Aktif Menulis di Institut Tinta Manuru
Wakil Rakyat
akhir-akhir ini selalu mendapat sorotan publik, berbagai macam perkara pun dilakukan
oleh oknum Anggota DPRD di berbagai daerah merupakan kasus paling vital
sepenjang perjalanan politik di indonesia. Kasus-kasus yang melibatkan Oknum
Anggota DPR di beberapa daerah ini sebenarnya harus menjadi kekuatan untuk mengevaluasi
diri bahwa Psikologi Perwakilan Rakyat di beberapa daerah indonesia akhir-akhir
ini mengalami pergeseran dari nilai-nilai dan juga etik sebagai perwakilan
rakyat tersebut.
Kota Tidore Kepualauan,
Provinsi Maluku Utara saat ini, publik dibikin heboh dengan salah satu Oknum Anggota
DPRD Kota Tidore Kepulauan yang masih aktif masa jabatannya. Sungguh miris Oknum
Anggota DPRD Tidore ini menjadi kritikan pedas bagi publik Tidore dan maluku
utara pada umumnya, bahwa betapa sangat pentingnya proses pengujian kualitas
dan kapabilitas calon anggota dewan perwakilan daerah pada setiap menjelang ajang
demokrasi diselenggarakan.
Hal ini sebenarnya bukan kelalaian pelaksana demokrasi dalam artian panitia pelaksana pemilihan legislatif di daerah, bukan juga salah masyarakat yang memilih oknum DPRD Tidore ini menjadi wakil mereka di lembaga legislatif Tidore. Hal ini lebih kepada kesalahan person yang memiliki dampaknya begitu meluas hingga ke rongga-rongga kehidupan Kota Tidore yang asri dan religius.
Bagaimana tidak, baru
saja berapa hari lalu seorang oknum anggota DPRD Tidore inisial AJM alias Gion di
kabarkan telah ditemukan sejumlah Miras jenis Captikus di dalam mobil miliknya
oleh Pihak Kepolisian Tidore.
Padahal, belum lama ini Sultan Tidore sendiri mengingatkan setengah menegur kepada pemerintah Indonesia soal RUU legalitas Investasi Miras yang oleh pemerintah akan mendatangkan pendapatan untuk kantong pemerintah indonesia sendiri.
Mengutip kata Sultan Tidore, Husain Syah dalam artikel CnnIndonesia.com pada senin 01/03.21. Sultan Tidore mengatakan bahwa "sila kesatu Ketuhanan Maha Esa, bagaimana kita mau berketuhanan yang Maha Esa. Jika dimensi yang lain kita masih melegalkan dan menghalalkan sesuatu yang dilarang Tuhan, Minggu, (28/02/21)."
Pernyataan Sultan Tidore
ini dengan jelas merupakan teguran dan kritikan pemerintah Indonesia jika
melegalkan (Izin) Investasi Miras yakni Perpres No. 10 Tahun 2021 ini dinilai
sangat bertentangan dengan sila kesatu Pancasila dan tentunya UUD 1945
Kembali lagi pada oknum
anggota DPRD Tidore yang saat ini entah bagaimana proses hukumnya, sebab hal
ini sangat bertentangan dengan Etik DPRD itu sendiri dan terutama sangat
bertentangan dengan nilai yang di pegang oleh Masyarakat Tidore yang pada umunya adalah mayoritas beragama Islam.
Seorang oknum anggota DPRD
kedapatan membawa miras dalam mobilnya bukan lagi hal yang wajar, hal ini
melanggar beberapa nilai yang dipegang. Paling pentingnya lagi, wilayah tidore
utara dan mungkin tidore pada umumnya menurut pemerintah tidore akan di jadikan
sebagai kota santri (Religius)
Bukan apa-apa,
melanggar kode etik sebagai Wakil Rakyat memiliki prosedur dalam proses
hukumannya tersendiri di lembaga legislatif. Tetapi menurut hemat saya, selain
berbagai langkah proses hukum yang diselesaikan oleh lembaga legislatif
(internal DPRD Tidore) sendiri, atau pihak berkewajiban di wilayah pemerintahan Kota Tidore. Setidaknya Jou Sultan Tidore harus mengambil sikap tegas secara
adat untuk memberikan sanksi pada oknum anggota DPRD Tidore yang sudah mencoreng nama
baik Tidore yang religius di bulan ramadhan ini.
Sebagai salah satu
generasi muda kota tidore, saya sangat menyangkan dengan perbuatan Oknum DPRD
Tidore saat ini. Saya tidak melihat dari partai atau fraksi mana, yang saya
sesalkan adalah seorang perwakilan rakyat setidaknya memberikan contoh
sebagaimana amanat yang tertera dalam cita-cita DPRD untuk membimbing dan
memberikan yang terbaik buat rakyatnya, bukan sebaliknya.
