Oleh : Rahmat Akrim
Dalam
malam yang kelam, rembulan masih menguasai sejagad bumi persada, kilauannya terkadang dihalangi oleh
awan-awan malam, sesekali terdengar jeritan batu karang yang di hempaskan
gulungan ombak. Rumput-rumput laut dengan senangnya mengikuti arus-arus kecil
yang tak tahu dimana arus kan membawanya. Meratapi yang sudah terjadi adalah
hal yang tak mungkin, ia akan kembali ketika anak cucu sudah sadar akan
kehidupan dan penderitaannya.
Orang
kampung sering memanggilnya Helena. Gadis nelayan yang tiap harinya memikirkan
ulah manusia yang begitu kejam terhadap lingkungan. Kehidupan masyarakat
sekitar bergantung kepada lautan. Kenapa tidak, sebab laut adalah sumber atau
mata pencaharian utama bagi masyarakat sekitar. Ya, mata pencaharian utama.
Namun semua itu berubah ketika bencana itu datang. Dia menghanguskan batu
karang, mematikan ikan-ikan, serta merampas hiasan yang mengindahkan lautan.
Dikala
itu, Helena bersama keluarganya sedang menikmati hidangan yang sudah di
persiapkan oleh ibunya. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan satu pertanyaan untuk ayahnya,
yang membuat sang ayah sedikit tertegun. Begini katanya:
“Pak,
kenapa sebagian nelayan memakai itu sih dalam memburu ikan, apakah tidak ada
cara lain, ataukah hanya cara itu supaya bisa dapat banyak ikan?”
“Apa
salahnya kalau mereka menggunakan seperti yang di gunakan oleh nenek moyang
kita dulu?”
Ayahnya
tidak menjawab, ia masih menikmati makanannya. Berkali-kali nasi itu masuk kedalam
mulutnya, namun belum juga menjawab. Di ambilnya cerek yang berwarna tembaga
itu, di tumpahkanlah isinya kedalam gelas lalu meneguknya perlahan-lahan,
kemudian ayahnya kembali menaruh gelas di lantai seraya menarik wadah tempat
cuci tangan sambil meremas jari-jarinya didalam wadah yang berisi air tersebut.
Ditarik nafasnya dalam-dalam, keluarlah
suara dari mulutnya
“Terkadang
hidup mengharuskan seperti itu. Mau tidak mau itulah yang harus di pakai,
mungkin saja itu salah satu cara untuk mendapatkan uang lebih.”
“Tapi
itu kan merusak lingkungan. Lalu bagaimana dengan…”
“Sudahlah
jangan terlalu memikirkan hari esok.”
Manusia
masih mengira kalau kehidupan sebatas hari ini saja, sungguh kasihan nasib anak cucu, takkan ada
lagi bekal yang tersisa di kemudian hari. Kepentingan pribadi yang di utamakan
sedang nasib generasi apakah di perhitungkan. Sinar pagi mulai menyinsing di
cakrawala. Helena yang sedari tadi bangun dari tidur malamnya, kini telah
termenung di dekat pintu memikirkan perkataan ayahnya semalam. Tiba-tiba
ayahnya keluar dari dalam rumah dengan membawa bingkisan yang di pegangnya.
Dengan cepat Helena mengikuti langkah kaki ayahnya dari belakang.
Dengan
sangat hati-hati, Helena terus melangkah mengikuti ayahnya. Di tengah perjalanan
ayahnya mampir sebentar ke warung, tak tahu apa yang di belinya. Seusai
membayar, ia langsung melanjutkan perjalannannya. Lima menit kemudian Helena
melihat ayahnya masuk kedalam rumah, Helena kenal betul rumah itu. Pak Amin,
yang merupakan kakak kandung dari ayahnya. Didorong rasa penasaran dan ingin
tahu yang tinggi, Helena kemudian mendekati rumah pamannya, ditempelkan
wajahnya ke dinding yang terbuat dari anyaman bambu itu, ya ia mengintai
aktivitas yang dilakukan ayah dan pamannya didalam sana.
Helena
melihat pamannya sedang asik menyangrai, tapi ia tak tahu apa yang di sangrai
oleh pamannya, bentuknya seperti sagu mutiara. Tak menunggu lama, ayahnya
mengeluarkan isi dari bingkisan yang dibawanya tadi. 2 Botol bir kosong, korek
api, ditambah dengan benang, itulah isi dalam bingkisan tersebut. Helena terus
mengintip dari luar rumah, dia terkejut, wajahnya penuh keheranan, hati dan
pikirannya bergejolak ingin tanya. Dalam hatinya berkata : “Apakah ayah dan
paman bagian dari orang-orang itu. Haruskah ku sampaikan ini kepada pihak kepolisian?
Bagaimana nasib ayah dan paman jika ditangkap polisi?”
Helena
terus menyaksikan aktivitas di dalam rumah, ia melihat pamannya telah usai
menyangrai. Begitu pula dengan ayahnya yang sedari tadi membuat serbuk-serbuk
dari korek api. Helena tak sadar kalau disampingnya ada seekor ayam betina
sedang mengeram, saking penasarannya Helena menabrak tempat ayam mengeram itu,
kemudian ayam berkotek dengan sangat kerasnya sehingga menyadarkan paman dan
ayahnya kalau sedari tadi orang yang mengintai aktivitas mereka. Dengan cepat paman
dan ayahnya keluar melihat siapa yang telah mengintai mereka, sesampainya di
luar, mereka terkejut. wajah ayah dan paman Helena penuh ketakutan, hingga
terjadilah….
“Apa
yang terjadi Nek? Apa yang terjadi dengan Helena Nek?” Tanyaku yang sedang
penasaran menunggu kelanjutan cerita nenek.
“Malam
sudah larut, tidurlah besok malam nenek akan ceritakan lagi.” Jawab nenek
dengan senyum kecil yang tergambar di wajahnya.
“Ia
Nek.” Jawabku.
Akupun
mengikuti perintah nenek, seraya membalikan badanku kearah timur dan kudengar
nenek keluar dari bilik kamar ku, menuju kamar tidurnya yang tak begitu jauh
dari kamarku. Begitulah kisah cerita kehidupan Helena yang di
ceritakan oleh nenek sewaktu aku masih kecil. Gadis perkasa yang masih
mempedulikan masa depannya.**