Oleh : Arman Panigfat
Pagi itu awan tampak cerah saat fajar berlalu. Matahari malu-malu, menaiki langit seujung tumbak.
Setelah semalam suntuk bersembunyi dibalik gelap, beraktifitas di pagi hari adalah rutinitas masyarakat saat ini, berangkat kerja pukul 6.00 (pagi) pulang 18.00 (malam) semata mata memenuhi kebutuhan sehari hari, sangat relefan dengan nasehat CEO Google yaitu untuk sukses mengawali pagi dengan membaca buku, koran, mendengar radio dan media darling yang pada subjeknya bekerja.
Melatih diri beraktifitas positif jauh lebih produktif dan memberikan pesan masa depan. Sempat melewati salah satu langgar tempat tersebut disampingnya terdapat sebuah cafe, tidak biasanya tempat itu di kerumuni anak muda, setelah mendekat ada dialog tentang Millenials. Soal generasi langgas disamping ledakan positif juga negatif, saking Booming lahirlah kecemasan.
Tentu untuk menjawab semakin kencangnya dunia digital sosial media. Berdasarkan data angka generasi millenials Indonesia tembus di angka 85 juta dari jumlah penduduk 250 juta menunjukan terjadi bonus demografi dan anggapan orang dunia berubah total, era terbaik karena dominasi usia produktif sebutan (Dila Amran OMG Consulting). Penulis buku Generasi Langgas.
Millinials umumnya erat dengan anak muda, yang kreatif dan inovatif di Amerika serikat tahun 1920-1960, terkenal dengan silent generation kemudian terjadi letupan yang dikenal Baby Bumers, era ini terjadi akibat perang dunia II. Kenapa disebut generasi millinial? karena mereka lahir menuju mellenium dan memiliki pandangan perubahan terutama perubahan dalam dirinya.
Pada konteks ini setiap individu mempunyai pemahaman dan perspektifnya berkaitan dengan perubahan lingkungan Negara, Kota, Desa. Perubahan pada jamannya tidak sama dengan jaman kini, istilah populer “barang siapa tidak menjemput jaman pada jamannya maka siap untuk tergilas”.
Paling tampak yaitu siapa sangka Kota akan tumbuh bangunan-bangunan seperti mall, ruko dan hotel di atas tumpukan batu dan tanah, atau kita kenal dengan “reklamasi pantai”. Tidak terduga pula Negara akan memberlakukan tes CPNS dengan sistem Chat. Ini diluar nalar masyarakat awam, namun bagi yang berakal, suatu perubahan tanpa alasan adalah mustahil. Mungkin kini merupakan waktu tepat untuk menasehati diri masing-masing, semata-mata menyiapkan diri menghadapi perubahan kedepan.
Kehadiran Jeck Ma ke Indonesia untuk mengenalkan transaksi berbasis digital Icommers saat negara menghadapi lajunya tingkat perubahan dengan kesiapan SDM, dilain sisi perkembangan dunia global semakin menggila, lebih-lebih ke perkembangan digital. Prediksi pakar kedepan, semua aktifitas sosial dilakukan lewat dunia digital. Perubahan ini melingkupi budaya, life style, politik, ekonomi.
Penggunaan digital atas keterlibatan generasi muda dan ledakan media social menjadi instrument paling di minati anak muda, setidaknya untuk menunjukan eksistensi misalkan saling sapa, berbagi isu-isu politik, bisnis dan menepis berita hoaks.
Bolsonaro misalkan pada pemilihan Presiden Brazil 2018, telah memenangkan Haddad berkat kampanye hoaks, lewat media whatsApp. Berita hoaks kuat mempengaruhi mindset, masyarakat mudah mengkonsumsi diantara kebenaran dan kesesatan lebih dominan kesesatan, dengan bentuk visual, simbol-simbol lainnya.
Perubahan apapun, adalah produksi tiap kepentingan yakni kepentingan politik, bisnis, agama dll. Hal tersebutlah menyerupai perubahan sebelumnya.
Mengutip Ali Saryati salah satu intelektual beraliran islam sosialis Iran; sesungguhnya perubahan yang dipahami adalah perubahan semu seperti hutan di gusur menjadi jalan raya, kota di sulap bangunan-bangunan beton sehingga kita mengira itu bagian dari perubahan padahal tidak.
Sebelumnya, pekerjaan diselesaikan dengan bergotong royong kini terbalik manusia bertindak individualistik mengandalkan kemampuan dan keahlian pribadi.
PEMELIHARAAN HOAKS
Perkembangan sosial media terhadap animo generasi muda cukup masif, akibatnya terjadi penyimpangan pada konteks persepsi informasi. Berita hoaks menjadi sasaran empuk kepada khlayak, apalagi yang mempunyai strata pendidikan di bawah rata-rata. Bahkan ungkapan Rocky Gerung pembuat berita hoaks terbaik adalah penguasa.
Hoaks seakan menjadi parodoks elite untuk menyebarkan misi politik dan misi lainnya. Sehingga kini masyarakat kehilangan nalar untuk mendefenisikan kebenaran, sedianya kejerumusan khalayak tidak bisa dibendung, karena pergerakan digital kental sekali menyerang sampai pada budaya yang dianut khalayak.
Pergerakan dan kekuatan media sosial menggambarkan sosok generasi millinials bagaimana mengungkapkan diri lewat dunia visual kepada publik.
Mereka anak Muda memang icon. Pada pilpres 2014 Joko Widodo berhasil mengalahkan Prabowo Subianto karena berkat Tim syber yang bergerak dengan gerakan-gerakan kreatif yang terkenal dengan Pasukan Jasmev. Akronim Jokowi advanced social media volunters ini adalah bukti keterlibatan anak-anak muda pada lini kampanye perubahan politik.
Namun, disamping perubahan yang berada di tangan generasi muda, penggunaan media sosial juga sering di manfaatkan oleh politisi untuk mengkampanyekan berita hoaks misalkan, pada pemilihan Presiden Brazil di laporkan Bloomberg dua hari sebelum pemilu putaran kedua, bagaimana Facebook dan WhatsApp (WA) berupaya keras mencegah penyebaran berita hoaks.
WhatsApp menonaktifkan kurang lebih 100.000 pengguna yang di anggap peternak hoaks. Kutip (Tirto.id). Menurut Alexia Fernandez Campbell kemenangan Bolsonaro tidak terlepas dari penggunaan hoaks, untuk menggombosi elektabilitas lawannya. *