Oleh : Alifan Kene
(Pemerhati Sosial) Tokoh Muda Kel, Bobo
*
Soekarno dan Tidore
Tabea, suba se salam jou ngon moi-moi.
Sejarah perjalanan bangsa tidak terlupakan, tercatat dalam banyak karya dan temuan terbaru tentang sepak terjang menyatukan kembali suku bangsa dan ras dalam Kebinekaan. Sebab itulah, konsolidasi Presiden RI pertama Soekarno untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI melalui Kesultanan Tidore. Merdeka..!!!
Petikan kata merdeka sebanyak 15 kali di teriakan oleh rakyat Tidore saat kali pertama Soekarno tiba dan menginjakan kakinya di Tidore pada 18 Juli 1954. Kunjungan keduanya pada 30, Agustus 1957 bersama dengan Bung Tomo. Penyambutan meriah, berbagai gala kesukuan dan tarian - tarian adat dipentaskan sebagai penyambutan Soekarno sang pemimpin Revolusioner.
Kunjungan kedua, waktu di mana puncak konsulidasi kembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI bersama dengan diangkatnya Sultan Zainal Abidin Syah sebagai Gubernur Irian Barat Pertama yang ber-ibukota di Soa-Sio. Sultan Tidore Zainal Abidin Syah sebagai Gubernur Pertama Irian Barat merupakan hal spesial di mata sejarah Indonesia dan Tidore. Sekelumit sejarah Indonesia, Tidore dan Irian Barat.
Beranjak dari perjalanan konsolidasi yang tujuannya adalah untuk teritorial wilayah NKRI, menyisihkan rentetan sejarah pada masyarakat adat Kesultanan Tidore, khususnya warga Bobo yang saat ini sudah menjadi satu kelurahan definitif wilayah Tidore Utara, berdiri sejak Tahun 1963.
Tidore dengan perjalanan panjangnya memasuki usia kurang lebih 101 tahun menuai banyak kenangan yang menjadi sejarah, pertikaian demi pertikaian antar klan yang tercatat, di ceritakan secara turun temurun dan menjadi objek sejarah. Baik wisata sejarah lisan, objek wisata fisik dan banyak lagi objek lainnya yang masih terawat dengan baik. Wisata budaya, sejarah dan bahari merupakan hidangan terbaik sepanjang perjalanan setiap orang yang berkunjung ke Tidore.
Satu kutipan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai adat dan budaya” adalah bentuk jalan kehidupan dan menjadi ruh NKRI sebagai bangsa yang besar. Kekayaan ini menjadi nilai besar yang tidak dapat di tandingi dengan bentuk apapun, nilai-nilai dasar keharmonisan menggetarkan isi kepala setiap negara.
Tidore, menuju usia 1003 tahun, di 2021 ini masih melupakan sekelumit sejarah tentang perempuan-perempuan hebat, putri-putri terbaik Tidore yang memberikan kontribusi terbesar kembalinya Papua Barat ke pangkuan NKRI.
Sejarah Lisan Kampung Tua
Sejarah lisan yang di tuturkan oleh tetua dan tokoh adat yang ada di desa Bobo perkampungan tua Tongaru dan Toma Soho menjadi dasar penulis untuk mengangkat sekelumit sejarah yang bisa jadi terlupakan atau sengaja dilupakan oleh Kesultanan Tidore dan juga pemerintah Tidore. Yang saat ini seakan mendiamkan atau sengaja tidak terbuka tentang sejarah para perempuan terbaik, putri-putri pengalung bunga di leher Sukarno saat kedatangan pertama Soekarno di Tidore.
Tete Jaja (Thn 90an), sapaan Akrab tokoh adat di desa/perkampungan tua Toma Soho yang pada saat ini adalah bagian dari pada peradaban warga Bobo. (Sebelumnya menjadi bagian dari wilayah Tahisa Toloa), saat di wawancarai di perkampungan tua kurang lebih empat jam, Minggu (25/10 /2020), menceritakan banyak hal. Terkait sejarah warga Bobo, perjuangan-perjuangan, klan-klan dll.
Salah satu diantara cerita beliau adalah perempuan terbaik yang mengalungkan bunga di leher Soekarno.
Menurut beliau, informasi konsolidasi Irian Barat terakhir ini baru di ketahui dirinya. Tapi pada saat itu, kurang lebih tahun 1950-an ada perintah Sultan Zainal Abidin Syah untuk mencari orang-orang keturunan asli Tidore yang ciri fisiknya sama dengan orang papua demi kepentingan kembalinya Irian Barat ke NKRI. Cerita yang lainnya enggan diceritakan, dan penulis memaklumi faktor usianya.
