-->
    |


Aku dan Cerita Pulau Kano


Pulau Kano

 Oleh : Karman Samuda

Tepat pada pukul 20:30 Wit, Tanggal 22 Mei  2015 di tengah laut dengan himpitan dua pulau, KM Kamaru membunyikan tanda akan sampai di tempat tujuan. Terdengar sayup-sayup di kejauhan bunyi-bunyi perahu ketinting membelah ombak di tengah kegelapan dan mendekati sisi kapal. Saya di buat begitu heran, ketika ABK kapal menginstruksikan kepada penumpang termaksud saya untuk melompat kedalam perahu karena di Taliabu selatan hanya ada dua dermaga yakni kecamatan loseng dan bobong. Jantung saya berdetak cukup kencang, kaki mulai kaku apalagi dalam posisi loncat ke perahu ketinting, kapal masih dalam keadaan berjalan kencang. Tidak adanya dermaga tempat tujuan saya membuat pengalaman ini menjadi sebuah catatan.

Dok. Pribadi, : Perahu Katinting
 Mengenal Pulau Kano.
Pulau “kano” adalah pulau yang terletak dibagian Taliabu selatan Kecamatan Bobong Kabupaten Taliabu, Provinsi Maluku Utara. Selama ini orang lebih mengenal pulau ini dengan sebutan pulau Pancorang. Pancorang adalah bahasa daerah. Dalam bahasa Indonesia lebih diartikan sebagai saluran air yang memancur. Atau air yang mengalir dan jatuh dari puncak gunung akan tetapi sebutan demikian untuk pulau Kano karena di pulau ini memiliki kandungan mata air cukup banyak. Mata-mata air yang keluar dari lereng-lereng bukit berjarak kurang lebih seratus meter dari pemukiman warga.
Dok. Pribadi. : Sumber Mata Air Yang Menjadi Dasar penyebutan Pulau Pancoran
Orang-orang yang mendiami pulau Kano berasal dari dua suku besar dan di percayai telah lama menjalani kehidupan di pulau ini. Dua suku tersebut adalah suku “ Menui dan Buton. Menurut penuturan warga, bahwa suku Menui adalah suku yang berasal dari Sulawesi Tengah sedangkan suku Buton berasal dari Sulawesi Tenggara.
Awal mula mereka mendiami pulau ini dikarenakan daya tarik dari sebuah perusahaan kayu bulat yang beroperasi di wilayah Taliabu tepatnya di tanjung merah. Daya tarik ini membuat orang-orang dan dua suku ini berlayar dari kampung asalnya menuju pulau Kano untuk mencari pekerjaan. Selang beberapa lama setelah perusahaan tersebut angkat kaki dari Taliabu keadaan sosial menjadi begitu suram. Masyarakat mulai merasa jenuh dengan situasi yang mereka hadapi. Karena setelah perusahaan itu minggat, tidak ada lagi lahan pekerjaan yang menjamin mereka untuk bertahan hidup.
Di tengah himpitan ekonomi, lahirlah ide-ide cemerlang dari masyarakat. Suku Menui memilih untuk bertani seperti berkebun dan tidak kembali ke daerah asalnya. Dalam catatan tahun 1971 Suku Menui ini telah membuat kebun di pulau Kano sedangkan suku Buton sendiri belum mengambil bagian membuat kebun dengan seperti suku Menui yang membuat kebun di pesisir pantai. Beberapa tahun kemudian barulah mereka datang dan memilih hidup berdampingan dengan suku Menui. Dari sinilah kedua suku ini menjadi sebuah kelompok besar yang menghuni pulau Kano dengan kesepakatan untuk hidup bersama.
Masyarakat pulau kano dalam kehidupan keseharian bekerja sebagai nelayan dan petani. Sebagian besar membuat kebun namun, kebun diperuntukan untuk menanam tanaman jangka panjang seperti cengkeh dan kakao. Hal ini menjadi tanaman konsentrasi masyarakat pulau kano seakan berkompetisi menanam tanaman jangka panjang karena menurut pemahaman masyarakat setempat meskipun tanaman cengkeh atau kakao mempunyai proses yang begitu lama akan tetapi pada saat panen membuahkan hasil lumayan banyak.  Maka lewat pemahaman tersebut sehingga membuat semua orang tidak lagi berkebun untuk menanam tanaman jangka pendek seperti padi, jagung dan ubi.

