Suasana ketika penumpang hendak turun. |
Oleh: Faisal Yamin.
"Gulung kaki celanamu, lalu lompatlah, disini tidak ada jembatan. Yang ada hanya nyanyian ombak menari-nari di telingamu".
Kalimat di atas menjadi pembuka perjalanan saya ke salah satu pulau di Maluku Utara. Tepatnya, Pulau Makian atau biasa disebut Kie Besi dan nama bekennya pulau kenari. Maklum, sejak dulu kata "Kenari" sudah menjadi label bagi suku makian selain dari "Togal".
Sebagai penghasil buah kenari terbesar di Maluku Utara, (walaupun tidak ada data yang tepat berapa produksinya), kenari di manfaatkan sebagai mata pencarian nomor tiga setelah kelapa dan pala, cengkih.
Kenari dapat di jual mentah, juga bisa di jadikan cemilan dan yang paling khas adalah "Halua Kenari". Makanan tradisional yang berbahan baku gula merah dan kenari.
Pulau Makian pernah dilanda bencana besar, tepatnya 30 Tahun silam. Letusan Gunung Kie Besi pada tahun 1988 waktu itu membumi menerjang hampir seluruh kampung dengan abu Vulkaniknya. Tanaman-tanaman dan harta milik warga ludes tertimbun. Konon katanya, letusan itu membuat suku Makian menyebar ke hampir penjuru wilayah Maluku Utara.
Semenjak itu, pembangunan pulau Makian dapat dikatakan lambat. Baik infrastruktur maupun bidang pendidikan dan kesehatan.
Bisa dibilang, Pulau Makian dengan kebesaran sukunya cukup tenar, akan tetapi dibalik ketenarannya, masih banyak problem sosial yang terjadi.Tulisan ini merupakan catatan, yang sebenarnya sudah sering saya dan masyarakat khusunya Pulau Makian Barat lalui. Saking seringnya, ia sudah menjadi bagian dari hidup.
***
Perjalanan ini saya mulai pada pembuka tahun baru, tepatnya tanggal 01 Januari 2019.
Suasana subuh di Pelabuhan Bastiong di sergap oleh udara yang begitu dingin menembus tulang. Ombak menjadi irama, hempasannya mengenai tiang-tiang jembatan pelabuhan. Menciptakan riuh seperti bermain gitar tanpa lupa notasi. Langit memerah juga tidak tinggal diam berpesta.
Kapal yang saya naiki tepat didepan saya dan puluhan penumpang lainnya. Ukurannya 10 meter dan di dorong oleh mesin berkekuatan 40 PK sebanyak 6 buah. Kapasitas penumpangnya sendiri berkisar 60 orang. Walaupun pada kenyataanya, sering terjadi over kapasitas.
Raungan mesin mulai terdengar. Sebuah tanda Speed boat akan bertolak ke tujuan yakni Pulau Makian, khususnya Makian Barat. Namun karena cuaca yang kurang bersahabat, keberangkatan di tunda dari yang biasanya pukul 05:00 wit menjadi pukul 06:00 Wit.
Menurut nahkoda cuaca seperti ini sangat berisiko jika berangkat di waktu seperti biasanya. Apalagi dengan keadaan laut bergelombang diikuti oleh pergerakan angin yang kencang dapat mengancam keselamatan penumpang.
****
Tepat pukul 06:00 Wit, tali pengait dilepaskan. Kapten dan kru sepertinya sudah mengambil keputusan sekaligus resiko untuk menempuh perjalanan disituasi dan kondisi seperti ini.
Speed boat yang di dorong oleh enam buah mesin itu perlahan bergerak meninggalkan pelabuhan. Saya kali ini mengambil tempat di dalam speed.
Duduk dideretan kanan barisan ke empat. Bersama saya, ada sekitar 20 orang penumpang sedangkan penumpang lainya duduk diatap speed boat dengan tujuan yang sama. Walaupun sepi penumpang akan tetapi tumpukan muatan para penumpang membuat ruang gerak dalam speed boat terasa sempit.
Speed boat bergerak cepat membelah ombak. Sesekali suara dentuman menggelegar di kolong speedboat, tepat dibawah kaki. Rute perjalan dimulai dengan melewati celah Tidore dan Miatara, kemudian Mare, mampir di Moti dan meneruskan ke pulau Makian.
