Oleh : Dicke Muhdi Gailea
Fungsionaris PB HMI
Beroperasinya PT. Adidaya Tangguh
di Pulau Taliabu
selama ini menjadi
polemik yang cukup serius untuk di bahas. Bagaimana tidak,
sebab kehadiran PT. Adidaya Tangguh
terhitung sejak tahun 2009 menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem
yang bersifat masif di daratan
pulau Taliabu Provinsi
Maluku Utara.
Hal tersebut sudah mengemuka pada sekitar tahun
2017 sejumlah mahasiswa yang berasal
dari Kabupaten Kepulauan Sula dan Taliabu
di Yogyakarta, menggelar aksi
masa sekaligus pernyataan sikap yang menolak hadirnya perusahaan ini karena dianggap merusak ekosistem dan mata
pencarian masyarakat yang mayoritas adalah petani cokelat (kakao) dan petani cengkeh.
Berdasarkan laporan dari KontraS, terdapat
8 izin operasi produksi yang masing-masing di kantongi oleh PT.
Adidaya Tangguh dan PT. Bintani Mega Indah, keduanya
merupakan perusahaan tambang bijih besi yang
menguras Sumberdaya Alam di Pulau Taliabu.
Secara normatif, PT. Adidaya Tangguh memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dengan nomor 5/1/IPPKH-PB/PMA/2017 yang dikeluarkan pada tanggal 29 Mei 2017 dengan Surat Keputusan Awal Nomor SK.487/Menhut-II/2012 tertanggal 5 September 2012. Perlu diketahui pula bahwa wilayah eksplorasi dari PT. Adidaya Tangguh di Pulau Taliabu tersebut adalah merupakan wilayah Hutan Lindung berdasarkan Surat Perintah Verifikasi bernomor S.252/V/RHL/2013 tertanggal 11 Oktober tahun 2013 dan berdasarkan SK Penetapan Rehab DAS bernomor 6677/Menlhk-PDASHL/KTA/DAS.1/12/2017 tertanggal 8 Desember tahun 2017 dengan Fungsi Hutan Lindung (HL).
Secara hukum PT. Adidaya Tangguh telah memiliki
legitimasi untuk melakukan eksploitasi
sebagaimana syarat yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Juncto Peraturan Menteri ESDM Nomor 7
tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah,
Perizinan, dan Pelaporan
pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Masih menurut Kontras, pasca penggusuran Tanah Ulayat Masyarakat
Adat desa Tolong dan juga penggusuran lahan dan perkebunan milik masyarakat (2017),
PT. Adidaya Tangguh tidak
melaksanakan prinsip akuntabilitas dan prinsip transparansi terhadap masyarakat Pulau Taliabu secara
umum dan secara khusus yakni masyarakat yang
berada di lingkar tambang Pulau Taliabu. Terlebih lagi PT. Adidaya Tangguh ini tidak mendistribusikan Corporate Social Responcibility (CSR)
sesuai dengan peruntukannya kepada masyarakat agar
dipergunakan membangun dan menunjang fasilitas pendidikan di Pulau Taliabu,
dan atau membantu
berkembangnya Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagaimana yang menjadi amanat pemerintah.
CSR merupakan tindakan yang dilakukan perusahaan
sebagai bentuk tanggung jawab
sosial. Penerima CSR adalah lingkungan sekitar tempat perusahaan tersebut
berdiri dan atau beroperasi. Bentuk penerapan CSR yang sering dilakukan oleh perusahaan tambang
adalah membangun fasilitas
umum, memberikan beasiswa
pendidikan untuk anak-anak
tidak mampu, sumbangan
untuk fasilitas desa,
dan bentuk lainnya
yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar
(Vide Tuti Rastuti, dkk.),
senada dengan itu Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas-pun mengamini
hal yang sama bahwa setiap Perseroan
selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang wajib dilaksanakan.
Dalam hal ini PT. Adidaya Tangguh telah melanggar Pasal 74 ayat (1) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan tanggung jawab social dan lingkungan”,
Padahal jika kita telusuri secara mendalam, penggunaan CSR menurut undang-undang itu bertujuan agar menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Artinya bahwa PT. Adidaya Tangguh wajib untuk bertanggung jawab atas kehidupan masyarakat yang terdampak khususnya masyarakat lingkar tambang, dalam bahasa hukum disebut Ubi Societas ibi ius sebagaimana yang diamanatkan oleh UU PT.
Maka dari itu, hemat saya Kementerian ESDM sudah saatnya melakukan investigasi khusus untuk menyelidiki pemenuhan serta pelaksanaan hak dan kewajiban daripada PT. Adidaya Tangguh khususnya perihal CSR yang selama ini telah melanggar sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan dengan tidak mempedulikan keberadaan masyarakat adat dan atau masyarakat lingkar tambang sebagaimana amanat undang-undang a quo. Bagi saya dengan polemik tersebut Kementerian ESDM memiliki legitimasi penuh untuk mencabut izin usaha dari PT. Adidaya Tangguh yang tidak patuh kepada aturan yang diterapkan oleh negara. (*)