-->
    |


DUKA TAK BERENCANA ( Pray For Palu)





Oleh: Rahmat Akrim

Siang itu langit tak menunjukkan keindahannya seperti yang sudah-sudah, begitu pula dengan alam yang tak terlalu bersahabat dengan cuaca. Dari bawah kaki Gunung Fatu Tela, mereka masih terus memandang awan mendung yang menyelimuti seluruh kota, sedang di ujung barat kilat serta gemuruh terus melantangkan suara, memberikan tanda bahwa sebentar lagi hujan akan membasahi tubuh semesta.

Tak seperti biasanya, hari itu angin terlalu manja merabah tubuh, matahari tidak lagi menghangatkan bumi, mungkin alam masih ingin untuk merayu. Sementara kumandang adzan ashar terus bersuara memanggil manusia untuk menghadap sang ilahi. Sedang tiga wanita masih saja sibuk membereskan buku dan menyiapkan mukenah untuk pergi ke Masjid FKIP yang berada di seputaran Kampus Tadulako. 

“Ayo cepat” Ajak Melan.

“Kamus ku dimana Nad?” Tanya Rianti

“Bukannya kamu sudah taruh di tas!” Jawab Nadya dengan suara pelan.

Tidak menunggu lama merekapun berjalan menuju tempat dimana Masjid FKIP itu berada, sesekali mereka melewati teman-teman se-fakultas yang sedang asyik berdiskusi, ada yang berbicara tentang dunia kampus, tentang organisasi bahkan ada pula yang mendiskusikan mengenai sistem pemerintahan di era presiden ke tujuh ini. 

Waktu terus berganti, menit pun enggan tuk berhenti. Hingga tibalah duka tak berencana, guncangan dashyat yang menelan banyak korban jiwa, merobohkan semua gedung-gedung tua, menghacurkan rumah-rumah warga. Sementara itu gadis bernama Nadya sedang mengisih perut yang sedang kosong karena selama di kampus ia belum menikmati makanan sedikitpun kecuali aqua yang di belinya ketika sepulang sholat ashar. 

“Nadyyaaaa…” Teriak Melan spontan.

“Nadyaa cepat keluar” Rianti mengajak Nadya untuk keluar.

Dengan cepat Nadya keluar dari dalam kosannya, belum juga melewati pintu keluar tempat mereka tinggal,  tembok pun roboh hingga mengenai sedikit tubuh Nadya. Setibanya di luar ia pun langsung  menangis histeris sebab kaget akan guncangan dashyat yang tak di rencana itu.

***
Di kejauhan terdengar suara seruan ombak menghantam jembatan Ponulele, serentak tiga wanita itu berlari dengan kencang menuju dataran tinggi, ya menuju Gunung Fatu Tela. Di tengah perjalanan tiba-tiba saja gelap menghantui seantero kota.  Gelisah serta takut terus menghatui seribu jiwa. Dari teriakan meminta tolong  hingga seruan nama Tuhan semua warga ucapkan sambil berlari.

“Tolooonnnggg…..”

“Mel kamu dimana?” Ucap Nadya sambil berlari dan menangis.

“Rianti tungguuu?” Teriak Nadya dengan suara yang penuh iba.

“Cepaat Nad” Sambung Rianti.

Memang seketika gelap menyelimuti Kota Tadulako, Melan berlari tak searah dengan Nadya juga Rianti. Entah kemana Melan berlari, mereka tak lagi bersama. Kini hanya gelap yang menujukan wajahnya, seakan ia ragu memberikan cahaya, sedang ombak selalu melululantahkan gedung tua.
Begitu banyak jiwa yang lalu lalang, berlari berteriak mencari pertolongan. Bencana yang tak terduga, semua tak di rencana, mungkin ini salah satu pertanda bahwa manusia harus selalu ingat dan menyebut nama-Nya. Kuingat bisikan dari warga bahwa daerah tetangga telah berpindah, Kabupaten Sigi yang dulunya indah kini tanah memuntahkan lumpur.

“Toloooonggggg…..Toloooonnggggg…..”

“Allaaahuakbarrr….Allaaahuakbaarr…..”

Malam itu tangisan dan rasa iba menyatu menjadi satu, masing-masing menyelamatkan diri sendiri. Dari anak-anak, wanita, pemuda, sampai yang tua semua berseru meminta pertologan. Bunyi kendaraan kian kemari, melaju seakan arah tak di ketahui. 

“Toloooonggggg…..Toloooonnggggg…..”

“Allaaahuakbarrr….Allaaahuakbaarr…..”

“Ya..Allah..ya Allah..ya Allah, ampunilah hambamu…”

***
Waktu menunjukan 05:00 WITA, Rianti dan Nadya telah sampai di Gunung Fatu Tela, sesampainya disana mereka mendapati orang-orang tidur tak beralaskan tikar, manusia-manusia banyak yang lapar, serta suara tangisan iba terus terdengar. Perhatikan wajah yang penuh duka itu, yang  tergambar hanyalah raut wajah-wajah kesedihan.

“Kita tidur dimana Rianti?” Tanya Nadya.

“Jangan tidur Nad, kita harus waspada jangan sampai gempa terjadi lagi” Jawab Rianti dengan nada suara yang lesuh.

“Iya” Sambung Nadya.

Belum juga Rianti selesai bicara, bumi kembali marah dan mengguncang Sulawesi Tengah, kini tangisan kembali membahana, puluhan bahkan ribuan air mata kembali menetes berjatuhan ke tanah. Entah dimana sanak keluarga, yang ada hanyalah pasrah dan berdoa. 

Menitpun telah berlalu, matahari mulai memancarkan cahayanya di ufuk timur, dengan keadaan yang mulai redah, Nadya dan Rianti bergegas turun dari Gunung Fatu Tela. Mencari Melan yang entah dimana rimbanya, setelah sampai di pusat kota mereka menyaksikan begitu banyak korban jiwa, mayat bagaikan sampah yang terhempas dan terbaring diatas tanah, sedang udara tak lagi menyehatkan, yang tercium hanyalah aroma bangkai manusia.

Ramalan yang penuh duka cita, perjalanan dimulai dari satu langkah, ternoda hanya karena lupa, bencana tiba karena tak berencana. Apakah ini pertanda? Semua masih menjadi tanda tanya, wajib kiranya kita memanjatkan do’a semoga Allah selalu bersama kita. Sudah sepatutnya kita peduli sesama, duka Palu duka kita semua.***
Komentar

Berita Terkini