Oleh:
Sulfi NH Bugis (Praktisi Pertanian dan Pemerhati Desa).
Di Halmahera Timur, pagi hari masih menyajikan pemandangan hijau yang memesona. Padi berdiri memanjang, kebun-kebun transmigrasi tetap rapi seperti catatan buku pelajaran SD. Namun, keindahan itu setipis brosur pemerintah — indah pada pandangan pertama, pedih ketika dibuka pelan-pelan.
Di balik hamparan hijau itu, petani bekerja dalam diam sambil menahan napas menghadapi tiga momok yang makin lama makin menyesakkan: biaya produksi yang menanjak seperti harga tiket konser luar negeri, pasar yang dikuasai tengkulak, dan tambang yang merangsek tanpa basa-basi.
Halmahera Timur, yang digadang-gadang sebagai “masa depan Maluku Utara”, kini lebih mirip pasien yang dirawat oleh dokter yang sibuk selfie. Sementara petaninya, aktor utama panggung pangan, hidup seperti figuran yang namanya tidak masuk di credit title.
1. NTP: Indikator yang Tidak Perlu Ditunggu untuk Menunjukkan Kejatuhan
Nilai Tukar Petani (NTP) adalah indikator paling jujur sekaligus paling menyakitkan. Ia tidak bisa dirias. Ia tidak bisa dipoles seperti laporan tahunan perusahaan. Ia bicara apa adanya — sebuah sifat yang sayangnya membuatnya tidak terlalu disukai pejabat.
Di Halmahera Timur, NTP sebenarnya sudah teriak-teriak meminta perhatian. Harga pupuk naik, solar sulit, ongkos traktor melonjak, sementara harga gabah dan hortikultura tetap anggun pada posisi rendah. Seorang petani di Wasile mengeluh:
“Kami kerja bukan untuk hidup, tapi untuk bayar hutang pupuk dan solar.”
Kalimat itu seharusnya dipajang di kantor pemerintah, mungkin di dinding tepat di samping foto bupati. Bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk mengingatkan bahwa ada sesuatu yang sedang runtuh di akar ekonomi daerah ini.
Petani membeli sarana produksi di pasar liberal, tetapi menjual hasil panen di pasar oligopsoni — pasar yang hanya punya beberapa pembeli kuat, yang menentukan harga seenaknya. Jika ibarat hubungan, ini bukan toxic relationship lagi, ini sudah hostage relationship: petani ditawan oleh struktur ekonomi yang tidak berpihak.
2. Transmigrasi: Janji Kemakmuran yang Perlahan Membusuk
Program transmigrasi pernah dielu-elukan sebagai proyek nasional yang mengubah nasib. Namun di Halmahera Timur, banyak lokasi transmigrasi kini berubah menjadi diorama kebijakan masa lalu — berdiri, tetapi penuh debu.
Tanahnya menipis kesuburannya akibat penggunaan pupuk kimia tanpa pemulihan tanah. Irigasi rusak dibiarkan seperti monumen patah hati. Bantuan alat pertanian rusak dan tidak ada yang memperbaiki. Subsidi pupuk datang telat, seperti tamu undangan yang datang saat acara sudah selesai.
Petani transmigran yang dulu datang dengan semangat membangun hidup baru, kini justru antre mencari kerja sebagai karyawan outsourcing tambang. Bayangkan: proyek yang dimaksudkan untuk membangun lumbung pangan kini justru memasok tenaga kerja murah untuk industri ekstraktif.
Jika transmigrasi terus dibiarkan tanpa revitalisasi, maka bukan hanya gagal, tetapi berubah menjadi satire birokrasi paling pahit: negara menjanjikan sawah, yang datang justru tumpukan batu.
3. Rantai Pasok: Jalan Panjang Menuju Kemiskinan yang Konsisten
Rantai pasok Halmahera Timur bisa menjadi novel tragedi tiga babak. Petani menanam, panen, lalu menyerahkan hasil panen kepada nasib — nasib yang dirangkai oleh ongkos transportasi yang beringas, kualitas jalan yang menyedihkan, dan distribusi yang tidak pernah didesain untuk berpihak pada mereka yang menanam.
Biaya mengangkut sayur dari kebun ke kecamatan bisa ratusan ribu. Dari kecamatan ke kota kabupaten, lipat gandanya. Dan semuanya tanpa jaminan harga.
Ironinya: pangan lokal mahal di kota, tetapi petani tetap miskin di desa.
Jika logika sederhana ini tidak cukup membuat pejabat panik, entah apa yang bisa. Petani tidak miskin karena malas. Petani miskin karena sistem yang seharusnya membantu malah bekerja seperti labirin: kompleks, panjang, dan tidak punya pintu keluar.
