Sumber : Lapresa |
Oleh: Fanti Gai.
Catatan
permasalahan bangsa Indonesia dari masa ke masa terus saja mengudara. Potret jejak
bangsa ini tidaklah mudah dihindari begitu saja. Pada setiap perihal
lembaran sejarah yang mengisahkan kepahitan telah tumbuh subur disetiap memori
masyarakat. Salah satu kisah ironis yang pernah terjadi dibangsa ini adalah soal
sistem deskriminasi, eksploitasi kaum perempuan yang terus meningkat dari waktu
ke waktu.
Tubuh
Bukan Jajanan
Kisah
ironis perempuan asal Desa Kuripan yang di tulis oleh G.Francis 1896, (Nyai Dasima,) diangkat menjadi Nyai oleh
seorang pegawai kolonial Inggris bernama Edwards Wiliams, istilah Nyai adalah
sebuah julukan terhormat diperuntukan bagi seorang gadis tua (Scholten,1992:266),
menegaskan bahwa istilah ini pertama kali digunakan sekitar tahun 1826 untuk
menyebut pengurus rumah tangga orang Eropa. Pekerjaan seorang Dasima bukan saja
menggurusi semua hal rumah tangga tetapi dia juga seorang korban dari sistem pergundikan
untuk menjadi tempat pelampiasan batin Edward Wiliams pada saat itu, pergundikan
semakin marak akibat banyak orang tua terdesak dengan kondisi ekonomi dan sosial
sehingga mereka melepaskan para anaknya kepada lelaki Eropa agar bisa bertahan hidup.
Belakangan kita sering mengemas
informasi lewat media tentang kasus perdagangan manusia. Pemberitaan di salah
satu media Kompas, terkait 16 perempuan Indonesia di jual ke Cina dengan mahar 400 juta Rupiah. Menurut ungkapan ketua Jaringan Advokasi Rakyat Partai Solidaritas Indonesia (Jangkar Solidaritas)
‘’Muanas Alaidid, kasus ini sudah berawal pada Mei 2018 lalu’’.
Munas Alaidid,
menambah transaksi Rp. 400 juta itu baru diketahui para korban setelah mereka
meminta dipulangkan ke Indonesia. Alasan mereka ditahan karena sudah dibeli dengan
harga ratusan juta melalui kawin kontrak. Mereka masing-masing dari wilayah
Indonesia yang berbeda-beda ada yang dari Bandung, Purwakarta, Subang,
Tangerang dan Tegal. Mereka dibawah ke Cina karena diiming-imingi pekerjaan dan
gaji besar sebagai penjual kosmetik. Ternyata semuanya menyimpang dari
harapan perempuan Indonesia ini. Mereka
dinikahkan dengan menggunakan surat izin orang tua palsu’’pungkas Muanas (Kompas)
Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KPP) memperkirakan 20 persen tenaga kerja Indonesia (TKI) bekerja diluar
negeri menjadi korban perdagangan manusia. Saat ini tercatat 6.5 juta.
Berdasarkan data organisasi migrasi internasional (IOM) 70 persen modus perdagangan
manusia. Kemudian dalam laporan tahunan depertemen luar negeri AS tentang
perdagangan orang tahun 2011, Indonesia masuk lapis kedua dalam standar
perlindungan korban perdagangan manusia. Unicef mengestimasikan sekitar 100.000
perempuan Indonesia di perdagangkan untuk eksploitasi seksual komersial di
Indonesia dan luar negeri’’Bibit Santoso.
Dalam budaya masyarakat yang partiriarki
masih terdapat deskriminasi gender. Perempuan seolah hanya menjadi pelengkap
seksualitas dan di anggap rendah. Budaya yang sudah mengakar sejak dulu cukup
sulit untuk berubah. Kondisi ini di perparah oleh kemiskinan, pengangguran,
kawin di usia dini, serta kebiasaan masyarakat yang hanya mencari pekerjaan
bukan menciptakan lapangan pekerjaan. Dalam kondisi terjepit ekonomi sosial
maka ini mudah mereka dibujuk para calo.
Kekerasan
domestik kepada perempuan
Kekerasan
domestik ialah kekerasan terjadi dalam rumah tangga dalam bentuk fisik menggunakan tubuh seperti, pemukulan menggunakan
tangan, kaki, sampai berujung kematian. Hal ini bukan saja terjadi pada status
suami istri tetapi juga pada anak muda masa kini selalu saja terjadi kekerasan fisik, seperti
pemukulan terhadap pacarnya, pemerkosaan, pembunuhan dan sebagainya. Persoalan ini
lazim ditemukan dalam sekitar kehidupan kita, baik dari segi keluarga sendiri
maupun tetangga.
Memperhatikan
hal tersebut di atas maka keterlibatan orang tua dalam perdagangan perempuan telah
di tetapkannya undang undang republik Indonesia nomor 21 tahun 2007, tentang
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dimana dalam satu pasalnya 57
ayat 1 pemerintah pemerintah, masyarakat dan keluarga wajib menjaga dan
mencegah tindak perdagangan manusia.
Perlu
kita ketahui bersama bahwa lelaki dan perempuan keduanya adalah manusia karena
keduanya bersumber dari ayah dan ibu yang sama maka keduanya berkewajiban
menciptakan situasi yang harmonis dalam masyarakat, tanpa mengetahui hal
tersebut orang bisa mempersalahkan dan menzalimi banyak pihak menganiaya
perempuan serta menjerumuskan kaum perempuan dilembah hitam, merusak integritas
perempuan dan mencoreng wajah bangsa serta keluarga.
Demikian
ada beberapa nilai-nilai untuk kita menjunjung tinggi pertama, moral Agama, menciptakan
satu sistem kontrol sosial dari segi keluarga, orang tua maupun anak saling
menjaga citra keluarga, agar tidak tercerabut dari keutuhan masyarakat dan
mampu menjadi hakim untuk diri sendiri, sehingga mampu membimbing keluarga
untuk menuju satu cita-cita yang damai, memiliki keluarga yang harmonis serta
menjadi keluarga sejahterah dan bahagia. (**)