-->
    |


100 Hari dan Pemerataan : Gubernur Sherly Laos dan Revolusi Sunyi dari Maluku Utara

 Penulis ;

Hairil Sadik (Pemuda Bobo)

Negeri yang Diabaikan : Realitas Pendidikan dan Kesehatan Indonesia Timur

Dalam cakrawala republik ini, Indonesia Timur kerap tampil seperti kaki langit yang jauh terlihat namun tak pernah disentuh. Di sanalah, di balik hutan gunung dan selimut laut biru, pendidikan dan kesehatan berdetak lemah seperti denyut nadi pasien terminal di ruang isolasi. Anak-anak di Halmahera harus berjalan berkilo-kilometer menyusuri jalan setapak dan aspal yang tak lebih dari urat tanah berdebu, hanya untuk mengeja "a-b-c" dan menulis jawaban PR matematika di papan tulis menggunakan kapur. Klinik kesehatan di berapa pulau Maluku Utara lebih sering menjadi museum sunyi ketimbang pusat harapan untuk bisa hidup sehat.

Menurut Nurdayana, S. Harry dkk dalam sebuah studinya "Education and Poverty Case Study Of Maluku Utara" Pendidikan merupakan modal dasar pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satu indeks yang penting dalam perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah Indeks Pendidikan. Dengan pendidikan yang memadai, maka pembangunan nasional akan mudah dicapai sesuai dengan yang telah direncanakan.

Diharapkan dengan pendidikan akan mampu menjawab persoalan kemiskinan, rendahnya produktifitas dan juga lambatnya pertumbuhan ekonomi. Merujuk pada realitas ketimpangan pendidikan di Maluku Utara, terutama fasilitas pendidikan. Hal ini, dalam studi diatas menunjukkan bahwa pendidikan di Provinsi Maluku Utara khususnya di daerah perdesaan masih rendah dan perlu untuk ditingkatkan

Tujuh tahun lalu, saya hanya pekerja pembantu disalah satu lembaga kesehatan di wilayah pemerintah Pulau Morotai. Di wilayah ini, seorang dokter umum melakukan pekerjaan super, sebenarnya, ini kenyataan pahit pelayanan kesehatan pada umumnya. Di sejumlah wilayah Maluku Utara, saya lebih sering melihat dokter menjadi bidan, psikolog, dokter gigi, bahkan sopir ambulans.

Pada 2015, menurut laporan UNICEF, empat puluh empat persen bayi di Provinsi Maluku Utara diberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupannya, yang berarti sama dengan angka rata-rata nasional. Prevalensi malnutrisi relatif tinggi, termasuk di wilayah perkotaan. Sekitar 20 persen bayi lahir dengan berat badan rendah, dan lebih dari empat di antara 10 anak di bawah lima tahun mengalami stunting (tinggi badan rendah dibanding usia) pada tahun 2013.

Substansi masalahnya adalah fasilitas dan perhatian terhadap hal ini. Saya pikir, sistem kesehatan kita belum didesain untuk daerah yang pulau-pulaunya tersebar seperti mutiara yang tak terangkai. Bagi saya, tragedi sesungguhnya bukanlah kurangnya tenaga medis, dari kenyataan di lapangan, sejumlah wilayah kita ini, ada yang sudah memiliki tenaga medis dan fasilitas yang menuju pada pelayanan prima. Masalah sesungguhnya adalah sikap negara yang acuh terhadap kondisi kesehatan di wilayah perbatasan.

Kondisi ini mengilustrasikan sebuah paradoks kebangsaan yang akut, saat sebagian wilayah menikmati teknologi canggih dan rumah sakit internasional, di sisi lain negeri saya ini (Maluku Utara), masih bergulat dengan hal yang seharusnya paling dasar, yakni hak hidup sehat dan cerdas.

Dua hari lalu, saya membaca sebuah artikel di media Kompas dengan tema : "Logam Berat Ditemukan pada Ikan dan Darah Penduduk di Teluk Weda". Rikisan sebuah Penelitian Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako. Mereka menemukan pencemaran logam berat merkuri dan arsenik pada sampel ikan di area penambangan dan pengolahan nikel Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Sebuah problem yang memberikan dampak dalam jangka waktu panjang. Bisa kita bayangkan, dari penelitian itu, sebanyak 47 persen sampel darah warga sekitar yang diteliti juga mengandung merkuri dan 32 persen memiliki kadar arsenik melebihi batas aman.