Di era ketika orang bisa memesan martabak via aplikasi, petani di Halmahera Timur masih mengangkut cabai dengan motor tua di jalan berbatu yang membuat sayur layu sebelum sampai pasar. Di tengah geliat logistik nasional, daerah ini seperti sengaja ditinggalkan di masa lalu.
4. Tengkulak: Penjahat atau Penyelamat Darurat?
Tengkulak sering digambarkan sebagai antagonis dalam drama petani. Namun sesungguhnya, mereka lebih mirip gejala penyakit daripada penyebab penyakit. Mereka hadir bukan karena kuat, tetapi karena negara absen.
Tengkulak memberi pinjaman cepat tanpa ribet. Tidak ada tanda tangan tiga kali. Tidak ada fotokopi dokumen selemari. Tidak ada verifikasi yang memakan waktu lebih lama dari musim tanam.
Namun, kemudahan itu dibayar mahal: petani harus menjual hasil panen dengan harga yang telah ditentukan. Ini bukan transaksi, ini penyerahan paksa yang dibungkus kesepakatan.
Ketika petani sudah tidak bisa menentukan harga, bahkan tidak bisa menentukan apa yang mereka tanam, maka sebenarnya sistem pangan daerah sudah kalah bahkan sebelum pertempuran dimulai.
5. Tambang: Excavator Masuk, Koridor Pertanian Mundur
Masalah terbesar dan paling politis: tambang nikel. Dalam lima tahun terakhir, Halmahera Timur berubah lebih cepat dari drama televisi. Bedanya, ini bukan drama fiksi. Ini realitas yang menggusur, menggerus, dan merombak ruang hidup.
Di banyak desa, kebun pisang, pala, dan sayuran kini bertetangga langsung dengan jalan hauling. Debu tambang menempel pada daun dan paru-paru warga. Air sungai berubah warna, pelan tapi pasti. Beberapa petani menjual lahan karena tekanan ekonomi, bukan karena pilihan.
Tambang datang membawa janji seribu lapangan kerja, tetapi meninggalkan ratusan kekhawatiran ekologis. Klaim kontribusi ekonomi tambang terdengar seperti musik latar yang tidak sinkron dengan kenyataan di lapangan. Jika ekonominya naik, tapi pertaniannya jatuh, siapa sebenarnya yang menang?
CSR tambang sering hanya berupa paket sembako, spanduk kegiatan, dan dana beasiswa kecil yang lebih mirip token moral daripada tanggung jawab struktural. Betapa murahnya mengganti kerusakan lingkungan dengan tiga sak beras dan seragam sekolah.
Jika tambang diizinkan menggali bumi, maka mereka juga harus diwajibkan menanam masa depan pangan daerah.
6. Jalan Tengah yang Tidak Akan Ditemukan Jika Kaca Mata Pembangunan Tetap Buram
Halmahera Timur tidak bisa diselamatkan dengan pendekatan model lama. Pertanian tidak bisa hidup tanpa dukungan struktural. Tambang tidak bisa dibiarkan menguasai seluruh ruang hidup. Keduanya harus diatur, bukan dibiarkan saling memakan.
Tiga langkah mendesak:
Pertama, membangun kelembagaan ekonomi petani yang sungguh-sungguh hidup. Koperasi tidak boleh menjadi ornamen desa. Harus mengelola modal, menentukan harga, menciptakan akses pasar.
Kedua, memperbaiki logistik pangan.
Cold storage, rumah kemas, transportasi terintegrasi, platform pemasaran digital. Tanpa ini, petani akan terus menjadi produsen tanpa nilai tambah.
Ketiga, merombak relasi tambang–pertanian.
Tambang harus diwajibkan membayar utang ekologis dan sosial mereka dalam bentuk revitalisasi lahan, rehabilitasi irigasi, dukungan teknologi, dan investasi pada ketahanan pangan lokal.
Penutup: Persimpangan yang Menentukan Masa Depan
Halmahera Timur berada pada persimpangan yang tidak bisa dihindari. Di kiri, cangkul yang semakin berat. Di kanan, excavator yang semakin kuat. Di depan, tambang yang terus melaju. Di belakang, lahan pertanian yang menunggu dirawat.
Pertanyaannya sederhana:
akan berpihak pada siapa masa depan daerah ini? Tanpa petani, tidak ada pangan. Tanpa pangan, tidak ada masyarakat yang stabil. Tanpa keberpihakan, tidak ada pembangunan — hanya ektraksi.
Jika Halmahera Timur memilih masa depan yang hanya digerakkan excavator, maka ia akan memiliki banyak lubang, tetapi sedikit harapan.
Jika ia memilih masa depan yang menyeimbangkan tanah dan industri, maka petani tidak lagi menjadi korban pembangunan, tetapi mitra sejajar.
Pada akhirnya, masa depan Halmahera Timur tidak ditentukan oleh tambang atau pasar. Ia ditentukan oleh keberanian berpihak pada mereka yang menanam hidup dari tanah.
---Mari Berdaya---
