-->
    |

Revitalisasi Gerakan Mahasiswa : Menyala kembali ditengah kehancuran

Tirta Wowotubun, Ketua HMI Komisariat Non-Eksakta UNNU Cabang Tidore.

Tulisan ini saya tulis bukan berlandaskan pada teori, uraian data, ataupun keteraturan argumentasi. Tulisan ini sebagai teks provokasi guna menghadirkan kembali spirit perjuangan mahasiswa sebagaimana fitrah seorang mahasiswa itu sendiri.


Dengan melihat realitas yang ada, berbagai problematika kian marak: keadilan sosial di bidang ekonomi, politik, hingga hukum. Tak hanya itu, kita juga menjumpai praktik terminologi hijau yang berpangkal pada sistem kapitalisme, mengakar kuat hingga ke birokrasi dan para pemangku kepentingan. Kaum borjuis semakin kaya, sementara proletar semakin terpuruk dalam kemelaratan. Dari sekian banyak persoalan tersebut, timbul pertanyaan mendasar: dimanakah posisi mahasiswa saat ini?

Kadang di antara mereka—para mahasiswa—ada yang manja dan takut, namun sekaligus gembira. Ada pula yang tampil berani, nekat, bahkan romantis. Tak sedikit yang tampak saleh, lugu, dan begitu taat. Begitulah, dari banyaknya tipe mahasiswa dengan sikap dan pola pikir yang beragam, kita diperhadapkan pada satu pertanyaan mendasar: dengan apa kita bisa menghadirkan eksistensi dari semangat perjuangan?

Kepada kalian, para mahasiswa yang membaca tulisan ini, aku ingin bertanya: Apalagi yang dapat membuat kalian bergerak? Jika perekonomian negeri ini dikuasai bangsa asing, maka kemiskinan adalah akibat yang tak terhindarkan. Lantas, katakan padaku: kesejahteraan apa yang bisa diharapkan dari tempat di mana tambang-tambang terus digali? Apakah ada kemakmuran di daerah yang hutan-hutannya dijarah habis? Dan beritahu aku: di mana letak keamanan ketika tanah adat dirampas, dan hak-hak masyarakat diabaikan?

Kita semua tahu, banyak yang berjuang menjadi "pahlawan devisa" karena sempitnya lapangan kerja di negeri ini. Namun, apa daya, semua sumber daya justru direbut dan diambil oleh asing, dengan penguasa negeri ini sebagai kaki tangannya.

Untuk apa fakultas pertambangan, kedokteran, hingga teknik dibuka jika ladang kerja dikelola oleh asing? Sebab pada ujungnya, mereka jadi budak yang diajak merampok kekayaan alam sendiri. Apa gunanya membuka pendidikan hukum kalau yang muncul adalah jual beli keadilan? Sudahilah kenangan masa-masa heroik pada tahun 1966, 1974, hingga 1998. Sudah saatnya kita bangkit dan melawan.

Biarkan tulisan ini menjadi inspirasi guna membakar kesesatan berpikir di kalangan mahasiswa. Dalam sangkar yang terkucil dari jerit rakyat itulah kalian belajar. Buku, ceramah, dan kegiatan akademik tak mampu mengangkat nyali kalian. Semua tahu, pada akhirnya kalian hanya jadi barisan sarjana yang mengabadikan penindasan. Kemudian, tanpa kita sadari, telah berada bersama para jahanam, hidup bersama mereka, bahkan ikut bekerja untuk mereka. Lalu bagaimana agar penindasan itu berakhir? Tak ada cara lain kecuali membangkitkan kembali semangat dan gerakan mahasiswa bersama rakyat. Bukankah pada saat ospek, kata “mahasiswa pembawa perubahan” selalu dikumandangkan? Lantas, situasi dan kondisi apa yang telah dirubah? Ataukah masih ada yang tunduk pada keadaan? Sebab, banyak pengecut yang memilih bersikap menjilat dan diam, sebagaimana yang dikatakan oleh Nietzsche: mayat berjalan yang disirami parfum.

