Dr.Bobby Steven MSF |
Manusia adalah makhluk bermain. Adalah Johann Huizinga yang memopulerkan istilah homo ludens. Ia berpendapat, permainanlah yang melahirkan kultur. Huizinga menegaskan, peradaban pada tahapnya yang paling awal adalah permainan. Senada dengan Huizinga, Ruben Alves menyingkatkan, kultur sendiri tidak dapat dimengerti kecuali sebagai wajah permainan.
Anak-anak Nusantara pun bermain dalam kegembiraan dolanan atau permainan anak. L. Th. Mayer dalam Een Blik in het Javaansche Volksleven terbitan Brill mengidentifikasi sejumlah permainan yang dilakukan anak-anak Jawa, misalnya gobag-bunder, gobag-gondel, gobag-sodor, dakon, dan gangsingan paton.
Menariknya, permainan sering menyatu dengan lagu dolanan. H. Overbeck menyebutkan, terdapat sekitar 1.500-2.000 lagu dolanan anak-anak Jawa. Ia sendiri telah mengumpulkan sekitar 690 lagu dolanan yang ia terbitkan dalam Javaansche Meisjesspelen en Kinderliedjes het Javaansche Volksleven jilid kedua. Buku ini diterbitkan oleh Het-Java Instituut, Yogyakarta (1938). Sayangnya, aneka lagu dolanan itu ditulis tanpa notasi sehingga kita sulit menghadirkan kembali lagu aslinya.
Pentingnya bermain dan bernyanyi
Permainan anak Nusantara, termasuk Jawa, sangat mendukung perkembangan intelektual dan emosional anak-anak. Para ahli menyimpulkan, permainan tradisional anak-anak merupakan bagian integral dalam manajemen waktu pengajaran, perolehan pengetahuan, pemahaman, motivasi, memori, pemecahan masalah, kerja sama sosial, keterlibatan, akuisisi keterampilan, dan kepatuhan terhadap aturan permainan (F. Madondo dan J. Tsikira, 2001).
Permainan tradisional yang umumnya juga diiringi dengan musik sangat bermanfaat untuk memacu perkembangan emosional dan intelektual anak-anak. Indonesia perlu mengintegrasikan pendidikan musik tradisional dalam kurikulum.
Kita perlu belajar dari Jepang yang sejak Restorasi Meiji pada awal abad XIX menempatkan musik dalam peringkat kelima kurikulum sekolah dasar dan menengah. Artinya, musik perlu dipandang sebagai pelajaran yang penting, bukan pelajaran sampingan. Sementara itu di Hongaria, Zoltan Kodaly mencetuskan penggunaan musik sebagai medium pembelajaran (Triyono Bramantyo, 2000).
Bangkitkan permainan tradisional
Pada zaman modern ini, mungkinkah membangkitkan kembali permainan tradisional? Jawabannya sangat mungkin. Tergantung pada kita sebagai orang tua dan pendidik tunas muda bangsa. Sejatinya, upaya pendokumentasian dan pelestarian permainan dan lagu dolanan Jawa telah dilakukan berbagai pihak, baik dari kalangan pemerintah, lembaga pendidikan, maupun kelompok masyarakat. Bentara Budaya Yogya pernah memamerkan tembang dolanan dan permainan anak Jawa (G.P. Sindhunata, 2012).
Beberapa sekolah di DIY berhasil mengintegrasikan permainan anak tradisional dalam pembelajaran. Salah satunya SD Kanisius Sengkan yang berdiri sejak 1970 di Depok, Sleman. Sekolah ini memiliki visi pendidikan berbasis budaya lokal. Di sekolah ini anak-anak diajak bermain permainan tradisional Jawa guna menumbuhkan kecintaan anak-anak pada budaya setempat.
Saat anak-anak bermain engklek, misalnya, anak belajar menyeimbangkan badan saat melompat menggunakan satu kaki. Dari segi sosial, anak belajar antre dan mandiri. Ditinjau dari segi intelektual, anak belajar untuk memperkirakan jangkauan ketercapaian sebuah lemparan. Inilah pembelajaran multidisiplin yang dirangkum dalam sebuah permainan tradisional.
Keunggulan permainan tradisional antara lain adalah meningkatkan keterampilan motorik, sosial, intelektual, dan emosional. Selain itu, permainan tradisional berbasis alam juga dapat menjadi terapi efektif dan ramah lingkungan bagi anak-anak. Pemanfaatan alam dan bahan-bahan alami pada akhirnya mengasah sisi religiositas anak-anak dalam mengagumi karya Sang Pencipta.
Di tengah sanjungan pada pendidikan digital, Finlandia sebagai negara dengan tingkat pendidikan yang unggul pun justru beralih kepada pelatihan motorik. Anak-anak diajak menulis dengan tangan, bukan dengan gawai. Anak-anak diajak bermain bersama, bukan dibiarkan kecanduan main gim daring.
Permainan tradisional sebenarnya juga berpotensi menjadi objek pembelajaran warisan budaya yang adiluhung. Di balik setiap permainan tradisional, terdapat nilai-nilai filosofis nan unggul. Nilai gotong-royong dan penghormatan pada alam teranyam di dalamnya.
Kita dapat membangkitkan kembali permainan tradisional juga dengan kecerdasan buatan. Umpama, visualisasi permainan tradisional secara digital guna menarik minat generasi muda. Semoga!*
Penulis :
Dr. Bobby Steven MSF,
(Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)