Oleh : Fauji Yamin
Berkibarlah bendera ku, sang Saka Merah Putih. Menjulang tinggi, setinggi tiang sederhana dari bambu bercat putih. Lagu kebangsaan dinyanyikan dengan bangga dan berapi-api lewat bibir-bibir orang desa.
Di lapangan sederhana ini- tak rata, setengah berumput, dikelilingi pepohonan kelapa, dan penjagaan ketat lautan yang mengapit--menjadi saksi kehikmatan, kejayaan, dan harapan atas kemerdekaan.
Penghormatan, penghayatan dan pendalam dalam beberapa menit ini membangkitkan nasionalisme yang tertanam teguh dalam jiwa. Sekenyang atau selapar-laparnya jiwa itu, nasionalisme tak kenyang tak jua lapar. Ia kekal abadi, mengakar.
"Rasa-rasanya, dalam setiap peringatan hari Kemerdekaan, bulu kuduk selalu bangkit beriringan dengan nyanyian lagu Indonesia Raya yang menggema seiring Sang Saka Merah Putih dikibarkan. Waktu seperti terhenti dan tunduk hormat atas pejuangan-perjuangan,"celetuh Wandi, anak desa lulusan perguruan tinggi.
Deburan ombak manja pada tubir pasir, disertai angin yang berlahan berhembus kami nikmati sehabis upacara tadi. Duduk kami di atas talud memandangi luasnya lautan dan cakrawala yang menggantung.
Dalam hidup kami, laut, pesisir, dan peradabannya bukanlah perkara asing. Senggama cakrawala telah kunikmati beribu kali-lipat. Langit-langit yang menggantungkan aksara berjibun sudah dalam penglihatan.
Ombak, buih, dan karang telah menjadi kesatuan, setia mengawal pengetahuan. Pasir dan deburan ombak abadi saling merayu. Tak ubahnya dua insan kekasih yang di mabuk cinta
Diantara kami, hadir pula anak-anak sekolah. Masih berpakaian lengkap, kerah mereka diangkat keatas seperti gaya Elvis Presley, topi dibalikan dan baju tak dimasukan. Gaya anak keren anak sekolah di desa.
"Tentang Kemerdekaan, apa pandanganmu?" balasanku padanya.
"Lebih-lebih, kemerdekaan adalah kebebasan. Harkat dan martabat bangsa dan orang-orang di dalam bangsa yang bebas hidup dari penjajahan. Bebas hidup, tinggal, makan dan bekerja," cetusnya.
Duduk kami menyimak lelaki berkulit sawo matang, berambut ikal, dan bermata kecoklatan ini. Pria bangsat oleh anak desa disebut sebagai pemburu pengetahuan dari sejak lahir.
Bagi mahasiswa ia guru yang bijak. Mampu menalangi kekisruan pikir yang mereka ciptakan. Bagi masyarakat, ia belumlah apa-apa, lantaran tak punya jabatan atau status sosial yang jelas, walau pendidikannya melewati semua capaian anak desa.
"Namun kemerdekaan sesungguhnya masih meninggalkan pekerjaan rumah. Bukan secara de facto atau de jure, melainkan bagaimana makna kemerdekaan itu dijalani sebagai sebuah negara. Masih banyak perkara tabuh dan sering menjurus pada narasi kita belum merdeka akibat ketabuhan itu,"
Benggong kami atas penjelasannya. Siswa-siswa SMA yang sedari tadi hadir tak mampu bersuara. Diam seribu kata. Penafsiran ini, mungkin masih jauh buat mereka.
"Lantas apa sajakah itu, bagikan pada kami. Kepada anak desa seperti kami yang buta pandangan luar," desakku.
"Baiklah, aku ceritakan,".
Ia pun bercerita........
Udara, laut, dan darat adalah bonus kemerdekaan atas usaha gigih para pejuang. Jika saja kita belum merdeka, mungkin aku, kamu, dan kita hanyalah babu di desa yang bekerja memanen cengkeh untuk kompeni; VOC. Kalau-kalau aku bersikeras, penjara atau mati adalah pilihan yang keduanya tak mengenakan.