Che Guevara memberi teladan bagaimana sarjana kedokteran mampu melawan penguasa zalim dan mendirikan sebuah negeri yang tangguh bernama Kuba. Atau bahkan Ali Syariati, yang telah menuliskan citra intelektual sekaligus dosen progresif. Melalui ide-idenya, revolusi Iran ditancapkan akarnya. Juga Soekarno, yang kala muda mampu mengangkat ide kemerdekaan hingga jadi kebutuhan massa.

Lantas, sekarang apa yang bisa kita banggakan pada para pejabat kita? Apakah ada dari mereka yang meminta maaf jika terjadi kesalahan? Sanggupkah menteri pertanian mundur jika panen petani gagal? Bahkan, mampukah anggota parlemen mohon ampun karena memboroskan anggaran? Semua itu hanyalah bayangan harapan yang menggantung di langit mimpi.

Maka, atas dasar kezaliman yang membudaya, mahasiswa harusnya hadir untuk menumpas habis itu semua. Meski banyak yang terbalut oleh ketakutan, ingat: perjuangan itu pasti dihiasi oleh pemukulan, penangkapan, bahkan berujung pada kematian. Namun, biarkan api perjuangan itu berkobar seperti halnya api yang membakar hangus pedagang kaki lima di Tunisia karena tidak tahan atas ketidakadilan. Sebab yang ada pada akhirnya, hidup hanya mengarah pada satu konsekuensi: kematian. Maka pilihannya adalah menjadi pejuang atau pecundang; berjuang sampai mati, atau diam sampai mati.

Jika ditinjau dari jejak historis, banyak pahlawan pada masa lampau walaupun kini—beberapa di antaranya bersalin rupa menjadi pecundang—menghiasi parlemen tanpa proposal perubahan yang berarti. Sebagian malah memilih bersekutu dengan para penguasa dan penjarah alam. Ikut serta merampok kedaulatan negeri ini dengan dalih memperkuat demokrasi dan melonjakkan pertumbuhan ekonomi. Hanya sedikit di antara mereka yang masih memilih berada bersama rakyat dan menjadi pembela atas hak-hak yang tertindas. Maka, masa depan bangsa berada di tangan mahasiswa sebagai representasi kaum muda.

Lihatlah Mesir—berguncang hebat oleh suara massa kaum muda. Kepalan tangan mereka, semangat yang menyatu, telah berhasil menggulingkan sang presiden. Hal serupa terjadi di Prancis, Turki, Brasil, bahkan Portugal. Di negara-negara itu, gelombang aksi massa mengguncang keras tatanan politik yang mapan. Dan apa yang terjadi? Nasib para penguasa pun serupa: lari tunggang langgang, tak berdaya menghadapi kekuatan rakyat.

Lantas apa yang masih membuat kalian diam? Setelah melihat segala macam kejahatan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Para korporasi yang dilindungi penegak hukum menciptakan kerusakan di mana-mana. Yang melawan ditangkap, pergerakan dicegat, suara dibungkam, bahkan bersorak pada keadilan yang diperjualbelikan. Mau contoh yang seperti apa lagi? Sebelas orang warga adat Maba Sangdji ditangkap hanya karena tidak mau tanahnya dirusak. Pembelaan keluar dari mulut yang berdosa, membela mati-matian mereka yang memiliki modal. Lantas, apa yang membuat gerakan tak bangkit? Apakah tunggu sampai hutan kita dibabat habis, ikan berubah menjadi nikel, sampai pada kebijakan untuk memiskinkan mereka yang tertindas? Bangkit, kawan. Bangkitlah dan melawan!

Sekali lagi penulis ingin katakan bahwa tulisan ini adalah provokasi, bukan data, uraian teoritis, dan keteraturan argumentasi. Melainkan sebisa mungkin tulisan ini dibaca dalam posisi aksi: berdiri di bawah siraman cahaya matahari, dihadiri oleh lautan massa, dan dikelilingi barisan polisi. Marilah kita bangkitkan lagi keberanian yang sudah tenggelam, dan sampaikan pesan tegas pada massa: waktunya kita bangkit dan melawan!

Komentar

Berita Terkini