-->
    |



Hilangnya Identitas Mahasiswa Sebagai Agen Of Change dan Agen Of Control


Penulis

Irman Panigfat 

(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate).


Agent Of Change dan Agent Of Control adalah slogan perjuangan yang selalu melekat pada diri mahasiswa. Slogan tersebut menjadi simbol dasar perjuangan para mahasiswa.

 Agent Of Change di artikan sebagai agen perubahan, atau orang yang bertindak sebagai katalisator dan mengelola perubahan. Sementara Agent Of Control ialah pihak  yang mempunyai tanggung jawab sebagai pengontrol kehidupan sosial. 

 Akan tetapi, identitas tersebut mulai dipertanyakan seiring pengaruh perkembangan teknologi saat ini. Identitas tersebut berangsur-angsur pudar. Mahasiswa lebih memilih menutup telinga, dan mata melihat keresahan sosial yang dialami masyarakat. Mereka memilih berdiam diri, bahkan berpura- pura tidak tahu segala jeritan tangisan dari masyarakat Indonesia terkhusus Maluku utara. 

Konon katanya mahasiswa sebagai pelindung masyarakat atas problematika yang terjadi di Negara Indonesia terkhusus Maluku Utara, lalu dimanakah mahasiswa kini? Bahkan gerakan turun ke jalan semakin lama semakin tabuh. Terkesan alergi  menyuarakan probematika sosial yang yang di alami oleh masyarakat. Problem mendasar yang seharusnya menjadi tanggung jawab mahasiswa dalam menyuarahkan, memberikan ide hingga terobosan intelektual dalam menyelesaikan perkara-perkara tersebut.

Sebut saja, kenaikan harga beras, cabai, BBM, UKT, hingga tergerusnya lingkungan intelektual, yang tak mampu mengetuk nurani mahasiswa. Padahal problem seperti misalnya harga beras sangat berkaitan dengan tingkat kesejateraan masyarakat yang masuk dalam konteks perlindungan pangan, keterjangkauan, hingga ketersediaan oleh negara. Katalis ini juga mendorong masyarakat semakin lemah dalam daya beli. Jika ditarik lebih khusus ke Maluku Utara, problem ini semakin ruwet lantaran daerah ini menggantukan ganjalan perutnya dari daerah lain.

Tentu dampaknya ialah inflasi yang kemudian menurunkan daya beli. Semua ini bakal berimbas kepada kemampuan ekonomi masyarakat. Pertanyaan paling kritis ialah, dengan naiknya sembilan bahan pokok ini, bagaimana dengan masyarakat ekonomi kelas bawah?

Padahal beras dan sembilan bahan pokok adalah konsep ekonomi pangan bangsa bagi masyarakat. Beberapa hari yang lalu, beredar di media sosial pernyataan yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi yang mengatakan, relaksasi ini berlaku untuk beras premium dan medium. Kenaikan harga berdampak terhadap penjualan beras di pasar tradisional maupun retail modern.

Ini ditetapkan dalam Surat Kepala Badan Pangan Nasional kepada stakeholder perberasan Nomor 160/TS.02.02/K/5/2024 tertanggal 31 Mei 2024. 

Kenaikan ini membuat dampak besar terhadap struktur ekonomi sosial khususnya di Maluku Utara. Di mana mayoritas masyarakat kelas bawah ialah petani baik kopra, cengkeh dan pala.  Kenapa berdampak? Karena daya beli mereka semakin terbatas. Bayangkan 1 kilo beras dikeluarkan lebih banyak dari akumulasi pendapatan total  hasil yang diterima usaha pertanian mereka. 

Analogi sederhananya, bila sebelumnya 1 kilo beras mampu dibeli dengan harga 11 ribu, maka dengan kenaikan ini mereka harus mengeluarkan tambahan sekitar 5 ribu rupiah bahkan lebih-disesuaikan dengan biaya-biaya lain-untuk mendapatkan 1 kilo beras. Artinya ada 5 ribu yang hilang. Padahal bisa saja 5 ribu itu dapat dialokasikan pada kebutuhan yang lain. Lalu bagaimana bila semua harga pokok naik dan belakangan biaya pendidikan juga naik?  Lalu bayangkan juga semua kenaikan itu tidak sejalan dengan pendapatan mereka sehari-hari. Misalnya harga kopra dan cengkeh semakin turun drastis. 

Sudah barang tentu menjadi titik kritis dari keputusan masyarakat. Titik yang disebut "jeratan kesusahan". Semakin susah tambah susah. 

Namun, semua problem ini nyatanya tidak mampu memantik nurani mahasiswa. Mahasiswa Maluku Utara acuh dalam kenaikan harga Beras dll. Seperti itu adalah hal biasa. Sehingga bagi penulis, tindakan acuh tersebut telah melecehkan identitas agent of change dan agent of sosial.

Diam sepertinya menjadi gerakan favorit mahasiswa jaman kini. Nyaman pada lingkungannya dan abai pada kondisi sosial. Maka sudah seharusnya kita memupuk kembali identitas yang mulai tergerus agar kita tidak kalap menjadi mahasiswa. ***

Komentar

Berita Terkini