Kita lihat Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Rndonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam ketentuan umum pasal 1 Poin (2)
Aggota DPR, selanjtnya disebut Anggota adalah Wakil Rakyat yang telah bersumpah
atau berjanji sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan dalam melaksanakan tugasnya sungguh memperhatikan kepentingan rakyat.
Dari poin 1 ini, kita
garis bawahi kepentingan rakyat yang mana yang oknum DPRD ini abaikan, yang
jelasnya dalam memberikan contoh yang baik, menunjukan moral juga perilaku yang
baik sebagai seorang wakil rakyat adalah kepentingan rakyat khususnya
masyarakat tidore.
Poin 3, kode etik DPR, selanjutnya disebut Kode Etik
adalah norma yang wajib di patuhi oleh setiap anggota dewan selama menjalankan
tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra dan kreadibilitas DPR.
Perlu kita garis bawahi lagi soal Kode Etik ini, tugas Anggota Dewan adalah menjaga mertabat, kehormatan,
citra dan seterusnya kreadibilitas DPR yang mana yang di maksudkan kalau kita
membawa poin ini dalam kasus yang dilakukan oleh oknum DPRD Tidore alias AJM tersebut,
jelas-jelas telah mencederai kode etik DPRD sebagai wakil rakyat.
Artinya, dari dua poin
dalam satu pasal diatas mengantarkan kita kepada kolektif tatanan nilai yang
harus dipegang oleh dan atau sebagai Anggota Dewan yang notabenenya adalah Wakil Rakyat tidak lebih sebagai seorang pemimpin rakyat dalam hal aspirasi.
Lalu apa yang di contohkan
dengan perilaku atau tindakan yang melanggar ini? belum lagi hal atau kasus ini
terjadi di bulan ramadhan, itu pertanda bahwa terjadinya pergesaran perilaku
oknum Anggota Dewan yang perlu pembinaan atau lembaga terapis untuk memberikan
stimulus cara berpikir yang sehat kepada oknum tersebut
Selanjutnya, dari kasus
ini kita mendapatkan hikmah bahwa tidak semua Wakil Rakyat memiliki i’tikad
baik untuk menjalankan amanat rakyat. Disini, kiranya sangat penting kita
meminta pertanggungjawaban ketua DPRD Tidore untuk memberikan pernyataan terkait
dengan kasus tersebut, serta sesegera mungkin mengevaluasi rembaga milik rakyat
ini.
Kita lihat lagi bagian
kesatu kepentingan umum pada Kode Etik, pasal 2 poin (1) Anggota dalam setiap
tindakannya lebih mementingkan kepentingan bangsa dan negara daripada
kepentingan pribadi, seseorang dan golongan. Selanjutnya poin (2, 3 dan 4) pada
prinsip etiknya adalah memberikan dan menjalankan yang terbaik untuk
kepentingan rakyat.
Disini saya menggunakan
dua asumsi dengan kasus oknum anggota DPRD Tidore yakni AJM atau gion dalam
logika yang paling sederhana. Saya tidak bicarakan secara kolektif dari sisi
kesalahan (masalah). Kita tepatnya focus pada tujuan apa yang kita ambil poinnya
dari kasus ini.
Jika menggunakan asumsi
bahwa oknum ini pada proses hukum dan membela diri, atau mendapatkan keringanan
hukum dan semacam itu saya rasa tidak menjadi perkara yang alot untuk dikaji. Tapi
jika si oknum dengan keringanan hukum ternyata memberatkan pihak-pihak yang
terlibat berarti hal ini lebih cenderung kepada pemulusan hukum yang sering
diistilahkan selalu tajam kebawah.
Asumsi kedua, barang
bukti ditemukan didalam mobil milik oknum membuktikan dua hal yang mungkin
dinilai sangat erat kaitannya. Pertama, barang bukti miras jenis captikus ini
adalah milik oknum anggota DPRD Tidore yang bisa jadi untuk disuplai kepada
penjual atau agennya untuk di jual.
Kedua, jikapun barang
bukti ini bukan milik oknum maka yang perlu dilihat adalah oknum yang terkait
atau terlibat. Kurang lebih empat orang sebagai masyarakat biasa dari Kelurahan Bobo yang dimintai keterangannya untuk proses hukum selanjutnya dari pihak kepolisian
Ketiga, apa hubungan
antara oknum dan empat orang yang terlibat? Kalau hubungannya adalah pertemanan
karena oknum sendiri berasal dari Kelurahan Toloa yang berdekatan dengan Kelurahan Bobo sehingga pertemanan adalah hal lumrah yang perlu diakui.
