-->
    |

DEMOKRASI dan POLITIK LOKAL ( Refleksi UU No 32 Tahun 2004 )


Oleh : Rusni Ibrahim
(Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan Galela Barat )

Pasca-Reformasi kata “demokratis” dalam pasal 18 ayat 4UUD 1945 diterjemahkan dalam dua undang-undang. Pertama, melalui UU No. 22 Tahun 1999 kata “secara demokratis” masih diimplementasikan dalam kerangka demokrasi perwakilan melalui DPRD. Kedua, UU No. 32 Tahun 2004 menerjemahkan kata demokratis menjadi pemilihan kepala daerah secara langsung.

Dengan demikian, kata demokratis dalam UUD 1945 mengalami tafsir ganda,yaitu melalui mekanisme DPRD dan secara langsung. Perdebatan atas tafsir ganda ini kemudian menjadi materi pembahasan yang alot, bahkan memakan waktu yang relatif lama, dalam sidang-sidang Komisi II DPR RI dalam rangka merevisi UU No. 32 Tahun 2004.

Persoalan ini akhirnya diputuskan secara dramatis pada sidang paripurna DPR RI tanggal 26 September 2014 dengan disahkannya UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada. Pengesahan tersebut segera disusul oleh dikeluarkannya Perppu No. 1/2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Proses institusionalisasi atau reformasi institusional dalam agenda demokratisasi di Indonesia mengalami perubahan terus-menerus dalam agenda lima tahunan. Hari ini perubahan itu belum menghasilkan kemapanan dan kestabilan.

Padahal kemapanan dan kestabilan ini penting untuk mengarah pada aspek yang lebih fundamental, yaitu perubahan struktural, institusional, dan kultural, serta penyiapan aktor-aktor dalam implementasinya. Untuk memenuhi kepentingan ini harus ada formulasi tentang bagaimana proses perubahan institusional mesti dilakukan secara inklusif dan partisipatif agar hasilnya mendapatkan legitimasi dari publik.

Di zaman Orde Baru pemilihan kepala daerah dilaksanakan melalui musyawarah mufakat antar dan lintas fraksi di DPRD. Sidang paripurna dilakukan untuk memilih tiga nama yang kemudian diusulkan ke pemerintah pusat (dalam hal ini Menteri Dalam Negeri)melalui Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Satu nama lantas ditetapkan untuk dilantik oleh Mendagri.

Pada umumnya komposisi kepala daerah berasal dari latar belakang ABRI, Birokrat, atau Golkar (ABG). Kepala daerah umumnya merupakan ”kiriman” dari pusat; sebagian besar merupakan tentara aktif berpangkat kolonel, kemudian birokrat (PNS karier), dan sebagian kecil adalah politisi sipil dari Golkar. Tidak ada mekanisme pemilihan di parlemen. Setiap anggota haknya tergerus oleh dominasi fraksi yang merupakan perpanjangan partai, sehingga demokrasi menjadi semu.

Bila anggota melawan kebijakan fraksi dan parpol, maka ia bisa dikenai sanksi “recall”, inilah bentuk demokrasi yang pernah ada dalam sejarah bangsa indonesia selama 32 tahun Rezim otoriter berkuasa dan pembungkaman terhadap lawan-lawan politik nya. Ketidakpuasan dan perampasan hak-hak publik menjadi pemicu munculnya perlawanan dari Gres Grud yang di motori oleh aktivis kampus/Mahasiswa serta P
praktisi akademis dengan satu tuntutan yakni Rezim yang berkuasa harus turun, gerakan ini yang kemudian di alamatkan sebagai gerakan Reformasi dan apa yang di cita-citakan pada akhirnya tercapai sejak soeharto membacakan surat pengundurkan diri dari jabatan nya sebagai Presiden Republik indonesia.

Di era Reformasi, melalui implementasi UU No. 22 Tahun 1999, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis di parlemen dengan cara voting ”satu orang satu suara”. Setiap anggota parlemen memiliki kekuasaan penuh dan hak-hak yang terartikulasi secara independen. Era ini merupakan era liberalisme politik lokal.

Meskipun ada tekanan dari fraksi dan partai politik, sering kali ditemukan seorang anggota DPRD bisa berbeda pilihan dengan apa yang telah ditetapkan oleh fraksinya karena konsep ”recall” sudah tidak ada lagi. Fraksi hanya memiliki fungsi untuk meloloskan calon yang memenuhi syarat dukungan 15% kursi di DPRD.

Seiring perubahan zaman yang bergerak begitu cepat, dinamika sistem berpolitik pun ikut mewarnai setiap inci demi inci. Perubahan ini di tandai dengan lahirnya UU  No 32 tahun 2004 tentang Pemilihan Kepala Daerah secara Umum Demokratis jujur dan Rahasia. Inilah embrio yang mewarnai demokrasi lokal kita di setiap daerah, seiring dengan ini pulah muncul  aktor-aktor politik kita yang siap berkompetisi dalam perebutan hati rakyat demi meraih unsur pimpinan di setiap daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/ Kota.

Kabupaten halmahera Utara sejak lahirnya UU No 32 tahun 2004 juga telah ikut mewarnai pesta demokrasi setelah di tetapkan sebagai Kabupaten baru yang berpisah dari kabupaten induk dari Maluku/ Ambon, pada tahun 2003- 2004 hajatan demokrasi lima tahun sekali melalui pemilihan Umum oleh rakyat itu, dimana rakyat halmahera utara telah menetapkan amanat kepada Ir. Hein Namotemo sebagai Bupati dan Arifin Neka,SH yang mendapinginya sebagai wakil bupati untuk menata serta membangun Kabupaten halmahera utara selama lima tahun ke depan.

Perubahan sistem ketatanegaraan kita di Indonesia terutama pada level suprastruktur politik telah menggenjot partisipasi publik dalam semua aspek kehidupan kita, rakyat di era ini telah di jamin kebebasan nya dalam mengeluarkan pendapat di depan umum, serta mandiri dalam menentukan pilihan politiknya. Semoga*     

Komentar

Berita Terkini