Menurut keterangan lisan lainnya yang dihimpun, tahun 1960-an lah Sultan Zainal Abdin Syah sering berkunjung ke perkampungan tua Tongaru dan Toma Soho. Tutur para tetua, Sultan Zainal mengunjungi keluarganya dan menurut keterangan dari salah satu anak laki-laki perempuan pengalung bunga (Biji Negara), “Seringnya sultan Zainal Abidin Syah mengunjungi perkampungan tua, karena akan dibangun sekolah di desa/perkampungan tua,".
Hai inilah menjadi awal pemicu (konflik) karena ketersinggungan masayarakat Toloa atas rencana dibangunnya sekolah tersebut di Desa Tongaru.
Keterangan yang lain enggan di ceritakan dan menjadi rahasia hampir sebagian besar tokoh adat di Kelurahan Bobo. Untuk bagian sejarah tentang kunjungan Sultan Zainal ke Tongaru dan Toma Soho perkampungan tua serta warga Bobo nanti saya rangkum di satu bagian lain yang terpisah.
Perempuan Terbaik Tidore dan Penghargaan Biji Negara
Perempuan terbaik, putri-putri Tidore yang dimaksud Tete Jaja adalah Nenek Biji Negara. Nenek Biji Negara memiliki nama lengkap, Halima Jauhar (Alm). Lahir Tahun 1930 di perkampungan tua yang sampai sekarang dikenal sebagai Kampung Tongaru (Bobo). Kampung yang berada di daratan Kota Tidore yang saat itu masuk dalam wilayah kuasa/perintah Tahisa (Toloa). Kampung tua berjarak kurang lebih di ketinggian 5-6 kilometer dari pesisir pantai.
Perempuan yang biasa disapa Nene Biji Negara adalah salah seorang keturunan asli warga Bobo. Biji Negera adalah julukan yang berikan Soekarno pada Nenek Halima Jauhar. Sebab, dirinya mewakili Irian Barat untuk NKRI.
Keterangan Ahmad, anaknya “penyerahan Irian Barat ke NKRI bukan dari tangan Sultan Zainal Abidin Syah, melainkan dari tangan Ibu saya (Biji Negara) secara simbolis yang di tandai dengan sesi foto jabat tangan bersama Soekarno sebagai tanda kesepakatan Irian Barat dan NKRI menjadi satu,"tutur Ahmad mengingat cerita ibunya.
Dirinya juga dikenal sebagai sosok yang kuat, semangat didiknya terhadap beberapa lapis generasi masa itu. Nene Biji Negara, sosok perempuan yang telah dilupakan sejarah Tidore, merupakan orang yang mengalungkan Bunga di saat Bung Karno (Soekarno) mengunjungi Tidore dengan agenda konsolidasi pengembalian Irian Barat ke pangkuan NKRI
Menjelang kedatangan Sokarno di Tidore, menurut banyak sumber tertulis, Sultan Zainal Abidin Syah memerintahkan pejabat kesultanan untuk mencari putri-putri asli penduduk Tidore yang ciri fisiknya sama seperti masyarakat papua. Perintah ini dengan tujuan untuk memperkuat konsolidasi bahwa ada ikatan antara Papua dengan Kerajaan Tidore.
Saat itu, sumber lisan (Hamjen, tokoh Adat kel Bobo) mengatakan “Bobo adalah salah satu desa diantara desa lainnya yang menjadi desa tujuan pihak kesultanan Tidore mencari putri-putri pengalung bunga di leher Soekarno saat Soekarno datang nanti”.
Wanita pertama yang di jumpai pihak Kesultanan Tidore di Kelurahan Bobo (saat itu statusnya masih Desa), adalah (Alm) Nene Robo atau akrab disapa Nene Bo. Kemudian Nene Indah atau sapaan akrabnya Nene Iya. Selanjutnya, Nene Biji Negara (Halima Jauhar).
Halima Jauhar adalah salah satu diantara tiga orang yang ditemukan oleh pihak kesultanan di Desa Bobo, untuk selanjutnya dibawa mewakili masyarakat Papua pada kunjungan Soekarno.
