Penulis ;
Hairil Sadik (Pemuda Bobo)
Di ranah politik lokal, kegagalan bukanlah aib, asal diikuti refleksi dan perbaikan. Tapi ketika kegagalan dibungkus rapi lalu dijual kembali dengan jargon populis, itulah wajah manipulasi yang sepatutnya kita curigai.
Hambali Muhammad, mantan anggota DPRD Tidore periode 2014–2019, adalah cermin dari politisi yang tidak hanya gagal menunaikan amanah, tetapi juga enggan bercermin. Alih-alih mundur dengan kesadaran moral, ia memilih jalan pintas, menunggangi semangat pemuda demi menghidupkan kembali ambisinya yang pernah padam. Kehadirannya sama hal dengan mengklaim diri sebagai penyambung suara masyarakat dan pemuda, padahal selama menjabat, nyaris tak ada jejak kebijakan nyata yang bisa kita kenang sebagai warisan konstruktif.
Hambali tidak pernah tampil sebagai pelayan rakyat yang progresif atau visioner. Ia lebih sering terlihat memoles citra di hadapan publik ketimbang benar-benar bekerja di balik layar. Ia mempraktikkan gaya politik lama. Diam terhadap kritik, responsif terhadap pujian, dan aktif hanya saat mendekati momentum kekuasaan. Ketika kritik datang, ia memilih bungkam. Ketika suara-suara muda mempertanyakan langkahnya, ia menghindar. Praktik acuh terhadap kritik adalah bentuk pembodohan terkeji dalam demokrasi. Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip keterbukaan dan partisipasi.
Kini, setelah tidak lagi menjabat, ia kembali dengan strategi mengejutkan, turun ke level akar rumput, bukan sebagai penasehat yang bijak, tetapi sebagai operator kekuasaan yang cerdik. Ia hadir sebagai pimpinan sidang dalam Musyawarah Pemuda Kelurahan Bobo 2025–2027, mencoba mengatur arah regenerasi, seolah-olah sejarah kegagalannya bisa dihapus begitu saja dengan kehadiran fisik dan tutur lembut. Padahal, kehadiran tersebut tak lebih dari instrumen pencitraan diri yang dibungkus dengan dalih partisipasi.
Yang paling miris dari semua ini adalah bagaimana ia mengeksploitasi semangat dan suara pemuda, pelajar, serta masyarakat, bukan untuk kemajuan kolektif, tetapi untuk kepentingan politik praktis yang hanya menguntungkan dirinya sendiri. Ia tidak membangun narasi transformatif, tidak menawarkan ide baru. Ia hanya mendaur ulang identitas lamanya sebagai 'wakil rakyat', padahal ia telah gagal dalam representasi. Pemuda dan masyarakat Bobo harus waspada. Kita tidak sedang menyambut seorang mentor, tetapi menghadapi kembalinya bayang-bayang kekuasaan lama dalam wajah yang lebih licin dan rakus.
Politik Ingatan Pendek dan Strategi Emosional : Membaca Cara Hambali Mencari Dukungan.
Dalam konteks politik, mantan politisi seringkali memanfaatkan kelemahan struktural masyarakat yang memiliki 'ingatan pendek'. Hambali Muhammad memahami betul pola ini. Alih-alih membangun kembali kepercayaan publik dengan refleksi dan kerja nyata, ia menggunakan pendekatan emosional dan simbolik, datang sebagai 'sesepuh' yang dianggap punya pengalaman, padahal justru tak punya rekam jejak keberhasilan. Ini adalah bentuk manipulasi kolektif yang bertumpu pada rasa hormat semu terhadap usia dan pengalaman.
Teori partisipasi politik kontemporer menyebutkan bahwa politisi yang gagal sering kembali ke akar konstituen dengan pendekatan non-rasional. Dalam hal ini, Hambali tidak berbicara dengan data atau visi. Ia tidak menampilkan gagasan transformasional yang relevan dengan kebutuhan pemuda. Sebaliknya, ia hadir dengan narasi pengabdian masa lalu yang tidak bisa diverifikasi manfaatnya. Ia mendekati tokoh-tokoh muda bukan dengan diskusi terbuka, tapi dengan pendekatan patronase dan kontrol struktural lewat jabatan sebagai pimpinan sidang.
Strategi ini adalah bentuk delegitimasi terhadap otonomi pemuda. Ketika ruang demokratis seharusnya memberi ruang eksploratif bagi generasi baru, Hambali justru menempatkan dirinya sebagai pelindung yang secara halus mencengkeram. Ia tahu bahwa anak muda di Bobo sedang mencari figur kuat, dan ia hadir bukan untuk membina, tetapi membajak arah.
Pendekatan ini sangat berbahaya karena mengikis prinsip partisipasi kritis. Pemuda yang seharusnya berdiri di atas analisis rasional dan pemikiran independen, justru diarahkan untuk mengulang pola politik lama, loyalitas tanpa evaluasi, kepatuhan tanpa kritik.
Rekonstruksi Kekuasaan Lama dalam Wajah Baru : Dari Dewan ke Forum Pemuda
Munculnya Hambali dalam forum Musyawarah Pemuda bisa dibaca sebagai bagian dari fenomena “rekonstruksi kekuasaan dalam skala mikro”. Ia kehilangan akses terhadap struktur formal kekuasaan dalam berpolitik, tapi mencoba meretas ruang baru yang lebih lentur dan belum memiliki mekanisme kontrol kuat yakni organisasi pemuda. Ini adalah bentuk migrasi politis yang semakin marak di daerah pasca pemilu.