Keempat, jika hubungan
oknum dan empat orang yang dimintai keterangan oleh pihak berwajib disaat bersamaan
dimintai juga keterangan oknum dan jawabannya adalah hubungan mereka adalah
teman, maka sudah bisa di pastikan diantara mereka adalah pengguna dan pengedar
(penjual)
Dari empat poin ini,
pihak yang mana yang harus disalahkan. Kalau beracu pada hukum yang sebenarnya
akan ditemukan pelaku sebenarnya. Jangan sampai rakyat kecil atau empat orang
yang juga dimintai keterangan oleh pihak kepolisian menjadi kambing hitam dari
kasus ini.
Perlu ketegasan
kiranya, Wali Kota Tidore, ketua DPRD Tidore, Pihak Kepolisian Wilayah Tidore
dan terutama Pihak Kesultanan Tidore yang sebelumnya telah melayangkan
pernyataan secara resmi kepada Presiden RI tentang Legalitas Investasi Miras. Ketegasan
sanksi secara kelembagaan dan sanksi sosial secara profesional seperti apa yang
bisa diberikan untuk oknum seorang angota DPRD Tidore yang pada
momentum ramadhan telah kedapatan membawa miras jenis captikus diwilayah
Tidore.
Sebelum lebih lanjut, kita lihat lagi Kode Etik bagian kedua tentang integritas Anggota DPR. Pada pasal 3 poin (1) anggota harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahlan citra dan kehormatan DPR baik di dalam gedung DPR maupun diluar gedung menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pertanyaannya, apakah
perilaku oknum membawa/ditemukan miras jenis captikus didalam mobil miliknya
adalah tindakan pantas dan perlu pembelaan oleh perbagai cara untuk mendapatkan
keringanan hukum? Atau etika dan norma yang mana yang dimaksudkan dalam kode
etik (integritas ini)
Begitupun masih pada
integritas poin (4) anggota menjaga nama baik dan kewibaan DPR. Di poin ini
saya pikir sebagai masyarakat dan pemuda di Tidore sangat tahu siapa dan
seperti apa etika dan norma seorang oknum DPRD Tidore ini, kasus ini membuktikan
bahwa apakah perbuatan seperi ini baru saja dilakukan atau sudah sejak lama
dilakukan hanya saja baru tercium oleh pihak berwajib.
Belum lagi kita bicara
tentang akuntabilitas anggota DPR sebagai wakil rakyat khusunya masyarakat Tidore. Akuntabilitas pada kode etik pasal 5 poin (1) Anggota bertanggungjawab
atas tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi, tugas, dan
wewenang demi kepentingan negara.
Kepentingan negara
seperti apa yang dimaksud dalam poin (1) pasal 5 ini? Apakah membawa miras bulan
ramadhan adalah kepentingan negara?. Negara tidak mengajarkan wakil rakyat
beretika, bermoral rusak seperti yang telah dilakukan oleh oknum ini.
Kalaupun berbagai
sanggahan dan kritik dilayangkan oleh berbagai element merupakan gangguan
kenyamanan pribadi menurut si oknum atau orang yang terlibat langsung. Coba buka
kembali kode etik akuntabilitas poin (2) Anggota harus bersedia untuk diawasi
oleh masyarakat dan konstituennya.
Sampai titik ini, pihak
keamanan, dan seluruh masyarakat tidore ikut melibatkan diri untuk mengawas
segala bentuk aktivitas dari anggota DPRD Tidore, jadi kritiknya masyarakat setelah
mengawas ditengah aktivitas sosial bukan hal yang salah krena kritik wajib hukumnya.
Rentetan pasal dan poin-poin ini mengambarkan bahwa betapa seharusnya seorang Anggota DPRD memberikan citra yang baik, melakukan hal terbaik untuk masyarakat yang sudah mengusungnya sebagai wakil-wakil mereka. Sebagaimana asumsi yang saya pakai diatas, jika barang bukti bukan milik oknum berarti oknum adalah pengguna dan oknum lain yang terlibat adalah pengedar.
Begitupun sebaliknya, jika onknum yang terlibat hanya pengguna maka jelas bisa jadi barang bukti adalah milik oknum Anggota DPRD ini, dan ini menjadi isu hangat untuk direbus ditengah kepercayaan masyarakat.
Jelasnya, dalam pelanggaran (kasus) sebagaimana yang dilakukan oknum adalah pelangaran kode etik. Tangkap tangan sorang oknum naggota DPR dalam melakukan tindak pidana misalkan dengan ancaman pidana penjara, jika oknum melakukan/melanggar kode etik dikenakan sanksi ringan, sedang dan berat.