Dari riset ini, di Ake Jira, kualitas air sudah tidak layak lagi digunakan/dikomsumsi. Semua orang bisa mengetahui dari mana sumber pencemaran air tersebut. Tak hanya itu, sampel ikan dari teluk weda, di temukan tercemar logam berat.

Itulah, bagian kecil dari problem besar di negeri kita Maluku Utara yang sejauh ini masih dalam pantauan dan upaya untuk menanggulangi efek hitamnya dalam jangka waktu yang akan datang.

Sherly Laos : Perempuan, Pemimpin dan Pemecah Kutukan Ketimpangan.

Kehadiran sosok Pemimpin daerah yang satu ini seperti badai yang berbeda, bukan untuk merusak, melainkan menyapu bersih abu-abu ketimpangan. Namanya Sherly Laos, gubernur Maluku Utara yang tidak hanya membawa gagasan, tetapi juga keberanian untuk mengeksekusi. Dalam 100 hari, bukan sekadar narasi saja yang berubah, tapi sistem pun bergerak seperti roda gigi dari sebuah mesin yang selama ini berkarat.

Dalam wawancaranya bersama Merry Riana, Sherly menyampaikan dengan tegas, “Saya sudah bisa pendidikan dan kesehatan gratis by the end of 100 hari.” Pernyataan itu seperti petir di siang bolong, bukan karena sensasional, tapi karena langka, seorang pejabat publik yang menyelesaikan pekerjaan bukan sekadar menjanjikannya.

Program pendidikannya dimulai dari hal konkret, membebaskan biaya komite di 400 SMA negeri. Rinci, terukur, dan langsung berdampak. Untuk SMA swasta dan madrasah, dia menyiapkan pembiayaan mulai tahun ajaran baru.

Ternyata, Ia tidak berhenti di sekolah, ia merambah ke universitas dengan menggulirkan beasiswa kuliah S1 bagi mahasiswa pra-sejahtera. Ia tahu bahwa pendidikan bukan tangga satu tingkat, tapi tangga bertingkat yang harus bisa dilalui semua.

“Ketika saya telusuri, ternyata anggarannya ada. Cuma selama ini tersembunyi dalam keraguan dan birokrasi,” ungkap Sherly. Pernyataannya membongkar satu kenyataan bahwa yang kerap menghalangi kemajuan bukan kekurangan, tapi ketakutan untuk berubah.

Pada sektor kesehatan, ia meluncurkan program Universal Health Coverage Prioritas (UHC-P) yang memungkinkan warga mendapatkan layanan BPJS aktif di hari yang sama tanpa perlu menunggu satu bulan. Ia menggugurkan prosedur administratif yang telah menyebabkan kematian warga karena pelayanan tertunda.

“Orang sakit tidak menunggu sistem. Maka sistemlah yang harus berlari mengejar mereka,” ucapnya. Kalimat itu seakan menjadi mantera pembangunan: bahwa negara bukan sekadar administrator, melainkan pelayan kehidupan.

Gubernur Sherly tidak hadir sebagai pahlawan tunggal. Ia datang bersama tim, mungkin juga bersama niat yang telah lama ditunda oleh gubernur-gubernur sebelumnya. Tapi ia menjadi simbol bahwa perubahan bisa dimulai bukan dengan pidato, melainkan keputusan yang harus dieksekusi, dilaksanakan.

Resonansi 100 Hari : Dari Maluku Utara Untuk Indonesia.

Apa yang dilakukan Ibu Sherly Laos tidak hanya berdampak pada Maluku Utara, melainkan juga membongkar mitos bahwa Indonesia Timur adalah halaman belakang bangsa. Kini, suara dari pulau-pulau kecil telah menggetarkan ibu kota. Bahwa dalam 100 hari, yang selama ini dianggap mustahil ternyata bukan karena tidak bisa, tapi karena tidak dimulai.

Masyarakat pun, untuk hari ini dan akan datang mungkin sudah mulai merasakan perubahan. Kita akan lihat bagaimana anak-anak dengan senyum sepenuhnya saat mendapatkan semua fasilitas pendidikan. Mereka bisa operasikan komputer, bahasa-bahasa digitalisasi dan untuk mendorong kepekaan terhadap tantangan dan ancaman dari pengaruh tekhnologi.

