![]() |
| Baliho dukungan Walikota dan Wakil walikota Kepada Guraping open Turnamen dirobek |
Robeknya Baliho Pemkot di Guraping, Tanda Pemuda Mulai Kehilangan Kepercayaan
Oleh: Rajawange
Tidore, Reportmalut.com - Insiden perobekan baliho Wali Kota dan Wakil Wali Kota di arena Guraping Open Tournament 2025 mungkin tampak sebagai aksi spontan yang emosional. Namun jika dicermati lebih jauh, peristiwa ini sejatinya merupakan indikator krisis kepercayaan yang semakin menguat di kalangan pemuda terhadap Pemerintah Kota Tidore Kepulauan.
Baliho yang berdiri di tengah Lapangan Guraping itu awalnya dipasang sebagai simbol dukungan pemerintah pada kegiatan kepemudaan. Namun, simbol hanyalah simbol. Ketika harapan tentang dukungan nyata tidak pernah datang, simbol itu berubah menjadi ironi. Dan ironi itulah yang pada Selasa (25/11) berubah wujud menjadi robekan besar, sebuah bentuk protes terbuka dan terang-terangan.
Dari informasi yang dihimpun, sejumlah panitia sendiri diduga menjadi pihak yang merobek baliho tersebut. Tindakan yang tidak hanya berani, tetapi juga menunjukkan ketegangan yang selama ini terpendam. Sekretaris Panitia Guraping Open Tournament, Farsya Dukomalamo mengonfirmasi kejadian tersebut dan menegaskan bahwa tindakan itu dilakukan karena “kekecewaan mendalam terhadap Pemerintah Kota Tikep yang lebih sibuk dengan pencitraan daripada mendukung kegiatan pemuda.”
Di sini letak persoalan utamanya: pemerintah hadir dalam bentuk visual, namun absen dalam bentuk kebijakan dan tindakan nyata. Pemuda Guraping bekerja keras menyukseskan turnamen yang bertahun-tahun menjadi ruang publik untuk olahraga dan kebersamaan. Namun apa yang mereka dapatkan? Janji, simbol, dan baliho. Tanpa ada dukungan logistik yang memadai.
Pemerintah kota seakan lupa bahwa kegiatan kepemudaan bukan sekadar kegiatan sampingan, tetapi pilar penting dalam pembangunan sosial. Ketika mereka hanya memasang foto pejabat di spanduk sambil membiarkan beban kegiatan ditanggung penuh oleh panitia, itu artinya pemerintah tidak memahami peran strategis pemuda dalam membangun daerah.
Maka tidak mengherankan jika akhirnya muncul aksi simbolik seperti ini. Baliho yang robek itu bukan hanya barang rusak. Ia adalah ekspresi frustrasi, kekecewaan, dan perasaan diabaikan. Ia adalah pernyataan bahwa pemerintah gagal membaca denyut aspirasi masyarakat.
Insiden ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi Pemkot Tidore Kepulauan. Jika wajah pemimpin daerah sudah tidak lagi dihormati sebagai representasi kepercayaan publik, maka itu pertanda bahwa komunikasi, empati, dan kehadiran pemerintah di tingkat akar rumput sedang berada pada titik paling rendah.
Pemerintah boleh saja mengecam tindakan merobek baliho sebagai perilaku tidak hormat. Tetapi kritik itu tidak akan berarti apa-apa jika pemerintah sendiri tidak melakukan introspeksi. Sebab dalam banyak kasus, pemuda tidak akan bertindak sejauh ini jika mereka merasa diperlakukan adil dan dihargai.