Waktu tempu normal ke makian sebenarnya hanya 1 jam 30 menit. Akan tetapi, karena sped boat ini merupakan speed boat penumpang maka waktu yang ditempuh ke Pulau Makian 3 Jam 40 Menit.
Waktu tempuh yang lama ini karena, speed boat harus mampir disetiap rute tujuan penumpang. Di Moti sendiri, ada 2-3 kampung di singgahi. Sedangkan ke Makian Barat, ada 7 kampung dan disetiap kampung speed boat harus menurunkan penumpang dan muatannya.
Dan, perjalanan kali ini terasa begitu cepat karena kurangnya penumpang dan cuaca yang sudah membaik sejak akhir tahun 2018. Walaupun sesekali dibuat panik oleh teriakan penumpang dan olengnya kapal.
"Oh ini ombak so kurang, tara sama berapa hari yang lalu itu, ombak basar sampe. Tapi ini hanya ombak pante saja jadi aman saja" Ucap seorang kakek yang duduk tepat di depan tempat duduk saya sembari menguatkan tekad saya yang sedari tadi mulai lemah.
Kepala mulai terasa pening dan pusing mendengar kata si kakek. Kalau ini hanya ombak pantai, maka bisa di pastikan ketika tiba di tujuan saya akan basah kuyup saat hendak turun. Hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, basah kuyup kedua speed boat akan berlabu di desa tetangga jika ombaknya besar. Segala gundah ini membuat pusing dan saya memilih untuk sedikit memejamkan mata.
****
Suasana ketika penumpang hendak berangkat ke ternate |
Dua jam kemudian speed mulai mendekat di pulau Makean. Setelah sebelumnya bertarung di Pulau Moti.
Desa Sabale, adalah desa pertama yang di singgahi speed boat. Nampak, wajah cemas dan pasrah terlihat di wajah para penumpang yang hendak turun di desa tersebut. Sebab di kejauhan,sudah terlihat hempasan ombak-ombak menghantam tepian pantai. Suaranya bahkan sesekali menutupi suara mesin.
Dan, saat speed telah mendekati pantai (pelabuhan) arus yang menciptakan gelombang terasa sangat kuat. Speed sampai harus mencari posisi yang tepat karena jika salah posisi maka dapat berakibat fatal. Speed boat bisa hancur berkeping-keping. Apalagi pelabuhan desa ini sangat sempit dan di penuhi batu-batu besar disamping kiri dan kanan.
Setelah berada pada posisi yang tepat, dua buah jangkar sekaligus dilepaskan. Tali pengaman kiri dan kanan diikatkan. Dan, penumpang beserta barang bawaan diturunkan. Penumpang yang turun di desa tersebut pun harus menceburkan diri ke dalam air. Tak ada pilihan lain menurut mereka, lebih baik basah daripada harus turun di desa tetangga dengan akses jalan yang terputus-putus .
"Ado,,lompat sajalah biar basa asal so sampe di kampung. Yah, dari pada turung di desa lain baru bajalan lagi lebe susah". Ujar seorang ibu yang hendak turun.
Setelah semua penumpang dan barang bawaan selesai di turunkan, mesin satu persatu mulai di hidupkan dan tali pengait jangkar ditarik. Kali ini, hanya lima mesin yang di gunakan, mungkin agar lebih irit karena jarak antar desa yang satu dan yang lainnya tak begitu jauh.
Dengan kecepatan yang agak pelan, speed menyusuri batas tepian karang. Gelombang yang agak besar sesekali menghantam dari sisi kanan sehingga kapal sedikit oleng. Untuk membuat speed pada posisi normal, nahkodapun meminta agar posisi duduk di sebelah kiri bergeser ke kanan, sebab posisi ombak yang bergerak dari barat menuju timur.
20 menit kemudian, speed boat telah berada tepat di depan desa Mateketen, sebelumnya ada desa Talapaon namun karena arus dan gelombang pantai lebih kuat dan besar dari desa Sabale, nakhodapun memilih untuk tidak berlabuh dan menurunkan penumpang. Pikirku, saat ini penumpang desa Talapaon sangat apes, karena mereka harus berjalan kaki ke kampungnya sambil menenteng barang bawaan yang cukup banyak.