Dari banyak keterangan yang di himpun penulis dengan rarasumber dengan rata-rata usia 70-90-an menuturkan, “Tiga orang wanita/putri ini telah memenuhi syarat dengan ciri fisik hampir sama dengan masyarakat Papua yang di maksudkan Sultan Zainal Abidin Syah".
Sehingga, mereka di seleksi agar mendapatkan kesamaan ciri fisik dengan masyarakat Papua oleh pihak kesultanan. Saat itu, Nene Bo dan Nene Iya tidak terpilih. Hal ini disebabkan ciri fisik Nene Bo berkulit hitam dan berambut keriting (ikal). Sedangkan Nene Iya (Nene Indah Hadi) memiliki kulit sawo matang dan rambut keriting”
Saat ditanya, Nene Indah, dirinya enggan memberikan keterangan (alasan) yang pasti tentang hal ini. Hanya dalam ingatan dia, Soekarno saat itu datang ke Tidore karena urusan Papua Barat.
Alasan mendasar kedua putri ini tidak terpilih karena tidak memenuhi syarat ciri fisik seperti yang diinginkan Sultan Zainal Abidin Syah. Biji Negara lah salah satu puteri yang telah memenuhi syarat dan punya ciri fisik sama dengan masyarakat papua. (Keterangan Nenek Indah pada Senin 29/07/2020. Salah satu saksi yang masih bisa memberikan keterangan tentang pihak Kesultanan mencari orang Tidore asli dengan ciri fisik tersebut sama seperti ciri fisik orang Papua).
Sebagai masyarakat adat Kesultanan Tidore, Nene Biji Negara selalu tunduk kepada perintah Sultan sebagai tokoh di Kesultanan Tidore. Nene Biji Negara di panggil ke Kesultanan dan diberikan latihan atau semacam protokol bagaimana cara mengalungkan bunga pada sosok Presiden RI pertama ini.
Namun, nasib hidup Biji Negara dan kedua temannya dari desa Bobo tidak seberuntung salah satu wanita yang katanya saat itu juga merupakan putri pengalung bunga saat Soekarno pertama tiba di Tidore sebagaimana yang di lansir Jpnn.com (rabu 19 April 2017).
Puteri Cantik ini juga pernah diundang Sultan Husain Syah saat perayaan hari jadi Kota tidore yang ke 909 tahun
Menurut keterangan sebagian besar warga, ada penghargaan yang diberikan kepada Nenek Biji Negara. Hal yang sama juga disampikan anaknya sendiri, Ahmad.
“Nene Biji Negara (Ibu saya) diberikan Penghargaan oleh Soekarno dengan Nama Biji Negara. Semua keluarga, warga Bobo dan orang Tidore mengetahui dan menghargai itu sebagai bukti sejarah yang saat ini sengaja di tutupi oleh pihak tertentu”
Sekilas tentang mereka yang telah dilupakan atau sengaja digelapkan sejarahnya oleh pihak Kesultanan. Hingga saat ini, nasib Nene Biji Negara dan kedua temannya hanya menjadi lembaran sejarah yang tersimpan rapi menuju lapuknya usia sejarah Kesultanan Tidore
Nenek Biji Negara, Sang Guru
Nene Biji Negara dikenal dalam keluarganya adalah sosok cerdas dan sangat keras. Pekerja keras sama seperti perempuan lainnya di Desa Tongaru saat itu. Masa Mudanya di perkampungan Tongaru, dihabiskan untuk belajar mengajar. Dia sosok guru yang mengajarkan banyak anak-anak di Tongaru cara menulis dan cara membaca.
Dirinya juga dikenal sebagai sosok yang mencintai sejarah. Dia mengabdikan diri semasa hidup di desa Tongaru dengan belajar sejarah. Mencari kebenaran, fakta dll hingga dirinya wafat.
Ia terhitung, dua kali melakukan perjalanan ke Raja Ampat. Konon menurut tutur beberapa sumber lisan dan keterangan anaknya sendiri, keluarga Nene Biji Negara sebagian ada di wilayah Papua setelah Irian Barat kembali ke NKRI
Selain itu, tiga kali melakukan perjalanan ke Jakarta pada masa Megawati sebagai Presiden. Perjalanan ke Jakarta dengan tujuan bertemu Megawati. Hanya saja sampai yang ketiga kalinya, Nene Biji Negara sempat bertemu dengan Megawati anak Soekarno tapi tidak ada kesempatan untuk mengobrol lebih banyak tentang wasiat yang telah disampaikan oleh Bung Karno kala itu.