Dalam politik, fenomena ini disebut sebagai "power recycling" proses di mana elit lama mencari jalan baru untuk mempertahankan pengaruhnya dengan memanfaatkan struktur informal. Hambali tidak datang dengan mandat rakyat, tapi dengan klaim moral sebagai orang lama. Padahal, kekuasaan tanpa mandat adalah bentuk penyimpangan demokrasi.
Dalam forum pemuda, hambatan terhadap manuver elit nyaris tidak ada. Tak ada etika jabatan, tak ada kode etik lembaga, dan kontrol internal sangat lemah. Ini membuat forum pemuda menjadi lahar subur siap garap bagi tokoh-tokoh seperti Hambali untuk membangun jejaring baru yang bisa ia manfaatkan untuk tujuan politis jangka menengah.
Ini bukan hanya persoalan individual. Ketika forum pemuda menjadi alat legitimasi bagi politisi gagal, maka yang rusak adalah seluruh ekosistem regenerasi. Ruang yang seharusnya menjadi tempat belajar demokrasi justru diracuni oleh budaya manipulatif.
Konflik Internal dan Disorientasi Pemuda : Efek Masuknya Tokoh Gagal.
Kehadiran Hambali dalam forum Musyawarah Pemuda menciptakan konflik laten. Beberapa peserta mulai mempertanyakan integritas forum, mempertanyakan netralitas proses pemilihan, dan mempertanyakan arah gerakan pemuda. Mereka yang ingin berbicara jujur sering merasa dikerdilkan oleh bayang-bayang kekuasaan masa lalu yang masih mengatur jalannya proses.
Konflik ini bukan semata interpersonal, melainkan struktural. Ketika seorang tokoh gagal diberi ruang untuk mengarahkan forum tanpa proses seleksi dan evaluasi, maka kepercayaan terhadap sistem kolektif pun runtuh. Pemuda mulai sinis terhadap proses demokrasi, melihat bahwa semua hanya formalitas belaka.
Lebih jauh lagi, forum ini terancam kehilangan legitimasinya. Kandidat seperti Habir Hamid dan Alan Hasan harus bersaing dalam ruang yang telah direkayasa secara halus oleh keberadaan tokoh senior. Ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang menghancurkan sportivitas regenerasi.
Jika konflik ini terus dibiarkan, maka pemuda Bobo tidak hanya kehilangan forum, tetapi kehilangan masa depan politik yang rasional. Mereka akan tumbuh dalam iklim politik yang penuh kepura-puraan dan manipulasi simbolik.
Pengkhianatan Wakil Rakyat : Pandangan Tokoh Politik Dunia.
Tokoh-tokoh besar dunia punya pandangan tajam tentang politisi yang mengkhianati kepercayaan publik. Nelson Mandela pernah berkata, "Pemimpin sejati adalah pemimpin yang tidak takut untuk mengakui kegagalan dan membiarkan generasi berikutnya yang memimpin." Sementara itu, Barack Obama menegaskan bahwa "Politik bukanlah sebuah karir; politik adalah sebuah pelayanan. Ketika berhenti menjadi seperti itu, Anda harus mundur."
Hambali Muhammad, dalam konteks ini, adalah simbol dari mereka yang tidak tahu kapan harus mundur. Ia bukan hanya gagal dalam tugas legislatifnya, tapi juga gagal memahami prinsip moral bahwa kekuasaan tidak bisa diwarisi dengan paksa. Dengan cara halus, ia mencoba mencuri simpati generasi baru, tanpa pernah memberi laporan pertanggungjawaban terhadap generasi lama yang dulu bekerja sepenuhnya.
Wakil rakyat yang baik adalah mereka yang tahu bahwa kekuasaan bukan warisan, tapi amanah. Ketika amanah itu tidak dijaga, maka mereka seharusnya mundur dan tidak lagi mengklaim tempat dalam ruang-ruang publik. Kembalinya Hambali tanpa refleksi adalah bentuk arogansi politik.
Dalam demokrasi yang sehat, tokoh seperti Hambali seharusnya ditantang secara terbuka untuk menjelaskan motivasinya. Tapi dalam kultur politik kita yang masih paternalistik, ia justru terlihat memaksa pemuda menggelar karpet merah untuk kemulusan kepentingan politiknya.
Solusi dan Seruan Moral : Kembalikan Marwah Gerakan Pemuda.
Kita butuh gerakan penyadaran di tingkat akar rumput. Pemuda Bobo harus berani bersuara, menyatakan bahwa ruang mereka bukan tempat cuci nama politisi gagal. Musyawarah bukan forum pencitraan, tapi forum regenerasi. Setiap pemuda punya hak dan kewajiban untuk melindungi forum ini dari manipulasi simbolik.
Pertama, harus ada mekanisme etik dalam forum pemuda. Setiap tokoh yang ingin terlibat harus melewati uji integritas, baik secara historis maupun moral. Kita tidak bisa membiarkan ruang ini terbuka bagi siapa saja tanpa saringan.
Kedua, pemuda harus berjejaring dengan pemuda kelurahan lain di Tidore untuk menciptakan standar moral bersama. Jika setiap forum pemuda bisa mengidentifikasi dan menolak manipulasi politik, maka manuver elit seperti Hambali akan terisolasi.
Ketiga, harus ada ruang publik alternatif yang lebih kritis melalui diskusi terbuka, forum digital, atau surat kabar kampung yang membahas siapa yang layak memimpin dan siapa yang seharusnya mundur. Demokrasi lokal hanya bisa tumbuh jika publik berani bicara.
Akhirnya, saya ingin kita harus sadar forum pemuda bukan milik masa lalu. Ia adalah milik masa depan, dan masa depan tak boleh dicemari oleh bayang-bayang kekuasaan yang pernah gagal bertanggung jawab atas masa lalunya. (*)