-->
    |


Kontroversi Peran DPD RI (Catatan Refleksi 1 Oktober 2020)



Oleh : Sufrin Ridja

(Penulis adalah Mahasiswa jurusan Hukum Tata Negara pada Universitas Jayabaya Jakarta)

Satu Oktober 2020, pekan lalu adalah momentum kelahiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. Jika kita merefleksikan kembali hadirnya lembaga Perwakilan daerah itu, maka perlukah dipertahankan kewenangannya sebagaimana tertuang pada Undang-Undang MD3 Tahun 2014, yakni pengajuan dan pembahasan rancangan perundang-undangan?

Kewenangan DPD masih kontroversi seputar legislasi, pengawasan, serta penganggaran. Sebab, peran DPD dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI nyaris sama peran. Kedua institusi (parlemen) ini memiliki bicameral (sistem dua kamar). DPD tak diberi ruang sebagaimana amanah UU MD3. Pembagian kewenangan inkonstitusional. Padahal DPD RI memiliki peran penting.

Sistem bicameral system dapat di lihat dari tiga sisi, yakni fungsi lembaga perwakilan, keanggotaan lembaga perwakilan dan proses pembentukan Undang-Undang. Pertama, segi fungsi, jika lembaga perwakilan terdiri dari dua kamar dan masing-masing kamar mempunyai fungsi yang sama, baik di bidang legislasi, pengawasan serta anggaran. Pasalnya kedua lembaga perwakilan tersebut dikategorikan sebagai sistem perwakilan dua kamar.

Ifma Fitriana Ulfah Dkk, dalam bukunya Kajian Tentang Parlemen, mengungkapkan bahwa parlemen dalam definisi Alfred de Grazia, ialah sebagai hubungan antara dua orang, wakil dengan pihak yang diwakili (Konstituen), di mana wakil memegang otoritas untuk melaksanakan beberapa aksi yang mendapat persetujuan dari konstituen, sedangkan Hanna Penichel Pitkin mendefenisikan parlemen sebagai proses mewakili di mana wakil bertindak dalam rangka bereaksi kepada kepentingan pihak yang mewakili. 

Grazia dan Pitkin memiliki kesamaan dalam berpikir dan menempatkan relasi kuasa antara anggota parlemen dengan Konstituen. Dalam konteks ini parlemen berarti persoalan bagaimana ratusan kursi yang ada di parlemen mewakili ratusan juta rakyat indonesia. 

Dengan kondisi geopolitik Indonesia, konsep keterwakilan ini perlu dibuat lebih efektif dengan adanya keterwakilan spesial yang diwujudkan dalam bentuk lembaga yang kita sebut lembaga Dewan Perwakilan Daerah DPD di Indonesia, sementara di Amerika Serikat disebut Senat. Representasi juga mengandung pemahaman adanya keseimbangan kekuatan politik sehingga representasi bisa dilakukan dengan efektif, tanpa ada salah satu kekuatan yang mendominasi.

Reformasi bergulir muncul perubahan sistem ketatanegaraan yang menandai adanya  amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dewan perwakilan daerah (DPD) merupakan lembaga perwakilan baru dalam struktur parlemen. Untuk pertama kalinya, DPD diperkenalkan melalui perubahan amandemen ke tiga UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tahun 2001.

Gagasan dibentuk DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah adanya keinginan untuk merubah sistem unicameral menjadi sistem bicameral. DPR sebagai kamar pertama dan DPD sebagai kamar ke dua, masing-masing memiliki kewenangan yang diperintahkan UU 1945, serta di undangkan melalui UU MD3. Anehnya, kewenagan terbatas sebagaimana tertuang pada UU MD3. DPD kehilangan giro perjuangan membawa aspirasi di daerah masing-masing.

Kewenangan yang dinyatakan dalam UUD 1945, yakni pasal 22D, ayat 1, 2, 3, dan 4. Pada Ayat (1) bahwa Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), dan Sumber Daya Ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 

Sementara Undang-Undang MD3, Pasal 279 dalam pembahasan rancangan UU sebagaimana dimaksud pada Pasal 248 ayat (1) huruf b dan huruf c, bahwa DPD menyampaikan pandangan, dan pendapat dalam pembicaraan tingkat I. 

Oleh karena itu, kewenangan DPD sangat besar jika di lihat dari UUD 1945, namun keterlibatan DPD sebatas level pembicaraan sebagaimana dijelaskan di atas,hanya memberikan pertimbangan. Artinya, perancangan UU oleh DPD kaitan dengan Otonomi Daerah (Otoda), Ekonomi, Sumber Daya Alam dan pendidikan sekedar mengajukan, tidak melibatkan pada pembicaraan tinggat II, yakni penentuan pengambilan keputusan, sehingga banyak regulasi UU dibuat DPD diabaikan. 

Roberrtus (Berita Satu, Edisi 11/09-2019), putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 tahun 2014 terkait pengujian materil UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPD, dan DPRD (UU MD3). 

Empat pasal yang diputuskan MK, yakni Pertama, Pasal 71 huruf c UU MD3 dimaknai membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan presiden, DPR atau DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah,_hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), dan sumber ekonomi lain, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pembahasan, DPD diikutsertakan sebelum mengambil persetujuan bersama antara DPR dengan presiden. 

Selanjutnya, Kedua, Pasal 166 Ayat 2 UU MD3 dimaknai RUU yang dimaksud pada ayat 1 beserta naskah akademik disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD pada pimpinan DPR dan presiden. Ketiga, Pasal 250 Ayat (1) UU MD3 dimaknai dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan disampaikan pada presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai ketentuan perundang-undang yang berlaku. Keempat, Pasal 277 Ayat (1) UU MD3 dimaknai RUU disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPD pada pimpinan DPR dan presiden.

Peran DPD RI memunculkan celah terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU), kaitan kewenangannya mempeoleh penolakan berdasarkan pertimbangan politik yang berkembang di kubuh fraksi di parlemen. Kemudian, pada level pembicaraan tingkat II adalah pengambilan keputusan dalam sidang Paripurna tentang RUU disepakati secara musyawara untuk mufakat. Persetujuan atau penolakan dari fraksi dijelaskan pasal 69, ayat 1, huruf, b, UU, No 12 tahun 2011. 

Oleh karena itu, RUU dari  DPD, DPR dan Presiden tahap ke II, ini institusi bernama DPD, tak sekedar menjadi pelengkap unsur, hanya berikan tanggapan, tapi ikut dalam pengambilan keputusan. Secara teknis, akan diatur kembali antara kedua lembaga tersebut, seuai Pasal 69 Undang-undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Pearaturan Perunndang-Undangan.

 Kewenangan DPD tentunya ikut mengawal aspirasi rakyat masing-masing daerah. Sebeb, adanya keterlibatan menyerap aspirasi yang disetujui/ditolak. Apalagi kaitan UU menata Otonomi Daerah (Otoda), serta pengawasan UU atas implementasinya secara merata.  

Ketika di lihat dari aspek Tata Negara, struktur parlemen keanggotaan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, yakni dari DPR RI, serta DPD RI, memiliki kewengana berbeda. Ke tiga institusi, ini menganut sistem trikameral (tiga kamar) belum ada di negara lainnya. Sistem bicameral, cenderung negara federal, misalnya Amerika.

Hemat penulis, jika mengandung sistem trikameral maupun bicameral, maka ikut mendukung DPD RI di Amandemen ke lima UUD 1945. Yakni, dapat mengajukan RUU ke DPR RI, untuk pengambilan keputusan.*) 


Komentar

Berita Terkini