Besok, mungkin kita lihat di Weda, seorang nelayan langsung mendapat pelayanan medis gratis ketika anaknya mengalami demam tinggi.

Atau, diwilayah Tobelo, ada ibu-ibu yang dengan mudahnya memeriksa kesehatan anak-anaknya. Penjual ikan yang setiap bulan bisa melakukan kontrol kesehatan di Pulau Hiri dan sejumlah kebahagian yang selama ini belum pernah kita lihat.

Dalam pandangan saya, hal-hal ini adalah revolusi sesungguhnya, bukan dalam bentuk angka, tapi pengalaman yang terukir dengan jelas dalam raut wajah masyarakat di Maluku Utara.

Saat ini, bisa jadi para pengamat kebijakan mulai memperhatikan model kepemimpinan Gubernur Sherly. Apa yang dilakukan Gubernur Sherly Laos adalah bukti bahwa desentralisasi bisa sukses, asal digerakkan oleh pemimpin yang punya visi dan keberanian.

Namun tantangan belum berakhir. Distribusi guru berkualitas, keberlanjutan anggaran, serta integrasi data kesehatan dan pendidikan adalah pekerjaan rumah berikutnya. Tapi Gubernur Sherly telah menyalakan api di tengah kabut, selebihnya tinggal siapa yang mau membawa obor itu ke wilayah-wilayah lain.

Kompas.com edisi 22 mei menulis beberapa hal yang disampaikan Gubernur Maluku Utara, salah satunya tentang Pemerintah Provinsi Maluku Utara membayarkan uang komite yang tertunggak di tingkat SMA, SMK dan sederajatnya.

"Gratis uang komite itu bukan berarti ditiadakan, tetapi Pemprov Maluku Utara hadir melalui BOSDA membayar uang komite pada masing-masing SMA, SMK, SLB. Bukan ditiadakan tapi digratiskan,"

Mungkin orang akan mengatakan ini hanya kal kecil, murut hemat saja, percikan-percikan kecil kebijakan yang tepat di tangan Gubernur Sherly akan berdampak jauh lebih besar dari pada tidak mengambil sebuah langkah tepat.

Pembangunan yang Tidak Lagi Membeda-bedakan

Kita semua pasti sudah mendengar beberapa hal yang disampaikan Gubernur Sherly pidatonya di akhir 100 hari kerja. Saya ingat beberapa waktu lalu, pada sebuah kegiatan BPJS Kesehatan Cabang Ternate, di Emerald Hotel, tanggal 6 Mei.

Dalam pidatonya, usai secara resmi membuka kegiatan Rekonsiliasi Iuran Wajib PPU Pemda dan Non-PPU Pemda Triwulan I Tahun 2025 se-Maluku Utara. Ia menyampaikan tentang layanan kesehatan yang adil, yang bisa diakses oleh semua orang.

Selain itu, ia juga menyampaikan semangat yang sama untuk perjuangkan nasib rakyatnya Maluku Utara. Gubernur Sherly percaya bahwa kita semua hadir dengan semangat yang sama, mencari solusi bersama, dan memastikan rakyat tidak perlu menjual harta untuk berobat. Kita ingin sistem ini bukan hanya hidup di atas kertas, tapi benar-benar terasa hingga ke pelosok.

Inilah kepastian sebuah kebijakan yang diambil secara tegas, untuk 100 hari, Gubernur Sherly Laos mampu membuat kebijakan tajam yang secara substansinya adalah untuk kepentingan masyarakat.

Kisah 100 hari Sherly Laos bukan sekadar catatan administratif, tapi narasi perlawanan terhadap ketimpangan yang telah diwariskan secara sistematis. Ia mengajarkan bahwa pembangunan bukan soal membangun gedung tinggi, tapi menjangkau mereka yang selama ini tak pernah dijangkau.

Bagi Indonesia yang tengah mencari arah di tengah pusaran globalisasi dan digitalisasi, kisah dari Maluku Utara ini menjadi pengingat, bahwa kemajuan sejati adalah saat anak-anak di Weda, Obi, Maba dan Morotai memiliki hak yang sama untuk belajar dan sehat seperti anak-anak di Jakarta, yang ada di Pulau Jawa.

Pemerataan bukan lagi mimpi, tapi kerja nyata. Jika satu provinsi bisa memulainya dalam 100 hari, mengapa tidak seluruh negeri?


Komentar

Berita Terkini