Oleh: Aditya Arief Rachmadhan, S.P., M.Si.
Dosen Program Studi Agribisnis UPN “Veteran” Jawa Timur
Minggu lalu, ada sebuah pertanyaan dalam kelas Agribisnis Tanaman Pangan.
“Pak, kenapa harga singkong di tingkat petani bisa begitu rendah? Harganya juga kerap anjlok.”
“Berapa harganya sekarang? Coba cek.” Balas saya.
“Harganya sudah sampai Rp600 sampai Rp700 per kg di beberapa tempat Pak. Apakah masih bisa mensejahterakan petani ya Pak?”
“Tentu tidak.” Sahutku menanggai
Mengapa Singkong Begitu Murah?
Selayaknya menahkodai ruang akademik, saya menolak kesimpulan yang langsung menyalahkan pemerintah, tengkulak dan kapitalis-kapitalis atas derita yang dirasakan para petani. Namun, ada hipotesis-hipotesis yang perlu kita uji kebenarannya.
Secara teoretis, harga seharusnya terbentuk di atas nilai total biaya. Artinya, harga jual sudah seharusnya lebih tinggi dibanding biaya produksinya. Bagaimanapun, produsen ingin mendapatkan keuntungan. Demikian juga petani singkong.
Namun, kenyataannya, harga jual singkong bisa anjlok hingga harga Rp600 sampai Rp700 per kg. Pada tingkat harga ini, petani singkong sudah hampir tidak bisa mengambil keuntungan. Kalaupun mendapat keuntungan, itupun akan sangat tipis.
Singkong petani itu biaya produksinya tinggi dan produktivitasnya relatif rendah. Petani masih bergantung pada tenaga kerja manual, bibit lokal, serta keterbatasan pupuk dan teknologi. Ketika hasil tidak optimal dan harga jatuh, petani berisiko menanggung kerugian.
Lalu bayangkan, kalaupun untung, keuntungan itu harus dibagi masa tunggu panen 9 hingga 12 bulan. Petani bisa saja hanya mendapatkan beberapa puluh ribu rupiah perbulannya. Untung segitu, buat makan saja susah.
Lalu apa yang terus menekan harga singkong petani? Apakah karena masuknya singkong impor?
Secara teoretis, hal itu bisa terjadi jika harga singkong impor lebih murah dibandingkan harga singkong petani. Maka, harga singkong petani akan semakin tertekan untuk mendekati harga singkong impor. Mudahnya, ya agar singkong petani kompetitif dengan singkong impor.
Tetapi, kenyataannya, harga singkong impor ternyata lebih tinggi dari harga singkong petani. Seharusnya, haraga singkong impor tidak akan menekan harga singkong petani hingga harga Rp600 sampai Rp700 per kg.
Di sisi lain, produksi singkong domestik tidak dapat mencukupi kebutuhan bahan baku industri pati tapioka nasional dan agroindustri turunan dari singkong lainnya. Bukan hanya dari sisi kuantitas (jumlah)-nya saja, namun juga dari sisi kualitas. Secara keseluruhan, jumlah produksi singkong petani lokal tidak mencukupi kebutuhan industri.
Bahkan, industri telah membuka lahan mandiri ataupun melalui kemitraan. Namun, jumlah tersebut belum mencukupi. Memaksakan dari produksi domestik, artinya akan ada trade-off (pertukaran) antara lahan untuk komoditas lain, menjadi lahan singkong. Opsi yang tetap membawa pekerjaan rumah lainnya untuk komoditas tetangga.
Secara kualitas, singkong petani lokal umumnya memiliki kualitias yang lebih rendah. Ukuran yang tidak sesuai, dan kadar pati yang rendah. Sementara, industri pati tapioka mengutamakan kadar pati yang tinggi. Hal ini menyebabkan industri masih memilih opsi singkong impor, dan menyebabkan singkong petani kalah kompetitif.
Lantas, apa yang menekan harga singkong petani?