Dok.Pribadi,: Aktivitas Berkebun Warga
Akibat pemahaman pertanian jangka panjang yang begitu kuat dan mengabaikan pemahaman pertanian jangka pendek membuat masyarakat pulau kano lebih cenderung konsumtif. Menurut seorang warga Pancoran, semenjak tahun 1972-1973 masyarakat pulau kano menggantungkan hidupnya dengan menanam padi ladang, ubi kayu, ubi jalar, sampai pada dekade 90-an, namun tahun 2000-2015 masarakat tidak lagi melakukan praktek pertanian tersebut.
Aktifitas masyarakat pulau Kano juga sangat unik karena selama dua minggu smendiami pulau Kano, saya sering dibangunkan dengan suara berisik ketinting yang menusuk gendang telinga. Bunyi yang hampir mirip dengan suara tembakan di saat fajar mulai menyonsong. Ternyata bunyi tersebut berasal dari perahu ketinting milik warga. Bunyi ini merupakan tanda bahwa masyarakat pulau Kano mulai melakukan aktifitasnya. Ada yang pergi ke kebun dan pula memancing. Semua aktifitas masyarakat menggunakan perahu ketinting. Maka jangan heran sebab pulau kano sendiri tidak mempunyai daratan yang cukup besar seperti Taliabu. 

Dok. Pribadi : Seorang Anak dan Ayahnya bersiap melakukan Aktifitas
Walaupun tidak memiliki dataran yang cukup untuk berkebun dengan sekala besar di Pulau Kano akan tetapi masyarakat pulau kano justru memiliki perkebunan besar di tempat yang dinamakan “tanah besar”. 

Kebun-kebun ini terletak jauh dari pulau Kano. Sehingga ketika kita ingin pergi ke tanah besar kita harus menyebrang menggunakan perahu ketinting melewati jalur tertentu. Jalur tersebut oleh masyarakat setempat di namakan Seling dan waitina. Di tanah besar akan terdapat semacam aliran sungai yang bercabang, jika kita ke kri kita akan menuju jalur Waitina sedangkan kekanan menuju jalur seling.
Pada praktek pertanian, masyarakat pulau wano bisa dikatakan sudah mengenal teknologi pertanian modern. Misalnya penggunaan mesin potong rumput untuk memangkas rumput. 

Namun ada hal ironis yang saya temukan yakni penggunaan bahan kimia seperti Gresmason yang dibeli dari Luwuk tidak efesien. Karena bahan kimia tersebut akan di campurkan dengan minyak bensin yang di masukan ke dalam tabung penyemprot dan digunakan untuk meyemprot rumput kebun mereka.
Reaksi bahan kimia tersebut amat cepat sebab, jelang dua jam kemudian seluruh rumput yang terkena peyemprotan berubah warna menjadi hitam.  Menurut bapak Hafit selama satu hari rumput bisa kering dan mati” fakta ini di perparah dengan cara penyemprotan yang membahayakan mereka sebab masyarakat tidak memakai masker maupun sarung tangan sama sekali. 

Menurut penuturan warga yang menggunakan gremason kegiatan ini agar mempercepat dan mempermudah mereka mencabut rumput yang berada disekitar tanaman dari pada memangkas secara manual yang menguras tenaga.
Setelah menyaksikan apa yang tergambar jelas di depan, jantung saya begitu berdetak kencang melihat praktek yang dilakukan oleh mereka. Rasa iba dan kasihan menghampiri saya saat itu namun apa daya saya tidak memiliki kekuatan mencegah, ataupun sekedar untuk berkata banyak. 

Saya hanya melongo dan duduk diam sembari hati kecil saya berbisik kenapa semua orang berkeinginan secara instan dan cepat walaupun sangat berbahaya. Mau kita salahkan siapa tentang persoalan ini apakah salah manusianya ataukah zamannya? seluruh pikiran maupun tubuh terkonsentrasi oleh rialitas saat ini tanpa harus memikirkan danpak buruk, sehingga aktifitas makin membabi buta.
Daun Ubi bukan Sayur tapi makanan Kambing
Kalimat diatas adalah sebuah bahasa terlepas begitu saja dari mulut seorang lelaki kepada seorang wanita yang sedang membawa daun ubi, di saat saya sedang berjalan dengan beliau mencari Sapi peliharaannya. Bahasa tersebut melekat erat di kepala sebelum akhirnya saya memberanikan diri bertanya kepada bapak hafit. Pak kenapa daun ubi bukan sayur tapi makanan Kambing seperti yang bapak katakan kenapa ibu tadi? Sontak beliau menjawab kamu jangan bingung, di sini orang orang tidak suka dengan sayur semacam itu, kata bapak hafit.

Daun Ubi Kayu
Bagi saya pernyataan itu memberikan sebuah jawaban dari pertanyaan alih fungsi pertanian yang masyarakat pulau Kano lakukan. Sebab, jika daun saja menjadi makanan kambing maka sudah barang tentu masyarakat bukan lagi memandang nilai dan manfaat tersebut akan tetapi tidak lagi mengusakan barang tersebut menjadi barang konsumsi utama.
Masyarakat yang tergeser dari produsen ke konsumen telah terjadi di Pulau Kano. Masyarakat pulau kano pada umumnya sudah menjadi masyarakat Konsumtif karena semua kebutuhan dalam rumah tangga di beli dari luar daerah seperti sayur kentang, wortel, kol, sagu, beras, pisang, dll padahal tanah mereka subur serta masih luas akan tetapi kebiasaan seperti ini membuat mereka kokoh sebagai masyarakat konsumtif.
Makanan Khas Orang Menui
Orang menui mempuyai satu makanan khas di namakan TOLIMBU  yang terbuat dari ubi kayu.  Cara pengolahannya, ubi dikupas kulitnya setelah itu di isi kedalam karung  dan kemudian di celupkan kedalam air laut selama sehari semalam. Setelah itu diangkat dari rendaman air laut, kemudian di potong kecil-kecil dan dimasukan lagi ke dalam air tawar agar mengurangi rasa garam air laut. setelah itu diaduk dengan air tawar, diangkat lalu di masukan kedalam panci untuk di kukus selama tiga menit. kemudian di angkat dari panci , dicampur dengan kelapa yang sudah parut, kemudian di tambah dengan tepung sagu.

