JAKARTA-, Berbagai permasalahan pertambangan akhir-akhir ini kerap terjadi, terutama Pertambangan di Maluku Utara. Baik pencemaran lingkungan, kecelakaan kerja, CSR dan lainnya. Merespon hal ini, LSM lingkar Study menggelar Webinar Pertambangan secara virtual dengan tema “Qou Vadis Pertambangan Maluku Utara, antara Kesejahteraan atau Malapataka”. Rabu, (11/08/21).
Hadir sebagai pemantik, yakni Sahril Taher (DPRD Provinsi Malut), Asnil Bambani (AJI-Jakarta), dan Merah Johansyah (Kordinator Jatam).
Sahril Taher menegaskan, perubahan struktur topografi tanah diakibatkan aktifitas pertambangan yang pada akhirnya membawa malapetaka,”Bagi saya, kegiatan pengerukan (tambang) banyak memberi mudarat ketimbang manfaatnya,”tegas sahril.
Apalagi dengan dibentuknya Undang-undang Omnibus law, kewenangan daerah diambil alih oleh pemerintah pusat, seluruh Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan pajak/royalti serta lainnya, diharuskan melalui Kementrian ESDM, artinya DPRD Provinsi tidak memiliki hak pengawasan terkait pertambangan.
“Hak Pengawasan kami dibatasi oleh regulasi, apalagi hadirnya UU Cipta kerja (Omnibus Law), semuanya dialihkan ke Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),” Sesalnya.
Berbeda dengan Asnil Bambani, dari hasil tracking, kebanyakan warga Maluku Utara alih fungsi pekerjaan, jumlah petani dan nelayan semakin menurun. Lantaran, degradasi ekologi dan kerusakan lain akibat produksi mineral pertambangan.
“kita lihat hasil penelitian, petani dan nelayan menurun, salah satu faktornya adalah kerusakan lingkungan, hingga mereka alih profesi”kata Asni.
Asnil menambahkan, Maluku Utara yang dikenal sebagai Kota Pertanian dan Perikanan, akan berubah menjadi Kota Pertambangan. Demikian karena terdapat sejumlah titik aktivitas eksploitasi dan eksplorasi.
“Maluku Utara akan jadi Kota Tambang, karena produksi Nikel dan Emas yang berlebihan disana,”tuturnya.
Sementara itu, pemaparan materi disampaikan oleh keterwakilan Jatam, Merah Johansyah, bahwa pemberlakuan Undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang mineral dan batubara oleh Pemerintah pusat harus dicabut. Pasalnya bertantangan dengan situasi masyarakat setempat, terutama di pulau-pulau kecil, melanggar dan dapat merusak lingkungan hidup.
“Mestinya UU Minerba itu seharusnya dicabut oleh Pemerintah pusat, karena mengancam kehidupan masyarakat, apalagi pulau-pulau kecil di Maluku Utara,”ucapnya.
Undang-undang ini juga dinilai sebagai bukti ketidakberpihakan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat & lingkungan hidup."UU ini tidak berpihak pada masyarakat dan ekologi,"pukasnya.
Selanjutnya, closing statement dari Direktur Lingkar Study, Alimun Nasrun, eksploitasi pertambangan merupakan ‘kejahatan’ yang dilakukan oleh investor dan para korporat, lalu dilegitimasi oleh Pemerintah pusat. Oleh karena itu, Pemerintah pusat (Kementrian ESDM) harus bertanggungjawab, perihal masalah-masalah di Pertambangan. Ia juga menyampaikan, DPR RI dapil Maluku Utara seharusnya angkat bicara, karena menyangkut dengan kepentingan daerah.
“Tambang itu proyek besar Investor dan Koorporat, yang didukung pemerintah, karena itu mereka harus bertanggugjawab. DPR RI harus respon perkara ini, apalagi Dapil Malut,”tutup Alimun. (fy).