serta Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) juga ikut andil dalam
kemunduran gerakan mahasiswa di Universitas Nuku. Organisasi internal yang
seharusnya melahirkan gagasan-gagasan kritis untuk mewarnai paradigma mahasiswa.
Malahan hanya melakukan kegiatan seremonial seperti pemilihan ketua,
pelantikan, serta rapat kerja di setiap periode kepengurusan. Namun, tidak ada
program kerja jitu dan terarah untuk mempertajam daya analisis mahasiswa. Seperti
dialog, pelatihan orasi, pelatihan jurnalistik, pelatihan menulis, serta
kegitan menunjang lainnya. Malahan BEM dan HMJ hanya melewati periode kepengurusan
dan hanya membuat pencitraan tak berarti ketika penerimaan mahasiswa baru.
Dengan
tidak adanya kegiatan dari organisasi internal kampus, mahasiswa tidak
dibiasakan dengan literasi dan ditempa dengan problematika dalam maupun luar
organisasi, sehingga mahasiswa hanya menggunakan kampus sebagai tempat pacaran,
tempat bermain game, dan tempat nongkrong yang tak berdampak apa-apa bagi
kemajuan diri dan lingkungan sosial.
Faktor Eksternal Kampus
Faktor
di luar kampus yang dimaksud penulis adalah organisasi ekternal kampus yang
berada di kota Tidore Kepulaun, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Liga Mahasiswa Nasional Untuk
Demokrasi (LMND) . Menurut hemat penulis, organisasi ekternal kampus juga ikut
andil dalam kemunduran gerakan mahasiswa di Universitas Nuku Tidore. Organisasi
eksternal kampus harus lebih jeli dalam mengembangkan bakat para anggota dengan
memperbanyak membuat karya, bukan hanya diskusi yang tidak melahirkan solusi.
Karena penulis yakin, bahwa jika mahasiswa yang berproses dalam organisasi ekstra
memiliki kemampuan yang mumpuni dalam menjawab problem sosial kemasyarakatan. Pastilah
akan sangat berpengaruh dalam kehidupan kampus.
Jalan Keluar
Untuk
menjawab problematika gerakan mahasiswa yang mengalami antklimaks ini, tentu
menjadi tanggung jawab kita secara bersama, yakni dari pihak mahasiswa secara
individu, kampus maupun organisasi mahasiswa yang ada, baik internal maupun
eksternal kampus. Karena penulis yakin bahwa lingkungan yang baik dapat
melahirkan insan yang baik pula. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku
“Atomic Habits” karya James Clear, pada bab 6 buku tersebut mewartakan bahwa
motivasi dinilai terlalu tinggi, lingkungan seringkali lebih penting.
James
Clear menceritakan tentang Anne Throndike, seorang dokter umum di Massachussets
General Hospital di Boston. Ia memiliki kantin rumah sakit yang mana setiap
pengunjung yang masuk dalam kantin tersebut selalu minum minuman bersoda
setalah makan. Namun, Anne ingin mengubah kebiasaan mereka agar beralih dari
minuman bersoda ke air putih biasa, hal ini dilakukan tanpa memberitahukan atau
memberi motifasi kepada para pengunjung. Namun langsung merubah lingkungan yang
ada.
Teknik
yang dilakukan Anne adalah dengan menghilangka semua minuman bersoda yang
berada dalam kantin dan menggantinya dengan air putih. Setiap tempat pennjualan
makanan, sampingnya selalu diletakkan air putih. Terbukti, setelah tiga bulan
kemudian, pengunjung terbiasa dengan mengonsumsi air putih, dan meninggalkan
minuman bersoda. Ini menunjukan bahwa orang seringkali memilih produk, bukan
karena apa produk itu. Namun karena dimana produk itu berada.
Sama
seperti yang Terjadi di kampus Nuku, mahasiswa dituntut untuk menjadi agen
perubahan, namun lingkungan kampus tak mendukung itu. Penulis memimpikan,
Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKBM) haruslah diisi dengan
materi sejarah gerakan mahasiswa, maupun
materi kepemimpinan manajemen dan organisasi, sembari dengan materi lainnya untuk
membentuk paradigm awal di lingkungan kampus. Penulis juga memimpikan
dosen-dosen yang mengajar di dalam kelas bukan hanya membawakan materi-materi
tak berfaedah, namun juga diselingi dengan teori-teori yang membahas problem
sosial kemasyarakatan.
Organisasi
internal dan ekternal kampus, bukan hanya melakukan kegitan seremonial belaka
dengan pemilihan ketua setiap periode namun tidak ada karya, pengawalan kasus
yang tidak serius. tetapi harus rutin dan istiqomah dalam membuat kegiatan yang
produktif. Semisalnya melakukan diskusi gerakan literasi, Pelatihan menulis setiap
hari di lingkungan kampus. Mungkin satu dua hari belum terlihat, namun dengan
konsisten, gerakan ini pastilah berpengaruh dalam diri mahasiswa yang berkuliah
di Universitas Nuku. Hal ini dikarenakan lingkungan kampus yang diisi oleh
nilai-nilai produktif.
Meskipun
ada beberapa teman yang mengatakan bahwa semua tergantung dalam diri mahasiswa,
walaupun lingkungan sangatlah produktif namun kalau tidak ada kemauan pastilah
tidak bisa. Tetapi penulis sangat yakin, bahwa ada kemauan untuk merubah, pasti
akan berbuah keberhasilan. Kita lihat sebagaimana para revolusioner dunia
seperti Ali syariati dan Che Guevara, mereka tidak serta merta menjadi pandai.
Tetapi sedari kecil, mereka sudah ditempa dengan lingkungan yang cerdas dan
dipenuhi dengan buku-buku. Senada dengan hal ini, Tan Malaka pernah berdalil
bahwa “ selama toko buku ada, selama itu
pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan
makanan dikurangi”.