Di desa Mateketen sendiri, tempat yang di singgahi speed boat adalah di Palao Dagai (tempat rumah). Sebuah teluk yang sebenarnya tidak teduh, namun tempat berlabuh yang biasanya tidak bisa karena di gerbang masuk pelabuhan di penuhi material batu yang terbawa gelombang tinggi yang terjadi beberapa waktu lalu. Maka nahkoda memilih palao dagai.
"Torang turung di palao dagai, soalnya di pelabuhan sana ada bois (batu penangkal ombak yang diletakkan di depan talud), omba bage kse kalao di tampa speed sandar". Ujar seorang masinis kepada kami.
Setelah lepas jangkar, saya dan penumpang yang lainya bersiap-siap untuk turun. Terlihat penumpang yang lain sibuk mengulung kaki celananya agar tidak basah. Padahal kalau dipikir-pikir dengan keadaan seperti ini, bukan kaki celana saja yang nanti basah, sekujur tuhuh akan basah karena ombak pantai.
"Ado keadaan ini torang babasa lagi, kapan la tarang naik turun speed kaki deng calana tara basah ini dia" ucap seorang penumpang yang hendak turun dengan nada kesal.
Sudah menjadi hal biasa, penumpang yang pulang kampung atau hendak pergi harus basah-basaan mulai dari celana sampai kaos jika ombak pantai besar, bukan hanya pakaian sebadan yang basah. Semua barang bawaan pun pasti basah.
Saya kemudian mengambil posisi untuk turun, melompat adalah cara agar terhindar dari basah. Ah tapi sama saja, antara melompat dan tidak melompat ujungnya tetap basah. Beberapa menit
Kemudian saat speed boat menempel gunung laut yang biasa disebut pasi oleh orang-orang didaerah ini. saya kemudian melompat pasir dengan keadaan basah sekujur tubuh.
***
Kecamatan Makean Barat sendiri terdiri dari tujuh desa. Dari ketujuh desa tersebut, hanya satu desa yang memiliki pelabuhan laut.
Walaupun demikian, ketika para warga desa tersebut hendak berpergian, mereka juga pasti mengalami kondisi yang sama yakni "basah-basahan "ketika naik atau turun dari speed boat.
Sementara enam desa ini tidak punya jembatan laut. Speed boat yang mengangkut penumpang dan menurunkan penumpang dilakukan di bibir pantai.
Hal tersebut yang membuat masyarakat di Makean barat mengeluhkan tidak adanya insfrastruktur seperti pelabuhan laut. Akses ke pulau ternate sebenarnya sudah bisa dilalui dari makian dalam, akan tetapi tidak adanya akses penghubung jalan darat adalah kendala tersendiri. Jika di tempuh ke makian dalam, hampir 4 Jam untuk sampai ke pelabuhan ferry.
Kondisi yang dialami oleh masyarakat makian barat sudah cukup lama, akses infrastruktur seakan tidak berpihak.
Masyarakat memang dijanjikan oleh berbagai pihak dengan kepentingan masing-masing. Bahkan menurut warga sekitar ketika sudah masuk musim pemilihan Bupati juga legislatif, janji insfratruktur selalu di degungkan, dan hasilnya selalu nihil
"Torang pe pemerintah ini me kadang cuman janji-janji saja, kendati kalo so dapa itu torang so tara dapa kase lia. Itu kaya jembatan laut itu, kala la asal satu saja ka supaya torang sanang sadiki". Tutur warga dengan nada kesal
Mereka menuturkan bahwa "untuk jembatan dulu pernah ada orang datang lia lokasi, tapi sampe sekarang so tarada lagi setelah itu. Dorang punya alasan kalo di Makean Barat tara bisa bangun jambatan barang ombak banyak, padahal ada tampa yang kurang ombak biar musim ombak".
Di ketahui, untuk pembangunan infrastruktur di pulau Makian barat sendiri masih sangat lambat. Tidak hanya jembatan laut, infrastruktur ekonomi seperti pasar misalnya, sampai saat ini belum juga tersedia. Hal ini membuat masyarakat juga para pedagang kemudian harus pergi jauh-jauh ke Kota Ternate untuk melakukan transaksi jual beli di Ternate.
Selain itu, infrastruktur jalan darat sebagai akses penting masyarakat sampai saat ini belum terwujud. Pasalnya jalan lingkar di pulau tersebut belum menghubungkan seluruh desa yang ada di pulau tersebut. Kondisi jalan yang sementara di bangun juga rusak, berlubang dan di tumbuhi semak-semak.****