Kalau kelompok akademis, kelompok aktivis masyarakat, pemerhati dan LSM menilai ini adalah kekhilafan dalam suatu tindakan maka saya lebih berpikir bahwa hanya anggota DPRD sebagai wakil rakyat yang tidak berkualitas dan tidak memiliki mental pendidikan yang kuatlah yang berani melakukan pelanggaran sebagaimana yang telah kita bicarakan dari awal tentang kassu oknum Anggota DPRD Tidore ini.
Sekali lagi, saya
mengajak seluruh civitas, element-element yang ada di Tidore, baik itu Pemerintahan Kota Tidore, aktivis sosial masyarakat, aktivis kampus, seluruh
pemuda, anggota DPRD yang sehat cara berfikirnya dan yang terutama pihak
Kesultanan Tidore untuk seriusi masalah seperti ini. Jangan hanya mengkaji,
merespon sementara setelah itu tenggelam. Tetapi, benar-benar menindak hingga
tidak terjadi lagi perbuatan yang melukai martabat Tidore yang kita cintai
sebagai kota Religius di nusantara ini.
Mangapa saya sebutkan pergeseran
perilaku dengan kasus seperti ini, karena oknum bukan masyrakat biasa. Oknum adalah
seorang perwakilan masyarakat yang ketika memberikan citra buruk yang tidak
memiliki nilai edukasi kepada masyrakat artinya cara berpikir oknum kebalikan
dari tujuan di titipkan rakyat sebagai wakil di parlemen.
Perilaku/perbuatan yang
dilakukan oknum ini tidak pantas dilakukan oleh seorang Anggota DPRD, khususnya
DPRD Tidore. Banyak sudah kita temukan dibanyak daerah dan kasusnya menjadi
trending untuk dibicarakan di atas meja publik. Kasus Anggota DPR
mabuk-mabukan, tindak korupsi, judi, tindak pelacuran, perselingkuhan dll. Dan bukankah
perilaku semacam itu adalah perilaku yang menyimpang?
Maksud saya, minuman
keras menjadi problem kita bersama di kota tidore kepulauan. Yang paling banyak
saya temukan adalah efek atau dampak minuman keras ini, kriminalitas terjadi,
kekerasan rumah tangga, dan banyak lagi. Kalau dari kasus ini kita tidak
seriusi untuk memberikan sanksi secara kelembagaan baik itu administrasi dan
sanksi pidana lainnya, berarti sama halnya pembiaran terhadap kasus sejenis.
Artinya konflik rumah tangga dan kriminalitas adalah sumbangsi pembiaran para kaum elit dan kapital atas kasus sejenis dalam persoalan sosial kemasyarakatan tentunya kita tidak menginginkan hal itu terjadi, kita tidak ingin proses pembiaran di wilayah kota tidore yang religius ini.
Berkacalah dari
pengalam kejadian/kasus-kasus yang dilakukan oleh oknum anggota DPRD di
beberapa daerah seperti Sumatera barat dengan
kasus pelanggaran kode etik. Beredar dimedia sosial Video berisi aksi
tidak terpuji wanita yang diketahui sebagai Anggota DPRD Kota Baubau, Sulawesi
Tenggara. Tidak hanya itu saja, di Sulwasi Utara Kasus dugaan peselingkuhan
Anggota DPRD berbuntut panjang dimeja hijau
Ada juga Kasuk
pemukulan Anggota DPRD di jember. Terlibat
kasus Narkoba di Medan, polisi tangkap oknum Anggota DPRD. Di palembang,
Anggota DPRD jadi bandar narkoba terkait kepemilikan 30 ribu ekstasi dan banyak
lagi kasus lainnya.
Saya tidak mengatakan
kalau dari kasus yang demikian merupakan warning untuk stake holder terkait,
untuk seluruh masyarakat tidore, yang tentunya rakyat hanya menunggui langkah
hukum yang bijak selain sangksi pelanggaran etik.
Kejadian tersebut, mengantarkan kita pada sebuah pengetahuan bahwa keterlibatan langsung kelompok elit politik sebagai oknum merupakan eksploitasi nilai dasar sosial. Mau oknum adalah pengedar, atau pun pengguna yang jelasnya kedua hal ini sangat bertentangan dengan kode etik dan juga tata nilai di Kota Tidore Kepulauan.
Untuk mengakhiri ini,
sekali lagi saya mengajak dengan jalan kritik kepada pemerintahan Kota Tidore,
Kesultanan Tidore, Akademisi, para kawan-kawan aktivis sosial, kawan-kawan media,
jurnalis, LSM-LSM dan lainnya. Marilah sama-sama menyuarakan ketidakpedulian Oknum
Anggota DPRD Tidore ini terhadap cita-cita nilai leluhur Tidore, yang beradab
dan penuh dengan tata nilai sbagai spirit beragama yang dimata dunia adalah
kota dengan kerajaan Islam terkuat di jajirah Maluku Kie Raha (TIDORE).