![]() |
| Fahrin Umarama Pemerhati Kebijakan Publik |
Sula Berada Di Peta NKRI, Tapi Tidak Ada Di Ingatan Masyarakat Indonesia.
Oleh : Fahrin Umarama
Arus gelobalisasi membuat semua menjadi cepat dan terasa dekat. Kita bisa tauh New Jealand sebagai lumbung peternakan sapi; Cina menjadi negra penghasil ikan terbanyak di Dunia dan Belgia menjadi negara penghasil coklat termanis di dunia. Berbagai pengetahuan itu kita dapati dengan mudah dan cepat, hanya menghitung detik. Bahkan juga tauh bahwa Cina bukan negara dengan garis pantai terpanjang dan Belgia bukan negara penghasil kakao terbesar.
Negara yang jauh, serasa nampak dipelupuk mata. Begitu pula dengan daerah-daerah kepuluan kita, misal: pulau Buru dengan minyak kayu putihnya; Bacan dengan batu akik dan nama sapi bacan; Wakatobi dengan wisata baharinya; Buton dengan semangat melaut dan berdagang; Bunaken dengan wisata bawa lautnya; Sumba dengan padang savananya; Banda dengan pala dan sejarahnya; Mentawai dengan kearifan lokalnya, Morotai dengan peninggalan sejarahnya; Tulehu dengan sepak bolanya.
Namun Kepualauan Sula seakan tanpa signal, tidak terekspos oleh masyarakat Indonesia. Bahkan kita sendiri bagaikan gaja dipelupuk mata, tidak bisa melihat keunggulan daerah kita. Jika titik central Indonesia berada di Makassar, maka jarak dari Makassar ke Sula hanya 403,89 mil laut. Kepualuan seperti Morotai, Natuna, bahkan Bunaken lebih jauh dari titik central. Sula tidak berada di ujung paling barat di Aceh dan paling timur di Marauke, namun mengapa Kepulauan Sula tidak dikenal khelayakan masyarakat Indonesia ?
Kalau mau dilihat pertanian Kepualaun Sula, saya sebutnya "kucing kehilangan induknya" tidak jelas arahnya. Semua ditanami dan tidak ada tanaman unggulan sama hal pala di Pulau Banda hingga di kejar Ingris dan Belanda. Pulau Buru dengan pohon minyak kayuputih. Ataukah sebagai penghasil kopra ? Sudah di miliki Sulawesi Utara sebgai daerah nyiur (kelapa) melambai.
Demikianpun perikanan, belum bisa di klaim. Ikan-ikan dipasar hasil impor dari Ternate dan Manado, begitupun sayur mayur dan rempah-rempah. Unggul di pendidikan karena SDM berprestasi ? Atau unggul di budaya karena sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai dan melestarikan budaya ?
Bahkan ikon Wan Sosa (lebah) saja enggan hinggap di pulau kecil yang tidak punya cadangan bunga yang banyak untuk diambil sarinya. Lebah tempatnya berada dihutan yang luas, disana menyimpan banyak bunga yang tanpa menegenal musim untuk dipanen sarinya. Di Sula, semua lahan sudah ditanami pohon musiman. Tentu serapan serat bungan akan berkurang untuk memproduksi madu. Mungkin hampir punah, makanya dilestarikan menjadi tuguh ikon Sula.
Jika surga itu jatuh di tanah Papua, munkin Sula dapat sisahnya karena sudah dihalang oleh Maluku dan Maluku Utara.
Namun Sula-ku masih punya harapan. Kepualuan Sula masuk dalam daerah The Coral Triangle atau segitiga trumbu karang dunia. Atau bisa juga disebut hutan tropis amazon bawa laut. Disini menjadi episenteum bagi spesies terumbu karang dunia. Indonesia memiliki 51.000 kilometer persegi terumbu karang, dan terdapat 2.500 jenis ikan. Wilayah laut Maluku yang juga berbatasan dengan Sula, masuk dalam salah satu dari 6 lokasi large marine ecosystems (LMEs) Indonesia yang ada di Dunia. Potensi itu membuat Sula akan kehabisan ikan. Sula bisa tampil daerah lumbung ikan, penyuplai ke daerah barat. Sehingga program kemaritiman diperkuat.
The Coral Triangle menjadi simbiosis mutualisme pariwisata bahari kita. Sehingga jika menginginkan ramai wisatawan, ekosistem bawa lawut di perbaiki untuk menjadi rumah yang nyaman bagi banyak biota laut, larangan tangkap ikan diwilayan terlindung, penanaman trumbu karang dan pengadaan wisata air yang tidak merusak lingkungan laut. Berbagai festival bisa dielaborasikan, misalnya: festival waka dengan fertival photografer bawa laut; festival menanam trumbu karang; festival bakar-bakar ikan dan lainya. Pariwisata menjadi ekonomi penopang yang akan memperkenalkan daerah lumbung ikan.
Di pertanian masih mempunyai potensi untuk menjadi keunggulan tanaman terbanyak di Indonesia. Tinggal arahan dari pemerintah daerah agar petani fokus pada tanaman tertentu. Tanaman-tanaman yang telah ada di Sula, bisa diadakan rumah produksi ataupun pabrik pengolahan seperti kopra, cengkeh, jambu mente atau kakao untuk menambah nilai jual hasil panen masyarakat. Dari hulu masyarakat menyedikan bahan baku, dihilir pabrik siap mengolah dan mengekspor. Sehingga produk tersebut dapat menjadi ciri khas daerah dan menjual nama daerah.
Begitupula dengan pendidikan, sejarah, budaya dan olahraga yang bisa di angkat. Jika Tulehu bisa menjadi desa sepak bolah, maka Sula juga bisa. Rizky Pora telah membuktikanya. Semua berada di pemangku kepentingan dan pengampuh kebijakan. Masyarakat harus kritis terhadap pemerintah dan jelih memilih saat pemilihan. Untuk mengenalkan Sula kepada masyarakat Indonesia, semua punya peran, terlebih Pemerinta Kabupaten Kepualauan Sula.
