-->
    |



OPINI : Ekofeminisme di Tanah Dodomi

OPINI : Ekofeminisme di Tanah Dodomi

Oleh: Hartini Muhammad

(Departemen Kajian dan Bacaan (DKB) EK-LMND Tidore )


Tidore, salah satu pulau yang kaya dan damai di ibu pertiwi, ia adalah defenisi surga dunia yang kaya akan rempah; Pala, Cengkeh, Kayu Manis, dls. Selain rempah, keindahan alam sampai keramah- tamahan masyarakat dan adat budaya yang kental menjadi ciri bahwa Tidore tetap dalam koridor menjunjung tinggi Adat Se-Atoran yang dirawat.  Benar Kata Juan Sebastian Elcano "Tidore diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum".

Opini kali ini rasanya tidak menarik jika tidak membahas ketidakadilan yang muncul di Tidore yang berhubungan dengan perempuan dan Alam di era gempuran kapitalisme dan Patriarkal. Sebut saja Ekofeminisme atau yang merupakan paham tentang keterkaitan antara perempuan dan alam semesta terkhususnya dalam hal ketidakadilan perlakuan kepada perempuan dan alam yang tercermin di tanah Dodomi; tanah kelahiran.

Ekofeminisme terdiri dari dua suku kata yakni ekologis  dan feminisme. Ekofeminisme hadir sebagai upaya guna memecahkan problem kehidupan manusia dan alam yang berdasar dari pengalaman perempuan serta dijadikan sebagai salah satu sumber pembelajaran dalam hal pengelolaan dan pelestarian alam, guna untuk menyelamatkan Bumi sesuai ciri khas perempuan yang dianggap mampu mengelola lingkungan hidup.

Lebih sederhananya lagi, ekofeminisme mencerminkan adanya eksploitasi terhadap perempuan dan Alam. Maka dewasa ini marak muncul bahasa " Jagalah Alam layaknya menjaga perempuan"

 
Dok. Jalur Pendakian (Pos 6) Puncak Kie Matubu, Tidore.
 

Salah satu fenomena dalam konteks menjaga alam yang terikat erat dengan kebiasaan; habit suatu komunitas dalam lingkunga sosial ialah membuang sampah sembarangan. Praktek ini juga terjadi di  Kota Tidore. Sampah baik basah maupun kering; sampah yang tidak gampang terurai yang berakhir di selokan, kali atau sungai hingga dimanapun bakal berdampak burukk pada kondisi alam dan manusia.Apalagi membuang sampah di tempat-tempat yang berpotensi merusak lingkungan dan menciptakan bencana (seperti pada dok. tsb). Selain itu , menjaga kekayaan alam dari bangsa asing nan kapitalis juga perlu adanya agar alam tidak di eksploitasi dan membuat rugi masyarakat dan tempat itu sendiri.

Semisalnya dibangunnya pertambangan di negeri yang kaya akan SDA ini. Dampak negatif pertambangan yang begitu banyak terhadap alam dan masyarakat juga merupakan representatif bahwa pertambangan bukanlah  satu hal yang solutif bagi masyarakat dengan dalih memperkaya SDM untuk kesejahteraan masyarakat yang ada dan lain sebagainya. Sebut saja salah satu pertambangan yang diberitakan akan beroperasi di Kecamatan Oba Tengah, Kota Tidore Kepualauan yakni PT. SANATOVA misalnya.

 Dalam kondisi yang lain, yakni persoalaan kesetaraan perempuan yang ada di Kota Tidore Kepulauan yang sudah mencapai kulminasi penindasan. Perempuan Tidore masih tertindas dengan konstruk berpikir masyarakat yang patriarkal. Baik dalam segi hubungan sosial masyarakat yakni dalam keluarga, tempat kerja, hingga di tempat kaum intelektual sekalipun.

Masyarakat masih terjebak dalam dogma kuno terkait fenomeno malam (perempuan yang keluar di tengah malam di anggap erempuan yang tidak baik), atau bahkan hal ini lebih sering dirasakan perempuan Tidore ketika hendak melakukan pekerjaan rumah yakni mencuci baju, menyiapkan makan, mencuci piring, dls. Yang akhirnya menjadi dogma bahwa itulah pekerjaan perempuan yang harus dilakukan dan laki-laki di cegah jika hendak melakukannya. 

Pemikiran seperti itulah yang sering menempatkan perempuan dalam rana domestik, sederhannya lelaki adalah Dewa yang menjadi prioritas dan perempuan berada pada posisi kedua dalam bermasyarakat dan minim peluang untuk bisa menjadi perempuan berdaya.