Dok.Pribadi : Bahan Pembuat Makanan
Makanan khas orang Buton
Selain makanan khas suku Manui, Suku Buton juga mempunyai makanan khas yakni Kasoami. Cara membuatnya cukup rumit karena proses pembuatan cukup panjang. Setelah ubi di kupas kulitnya kemudian di cuci dengan air tawar lalu dibersihkan.  Kemudian ubi diparut sampai halus dan hasil parutnya akan dimasukan ke dalam karung agar air kandungan yang terdapat dalam ubi cepat kering. Proses membuat Kasoami biasanya dilakukan dengan cara mengapit atau ditindis dengan besi atau  batu berat agar airnya bisa keluar. Setelah Kering kemudian di tapis sampai halus lalu dimasukan ke dalam wadah yang sudah dianyam. Wadah ini terbuat dari daun kelapa lalu dimasak beberapa menit angkat dari tempatnya dan kasoami yang berbentuk seperti kerucut dapat di konsumsi.

Dok. Pribadi : Bentuk Makanan Kasoami
Penghasil Energi
Masyarakat pencoran / Kano pada umumnya masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan energi. Masyarakat dapat memperoleh kayu bakar dengan cara membeli kepada orang- orang pemilik mesin Sensor. Harga kayu ditebang di hargai 100.000 Rp itu pun kayu milik pembeli tetapi bila mana kayu milik tukang sensor biasanya di hargai 200.000 Rp.
Ada sebagian masyarakat membeli kayu berdasarkan potongan yang sudah dipotong penggal-penggal, tiga penggal berkisar 10.000 Rp disaat musim panas datang. Akan tetapi jika datangnya musim hujan maka semua masyarakat beralih menggunakan kompor berbahan dasar minyak tanah. Masyarakat melakukan aktifitas masak mereka juga lebih menyukai minyak goreng Bimoli dari pada minyak kelapa asli (minyak kampung). Walaupun harga minyak Bimoli lebih mahal yakni 12.000 Rp per botol di bandingkan minyak kelapa kampung yang di buat sendiri oleh masyarakat yang di jual seharga 7.000 Rp per botol. Mengenai kualitas dan rasa minyak kelapa kampung bagi saya cukup itu jauh berbeda dengan minyak bimoli tuturan warga ‘’lebih enak minyak kampung,baunya juga sedap ‘’ menurut penuturan seorang warga.
Apa yang mereka sampaikan itu benar, namun berbeda dengan implementasi seluruh sendi dan pola pikir yang telah tergilas oleh arus modernitas.  Sehingga dalam prakteknya masyarakat lebih memilih sesuatu yang bersifat praktis dari pada alami dalam bentuk kegiatan tradisonal.
Jauh dari ibu kota Kabupaten, bukan berarti Pulau kano (pancuran) sangat terisolasi terutama listrik. Pulau kano memiliki aliran listrik penerang (lampu) dari bantuan pemerintah berupa tenaga surya yang menerangi mereka pada saat malam tiba. Walaupun tidak menyala setiap hari. Masyarakat hanya bisa menikmati penerangan ini pada pukul 08.00 – 10: 25 WIT. Setelah itu masyarakat harus kembali mengotori tangan mereka untuk menarik tali-tali mesin genset mereka.
Perjalanan saya di pulau Kano menjadi cerita yang begitu menarik. Saya mendapati banyak sekali pengetahuan dan kebudayaan yang tak dikira. Masyarakat yang awalnya hanya datang untuk mencari penghasilan justru menjadi penghuni sesungguhnya pulau Kano. Di satukan oleh latar belakang suku yang berbeda dan menjalani hidup dengan pola toleransi yang sangat luar biasa.***

Karman samuda:  pernah bersekolah di SD Inpres  Wailoba, dan SMP di Negeri 2 Sanana kemudian melanjutkan SMA  di SMA Alhilal Sanana, memasuki Perguruan Tinggi di STKIP kie raha Ternate jurusan Biologi, dan pernah menjabat sebagai ketua  BEM  Universitas periode 2017-2018 STKIP dan Aktif di organisasi HPMS cabang ternate. 




Komentar

Berita Terkini