Pengakuan Nenek Biji Negara dikisahkan anaknya “selain mengalungkan bunga di leher Soekarno, dirinya juga menggendong (Guntur Soekarno Putera) anak Soekarno saat kunjungan tersebut. Mengikuti banyak kegiatan yang dilakukan Soekarno saat masih berada di Tidore. Dari sinilah, dirinya merasa sangat dekat dan menjadi bagian dari kelurga Soekarno”
Nene Biji memiliki 6 orang anak, 2 anak laki-laki dan 4 anak perempuan hasil pernikahan Nene Biji Negara dengan suaminya Sahria Lacing. Mereka hidup di desa Tongaru. Saat itu kehidupan di Desa Tongaru dan Toma Soho adalah peradaban besar menurut tutur anaknya.
Sebab, banyak sumber lisan, kedua desa ini dan beberapa desa lainnya sebagai kampung tua desa Bobo sudah ada sejak ratusan tahun. Hal ini di buktikan dengan peninggalan sejarah seperti gubuk bekas rumah, bekas persembunyian, tempat ritual kepercayaan, sumur tua dan masih banyak lagi.
Pada saat orde baru berkuasa Soeharto sebagai Presiden ke Dua NKRI, terjadilah peristiwa pembersihan Komunis, PNI, Marhaen dan antek-anteknya. Di Tidore sendiri, peristiwa itupun dirasakan oleh para orang tua di perkampungan tua Tongaru dan Toma Soho.
Menurut keterangan, di perkampungan tua ini menerima PNI sebagai partai dan terjadilah ketersinggungan oleh Masyumi. Awal mula peristiwa Ganyang adalah bagian dari pembersihan Fanatik Soekarnois dan lain sebagainya.
Bukan hanya warga Bobo yang ada di Desa Tongaru, Nenek Biji Negara dan keluarganya juga menjadi salah satu korban bulanan keganasan peristiwa pembersihan masa orde baru. Peristiwa sejarah itu di kenal dengan nama Peristiwa Ganyang PNI pada tanggal, 11 oktober 1969 pagi, Oasca Ganyang di Kota Soasiu tanggal 5 oktober 1969.
Peristiwa Ganyang PNI tersebut begitu kejam. Namun, Nene Biji Negara merupakan salah satu dari penentang orang/kelompok yang melakukan Ganyang di desa Tongaru. Hal ini dibenarkan Ahmad Sarif, lahir 11 Oktober 1969 yang merupakan anak laki-laki keempat Nenek Biji Negara.
Menurut tutur Ahmad Sarif, Ibunya (Nenek Biji) menceritakan padanya kalau “aku (Ahmad sarif) saat itu masih dalam kandungan dengan usia kandungannya 9 bulan. Padahal, sangat berisiko untuk kandungannya perempuan tangguh yang satu ini. Namun dirinya tidak kenal menyerah. Alhasil, kejadian perlawanan atas peristiwa itu, ibu saya terkena lemparan batu yang mengenai perut dengan usia kandungannya sembilan bulan”
“Tanggal 11 Oktober merupakan hari bersejarah buat kami, karena paginya peristiwa Ganyang PNI dan sore hari tanggal 11 oktober 1968 itu, ibu melahirkan saya. Jadi sangat berkesan," tutur sang Ibu yang diingat Ahmad.
Dari penggalan sejarah yang penulis maksud adlaah bahan dan juga sebagai referensi dasar maupun rujukan untuk mulai menulis perjalanan perempuan tangguh. Perempuan hebat di sejarah Tidore pada masa itu meskipun dengan keterbatasan baik itu referensi dan juga bukti lainnya. Tujuan lainnya dari penulis adalah bermaksud untuk mengabarkan kepada hati Nurani Tidore yang sejauh ini tidak menghargai sejarah sebagai landasan perjalan peradaban.
Selain itu, masih banyak hal lain yang ingin di sampaikan oleh penulis, baik itu bukti sejarah kampung tua yang masih bisa dijangkau hingga saat ini, dan juga cerita-cerita dari tokoh adat dan tokoh masyarakat tentang perjalan dan perang penjajahan serta lain sebagainya yang akan kami rangkum pada bagian yang terpisah.
Semoga, hati nurani Tidore tersentuh dengan sekelumit sejarah yang terkubur atau sengaja dikubur (digelapkan) agar anak cucu di Kelurahan Bobo tidak mengetahuinya. Sejarah panjang ini, adalah sejarah kita, bukan sejarah siapa-siapa.*