-->
    |



Krisis Keadilan Fiskal dan Paradoks Otonomi Daerah

Fajrun Mustakim, Mahasiswa Universitas Airlangga.
Krisis Keadilan Fiskal dan Paradoks Otonomi Daerah

Oleh: Fajrun Mustakim

(Mahasiswa Universitas Airlangga)


Dua dekade setelah reformasi 1999

Setiap kebijakan ekonomi lahir dari niat rasional, tetapi tidak semua rasionalitas menghasilkan keadilan. Sejak reformasi 1999, Indonesia telah membangun arsitektur desentralisasi fiskal melalui berbagai instrumen transfer dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), hingga Dana Desa.

Tujuannya sederhana. Untuk menciptakan keseimbangan vertikal dan horizontal dalam sistem keuangan negara antara pusat dan daerah, serta antarwilayah. Dua puluh lima tahun setelah bangsa ini pernah bersepakat bahwa kekuasaan tidak boleh lagi tersentralisasi di Jakarta. Otonomi daerah lahir dari luka panjang sentralisme Orde Baru, dengan semangat membagi kekuasaan, menyeimbangkan sumber daya, dan memberdayakan rakyat di daerah. Namun dua dekade kemudian, janji itu kembali digerogoti, bukan oleh kekuasaan politik. melainkan oleh pena kebijakan fiskal.

Pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) dalam rancangan APBN 2026 menjadi sinyal bahwa kekuasaan fiskal kini kembali terkonsentrasi di pusat dalam bentuk yang lebih halus, namun jauh lebih sistemik.

Pemerintah menetapkan TKD 2025 sebesar Rp 919,8 triliun, tetapi untuk 2026 hanya sekitar Rp 693 triliun, turun lebih dari Rp 220 triliun dan ini merupakan penurunan terbesar dalam satu dekade. Alasannya bahwa “penataan transfer berbasis kinerja.” Tapi bagi banyak kepala daerah, pemangkasan tetaplah pemangkasan, dan ruang fiskal yang sempit berarti ruang otonomi yang kian menyusut.

Paradoks Desentralisasi; Kekuasaan yang Kembali ke Pusat

Dalam teori fiscal federalism, hubungan fiskal yang sehat dibangun di atas dua prinsip: subsidiarity (keputusan diambil sedekat mungkin dengan rakyat) dan fiscal equivalence (tanggung jawab pengeluaran seimbang dengan kemampuan pendapatan). Jika transfer daerah dipangkas tanpa memperkuat kapasitas PAD, maka desentralisasi berubah menjadi ketergantungan yang dilegalkan.

Kebijakan pemotongan TKD yang dilakukan sepihak tanpa dialog justru menandai kembalinya sentralisme dalam wajah baru. Kini, kekuasaan pusat bukan lagi dijalankan melalui komando, melainkan melalui anggaran. Dalam bahasa hukum tata negara, ini disebut dominan fiskal, di mana penguasaan daerah berlangsung lewat instrumen keuangan, bukan lagi perintah politik.

Padahal Pasal 18, 23A, dan 23C UUD 1945 dengan tegas menegaskan bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah harus dijalankan atas asas keadilan dan keseimbangan. Ketika pusat dapat memangkas dana tanpa dasar objektif dan tanpa dialog, maka mekanisme checks and balances antarlevel pemerintahan pun runtuh. Negara hukum kehilangan pagar keadilannya.

Efisiensi Fiskal yang Mengikis Kepercayaan

Dari sudut pandang makroekonomi, efisiensi fiskal tentu penting. Negara harus menjaga disiplin anggaran dan stabilitas makro. Namun efisiensi tidak boleh menjadi dalih untuk mengorbankan keadilan distributif.

Pendekatan “transfer berbasis kinerja” tampak rasional di atas kertas. Daerah dengan tata kelola baik mendapat insentif, yang dinilai buruk akan menerima lebih sedikit. Tetapi di lapangan, indikator kinerja sering tidak mencerminkan realitas sosial-ekonomi daerah. Daerah yang miskin kerap tertinggal bukan karena malas, melainkan karena kapasitas fiskalnya lemah dan aksesnya terbatas.