Hal yang perlu diketahui adalah struktur pasar singkong yang timpang. Pembeli utama singkong petani sebenarnya hanya segelintir pabrik tapioka dan beberapa pengepul besar.
Situasi ini menciptakan struktur pasar oligopsoni; dimana hanya ada segelintir pembeli dan banyak produsen - yang menyebabkan harga ditentukan oleh segelintir pembeli tersebut.
Struktur pasar singkong yang cenderung oligopsoni menjadi penyebab struktural mengapa harga singkong petani sering anjlok. Struktur pasar oligopsoni memberi ruang kekuatan monopoli untuk mengendalikan harga – khususnya pada tingkat petani.
Sementara itu, tidak banyak petani yang memiliki akses langsung pada pabrik tapioka. Petani umumnya menjual pada tengkulak atau pengepul desa yang menjadi jembatan rantai distribusi antara petani dan pabrik tapioka. Di sisi lain, tengkulak atau pengepul juga menanggung beban biaya distribusi dan risiko kerugian apabila kualitas singkong turun dan tidak sesuai standar pabrik tapioka. Sehingga, pada tingkat petani, harga yang dipatok tengkulak-tengkulak desa bisa sangat murah.
Dampak Anjloknya Harga
Harga singkong yang rendah tentu berdampak langsung pada pendapatan petani. Apabila harga jual singkong petani anjlok hingga harga Rp600 sampai Rp700 per kg; petani singkong sudah hampir tidak bisa mengambil keuntungan. Kalaupun mendapat keuntungan, jika dihitung hanya beberapa ribu saja per-bulannya.
Dengan keuntungan tersebut, jangankan untuk menanam lagi, untuk makan saja sudah sulit. Kondisi ini tentu menurunkan motivasi petani untuk kembali menanam singkong.
Sebagian petani bisa mulai beralih ke tanaman lain, atau ada yang memilih menidurkan lahannya, atau bahkan beralih profesi ke pekerjaan atau industri lain. Dalam jangka panjang, ini berisiko menurunkan produksi bahan baku tapioka nasional dan mengganggu stabilitas rantai pasok industri pangan dan energi.
Selain itu, petani juga sebenarnya menyadari ketimpangan ekonomi antara petani di lahan dan pelaku-pelaku industri besar. Nilai ekonomi singkong menumpuk di hilir – di pabriktapioka, agroindustri pengolahan, hingga komoditas pasar ekspor – sementara petani di hulu tetap hidup pas-pasan. Ketimpangan ini memperlebar kesenjangan sosial di pedesaan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Pemerintah saat ini telah menetapkan harga pembelian singkong petani oleh industri sebesar Rp1.350 per kg, dengan rafaksi sebesar 15 persen. Artinya, singkong petani yang masuk ke industri dihargai sebesar Rp1.350 per kg. Apabila ada penurunan kualitas –sehingga tidak sesuai standar pabrik – maka harga maksimal turun sebesar 15 persen.
Tetapi, sayangnya tidak banyak petani yang memiliki akses langsung pada pabrik tapioka.
Petani umumnya menjual pada tengkulak atau pengepul desa yang menjadi jembatan rantai distribusi antara petani dan pabrik tapioka. Kebijakan ini bisa saja hanya akan menguntungkan para tengkulak atau pedagang pengepul.
Gagasan selanjutnya seharusnya sudah mencapai upaya untuk memotong rantai pasok industri singkong. Industri tapioka seharusnya bisa dijembatani melalui kemitraan antara industri dan petani. Upaya ini dapat memotong rantai pasok industri singkong yang panjang.
Bagaimanapun, singkong bukan sekadar umbi murah; ia adalah simbol perjuangan petani kecil yang bertahan di tengah pasar yang tidak berpihak.
Kesejahteraan petani singkong tak akan datang dari harga pasar semata, tetapi dari kebijakan yang menata ulang rantai nilai, memastikan bahwa setiap rupiah dari produk singkong mengalir lebih adil ke tangan yang menanamnya.