-->
    |


Perempuan dan Literasi ( Sebuah Cerpen Renungan)


 
Foto : Kurniana

Oleh: Kurniana
(Pengurus Lingkar Penulis Indonesia)

Pagi-pagi sekali, ia membangunkan Fatimah. Bukan untuk sekolah tetapi belajar bersama dia. Awalnya ia pilihkan buku yang cocok untuk pemula. Mulai dari komik, cerita bergambar, lalu buku berilustrasi sederhana. Britania faham betul kalau di antara sekolah yang ia kunjungi, materi yang dianggap penting hanyalah pelajaran-pelajaran sains dan sosial saja. Materi lain seperti kesenian, olahraga, musik, hanya dianggap sebagai “pelengkap” pelajaran disekolah, bahkan pelajaran agama. Karenanya ia memutuskan bahwa Fatimah harus menempuh jalur Homescoling

Disisi lain, hatinya selalu berontak disaat tetangganya mengizinkan putra putrinya belajar kesekolah dengan menanamkan doktrin “sekolah untuk tujuan bekerja, sekolah agar memperoleh gelar, sekolah agar bisa duduk digedung-gedung mewah”. Ilmu diterjemahkan dengan orientasi materi, ini yang ditolak Britania. Bahwa pendidikan dijadikan ladang untuk menyuburkan nafsu, memperoleh kedudukan dan harta. Penuh iming-iming yang tak berkesudahan. Harusnya hal itu hanya efek bukan tujuan. Bagaimana tidak ia tolak, baginya sumber segala derita berasal dari doktrin tersebut. Cinta dunia!


Britania menelusuri pikirannya kembali, ia membenarkan nasihat Rumi “bahwa siapa yang memelihara jiwa kebinatangan akan menjadi bebek yang melambangkan kerakusan. Paruhnya selalu ditanah, mengeruk apa saja yang terbenam, entah basah atau kering. Tenggorokannya tak pernah santai suatu saat pun. Ia tidak mendengar firman Tuhan selain, “Makan dan minumlah!” seperti penjarah yang merangsek rumah dan memenuhi kantongnya dengan cepat, ia memasukkan ke dalam kantongnya, baik dan buruk, permata atau kacang tiada beda.” Ia tidak mau orientasi ini terjadi pada Fatimah. Britania menjadikan pusat perhatiannya dialihkan pada jiwa, inilah intan yang wajib diasah untuk memperoleh kebahagiaan abadi menurutnya. Semua itu berawal dari cinta terhadap ilmu pengetahuan yang benar.

Britania mendesign rumahnya dengan banyak rak buku bacaan, menata bayi-bayi tanaman di samping rumahnya. Sesekali Fatimah diajari berkebun, lalu ia melepas lelahnya dengan menyelami buku-buku yang disediakan ibunya. Sebelum membaca, Fatimah selalu berwudhu,berdoa, kemudian dilanjutkan belajar. Berwudhu sebelum belajar adalah rutinitas wajib yang dikenalkan padanya.

“Ilmu akan melekat didalam qolbu, jika diiringi dengan penyucian diri”. Britania seolah ingin mengungkapkan hal itu kepada Fatimah dalam diamnya. Sesekali Fatimah diajak berpuasa untuk melatih jiwanya"

Britania memang nekad, melawan arus ditengah orang-orang yang haus prestise pendidikan. Bahwa menyekolahkan anak ditempat mahal menunjukkan kelas sosial yang tinggi. Tapi ia Membawa Fatimah kejalan yang tak biasa, dimana cahaya ilmu sesungguhnya untuk meraih Sang Pemberi Cahaya, sekalipun jalan sunyi yang tak ditempuh banyak orang. Ia yakin inilah jalan terang hidup, jalan keabadian. Ia selalu memikirkan bagaimana agar anaknya tidak masuk dalam lipatan dunia yang melenakan. Dunia yang membawa manusia menjadi robot-robot yang berujung pada kekecewaan.

Sesekali Britania mengungkapkan kegelisahannya tentang sekolah lewat koran-koran. Ia tak pernah jengah melontarkan beberapa pertanyaan. 

“Apakah guru-guru menyadari sifat dan filosofi tugas mereka? Mengapa tidak ada kesatuan antara sekolah dan dunia realitas?

“Mengapa ilmu tidak menjadi penunduk hati bagi sebagian besar pembelajar? yang ada justru dekadensi moral. 

“Mengapa dunia sekolah seolah gagal mengantarkan manusia ke ranah transendental?”

“Mengapa semakin banyak gelar, seseorang seolah semakin pongah terhadap alam ini?”

“Mengapa guru selalu berfokus pada kemampuan membaca bukan membangun minat dan kecintaan pada ilmu?” Britania menguliti permasalahan ini dengan rinci.

Fikirannya jauh, ia berdoa dalam hati agar Tuhan selalu memberikan rahmat-Nya sehingga ia senantiasa bisa mengajari Fatimah. 

Bertahun-tahun sudah ia membangun kebiasaan baik, mengajari dengan tindakan, meminimalisir pengajaran lisan, mencurahkan ketulusan dengan sebaik-baik perlakukan, Seperti puisi Dorothy Law Nolte dibait akhirnya, 

jika anak dibesarkan dengan ketulusan, ia belajar jujur

jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar adil

jika anak dibesarkan dengan kebajikan dan tenggang rasa, ia belajar menghormati 

Britania ingin membangun nilai-nilai tersebut. Tak hanya itu, Britania selalu berpegang pada ucapan guru imam syafi’i yang mengatakan bahwa “ilmu adalah cahaya, dan cahaya tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat”. Jurus ini wajib ia tanamkan mengingat Fatimah sudah hampir menginjak remaja. Britania yakin bahwa cahaya hanya akan menembus jiwa-jiwa yang senantiasa menghindari diri dari hal yang tidak dicintai oleh Tuhan. Demikian cara Britania mencintai Fatimah. Jika ada yang bertanya mengapa ia mencintai jalan ini, Britania menjawab, “seluruh sikap buruk dan akibat buruk yang didapat oleh anak dimulai dari rumah, saya ingin memutusnya”. 

Zainab berhenti membaca potongan novel yang diperolehnya dari tong sampah itu. Ia menangis meratapi nasib anaknya yang menghabiskan waktu hanya untuk mengejar uang, siang dan malam dalam kepongahan, demi pemenuhan nafsu yang tiada henti. Tetapi ia lebih menyesal lagi, mengapa ia tidak menjadi “ibu” seperti Britania.***


Komentar

Berita Terkini