Akibatnya, kebijakan yang dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi justru memperlebar kesenjangan fiskal antarwilayah. Provinsi dengan PAD tinggi masih bisa bernapas; namun Aceh, Maluku, NTT, dan Papua Barat yang hidup dari transfer pusat harus menunda program sosial, memotong belanja pegawai, bahkan menangguhkan tunjangan ASN. Di beberapa daerah, TPP ASN bahkan dipangkas 2–5 persen untuk menyesuaikan kemampuan APBD.

Jika pemotongan dilakukan bukan karena pelanggaran disiplin, tetapi karena tekanan fiskal nasional, maka itu bukan efisiensi melainkan tanda krisis keadilan fiskal.

Ilusi Desentralisasi di Tengah Sentralisme Baru

Dalam praktik kebijakan, hubungan pusat-daerah kini kembali menyerupai pola patron–klien dimana pusat memberi, daerah menunggu. Padahal semangat otonomi adalah kemitraan, bukan ketergantungan.

Proyek-proyek jalan, irigasi, dan jembatan dirancang dari atas tanpa selalu selaras dengan rencana pembangunan daerah. Ketika TKD dipotong, sementara belanja kementerian/lembaga justru meningkat dari Rp 900 triliun menjadi Rp 1.300 triliun, daerah semakin kehilangan ruang gerak.

Kondisi ini menandakan bergesernya kekuasaan dari policy decentralization menuju fiscal centralization atau dari kepercayaan menjadi kontrol.

Pemangkasan semacam ini tidak hanya memotong urat nadi fiskal daerah, tetapi juga mengikis modal kepercayaan antarlevel pemerintahan. Padahal, kepercayaan adalah energi tak kasat mata yang membuat sistem fiskal berjalan harmonis. Ketika pusat tak lagi percaya pada daerah, dan daerah tak lagi percaya pada pusat, maka yang terjadi bukan efisiensi, melainkan keretakan konstitusional.

Reformasi Fiskal yang Berkeadilan

Pemangkasan TKD tidak harus dipahami sebagai akhir dari desentralisasi. Ia bisa menjadi peringatan bahwa hubungan fiskal kita perlu dibenahi.

Ada dua langkah mendesak yang perlu ditempuh:

Pertama, redefinisi konsep kinerja daerah.

Kinerja seharusnya tidak hanya diukur dari serapan anggaran atau besarnya PAD, tetapi dari kualitas pelayanan publik dan dampak sosialnya. Daerah yang berinovasi dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, atau pengelolaan fiskal berbasis digital perlu diberi insentif, bukan hanya daerah dengan kapasitas fiskal tinggi.

Kedua, penguatan forum dialog fiskal.

Kebijakan transfer harus dibahas secara partisipatif antara pusat, DPR, dan asosiasi pemerintah daerah (APKASI, APEKSI, ADPSI). Tanpa dialog, hubungan fiskal akan selalu menjadi monolog dari pusat ke daerah dan otonomi akan tinggal nama.

Menjaga Jiwa Reformasi

Pemangkasan dana transfer bukan sekadar soal angka, melainkan soal kepercayaan dan legitimasi. Negara yang kuat bukan karena semua kebijakan dikendalikan dari pusat, tetapi karena daerah-daerahnya berdaya dan dipercaya.

Kita perlu mengingat kembali semangat reformasi bahwa desentralisasi bukan hadiah, melainkan hak konstitusional. Ketika seluruh kekuasaan fiskal kembali terkonsentrasi di Jakarta, kita bukan sedang menghemat anggaran akan tetapi kita sedang mengikis keadilan.

Efisiensi adalah tujuan ekonomi, tetapi perlu inggat kembali bahwa keadilan adalah alasan kenapa ekonomi itu ada. Dan tanpa keadilan fiskal, otonomi hanyalah ilusi.


Komentar

Berita Terkini