Namun dalam ranah kesetaraan kesetaraan publik,  sudah banyak perempuan Tidore yang keluar dari zona penindasan untuk melawan dengan berkarya dan berprestasi di ruang publik. Ditilik dari laporandisebutkan dalam data BPS Kota Tidore, pada 2021 sampai Desember 2022 jumlah PNS menurut jabatan dan jenis kelamin, perempuan berada di posisi pertama dengan jumlah 2.306 dan laki-laki sejumlah 1.471. Itu baru satu gambaran dari sekian banyak perempuan yang menonjol bidang publik, seperti di bidang politik, ekonomi, budaya , pendidikan dan lainnya.

Membahas Tidore serta problem pada alam dan perempuan yang tereksploitasi di negeri ini rupanya tidak lengkap jika tidak dikaitkan soal tokoh-tokoh pahlawan yang ada di tanah raja-raja ini. Sebut saja Sultan Nuku yang luar biasa perjuangannya. Sultan zainal Abidin syah dan tokoh pahlawan laki-laki lainnya. Namun perlu di ketahui bahwa jauh sebelum menonjolnya perempuan Tidore di era sekarang ini rupanya telah ada tokoh pahlawan perempuan Tidore yang melawan maraknya penindasan terhadap perempuan yakni Boki Emiria Soenasa sang pelukis handal yang berbakat, nenek Aminah yang dikenal sebagai nenek Bendera, hingga nenek Halima Djauhar yang diberi penghargaan berupa nama oleh Soekarno dengan sebutan Biji Negara.

Tokoh-tokoh Perempuan tersebut ialah representasi para perempuan Tidore yang tidak tinggal diam saat di jajah hak-haknya untuk hidup dalam ruang patriarki yang begitu kental di masanya. Namun kembali lagi kita membahas soal gambaran Ekofeminisme yang harus meloloskan kesetaraan yang nyata bagi perempuan dan tindakan merusak alam yang di mana keduanya berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat.

Mengingat di Tidore ada Pula yang dinamakan Bobeto (Sumpah Turun Temurun, yang sering dipercayai oleh warga Tidore yang kalau di langgar maka akan mendatangkan Musibah) seperti halnya salah 1 (satu) Kalimat dalam bahasa Tidore yakni “Nage Dahe So Jira ALAM, Ge Domaha ALAM Yang Golaha Si Jira Se Ngon atau yang berarti Barang Siapa Yang Merusak Alam Nanti Dirinya Dirusak Oleh ALAM”.

Dengan Kepercayaan masyarakat tersebut, semoga saja tetap lestari dalam bingkai Tidore menuju kesejahteraan yang dimulai dari personal masyarakat Tidore dalam perihal menjaga Alam sekaligus dapat berkembang menjadi kota yang Ramah terhadap Perempuan. Sebab, alam di negara ini lebih akrab disebut ibu pertiwi, mengapa harus ibu? Rupanya ini juga dipertegas bahwa Perempuan-lah yang melahirkan Peradaban, dari tangan dan didikan perempuan-lah tokoh negarawan maupun orang-orang hebat dimuka bumi ini dilahirkan, maka yang melahirkan Peradaban tidak pantas untuk mendapatkan Penindasan.

Salah seorang ilmuwan feminis, ahli fisika dengan background gerakan ekologis dari India bernama Vandana Shiva menyatakan wajib adanya dekonstruksi atas dominasi terkait prinsip maskulinitas dan harus menawarkan pemikiran alternatif, yaitu gabungan pemikiran ekologi dan feminisme yang disebut dengan ekofeminisme.

 Langkah solutif untuk menyeimbangi kedua hal tersebut atau dari segi ekofeminisme ini maka perlu adanya konversi yang terimplementasi di seluruh lapisan masyarakat, agar tidak tuna-refrensi persoalan menjaga Alam dan menjaga Perempuan. Semisalnya harus ada pergerakan masyarakat yang gotong royong dengan pihak eksekutif guna menahan kran penindasan yang mengalir deras terhadap keduanya, atau membangun LSM yang menonjol soal melestarikan Alam dan edukasi perempuan berdaya untuk membuktikan juga bahwasannya masyarakat Tidore telah meninggalkan budaya patriarki dan bersedia memberikan tanah atau SDA-nya pada kelompok penindas untuk mengeksploitasi alam di Kota Tidore Kepulauan. Dan semua hal itu bisa dilakukan dengan di awali dari kesadaran individual yang terpelihara di masyarakat. 

Stop praktek Eksploitasi Alam dan Perempuan, mari jaga Alam layaknya kita menjagapPerempuan, dan jadilah perempuan berdaya untuk menjaga alam atas penindasan (*)

Komentar

Berita Terkini