Bersukurlah kita, generasi belakangan. Penikmat hasil kemerdekaan. Kita bisa melakukan apa saja. Sekolah misalnya, bisa kita nikmati tanpa harus melukai status sosial atau melapor ke keresidenan atau gubernur wilayah. Itupun kalau-kalau aku, kita, adalah anak orang berpengaruh.
Dan, aku telah melewati berbagai perjalanan dalam berkah umurku. Berkah dari Tuhan dan kemerdekaan yang diraih dengan darah pejuang. Bebas dari penjajahan kolonial dan ku bebaskan kaki melangkah ke mana maunya pikir dan hati.
Aku berulang kali melewati jalanan tol yang menghubungkan Pulau Jawa. Jalanan yang memberikan ku sebuah pandangan atas pekerjaan rumah buah kemerdekaan.
Di sepanjang itu, terhampar luas dan sangat luas daratan produktif yang ditanami berbagai macam komoditi pertanian. Kiri-kanan, terhampar hijau padi-padi yang tumbuh. Kemudian terhampar juga padi-padi yang menguning.
Luasan lahan tak mampu diukur sejauh mata memandang. Jika aku berdiri di ujung satunya, maka tak akan ku kenali siapa yang berada diujung satunya. Satu-satunya yang bisa kulihat adalah sosok orang yang nampak kecil dari kejauhan.
Aku juga tak bisa menduga-duga, seberapa besar luasan lahan-lahan ini walau data-data luasan lahan banyak dikeluarkan oleh pemerintah. Padi mengisi hasta demi hasta lahan-lahan ini. Bahkan dipinggir rumah petani sekalipun.
Namun aku menyadari sebuah kondisi, kenapa kita tidak merdeka dalam pangan. Kenapa pula beras-beras harus diimpor per tahun dari Thailand dan negara lain untuk mencukupi kebutuhan dan ketahanan pangan kita?
Aku mengkaji dan menyadari begitu rumit persoalan pertanian kita. Produktivitas, efisiensi, regenerasi petani, tanah yang sakit, pertanian presisi, penerapan teknologi, kelembagaan, permodalan hingga sampai kepada kesejateraan petani yang jauh dibawa standar.
Bahasa ilmiah akademis itu menjadi sarang persoalan yang tak ada habisnya. Petani misalnya, bekerja untuk ladang milik tuan-tuan pemilik. Mirip seperti sebelum kemerdekaan.
Hamparan luas lahan ini juga aku temukan beralih fungsi. Aku sering melihat, sawah digaruk alat berat untuk pembangunan pabrik, jalanan hingga kepentingan pemodal yang ambisisus merealisaikan rencananya.
Ada banyak konflik yang melibatkan hak dan kewajiban pemilik, petani yang tercuri. Kalah mempertahankan miliknya dan merelakan jatuh ke tangan tuan-tuan besar.
Tebu-tebu juga tertanami dengan banyak. Aku melihat itu, hampir-hampir tidak pernah kulihat tebu sebanyak ini dalam hidup.
Namun perkara banyak menjurus pada kenapa kita selalu kalah pada produknya yang selalu kita impor. Impor-impor yang banyak juga memakan korban akibat korupsi.
Aku tahu setelah ku selidiki. Komoditi dan bisnisnya satu ini juga punya "kekuatan" tersembunyi. Gula begitu sangat sensitif bahkan untuk di teliti, kata kawan ku dulu yang meneliti perihal perdagangan gula.
Apakah pemerintah tidak tahu itu? Pemerintah sangat tahu. Semua pihak tahu. Semuanya sudah mendiagnosis penyakitnya. Namun kebijakan kita selalu salah sasaran.
Mau mengurus apa duluan selalu tumpang tindih. Sementara riset perguruan tinggi sebagai saran tak juga digunakan. Kalah sama Thailand yang menjadikan perguruan tinggi dengan risetnya sebagai dewa kebijakan. Kita, otak kita, otak mahasiswa, dosen, profesor kadang berakhir di tempat pembuangan sampah.
Satu-satunya fokus hanya menggenjot produktivitas sebagai wujud agregat guna dibanggakan dalam data capaian kinerja. Sementara lainnya, terbiarkan begitu saja.
Mari kita beralih ke laut. Kalian lihat hamparan laut di depan desa kita ini? Seberapa besar potensi yang dihasilkan oleh ciptaan Tuhan ini bagi keberlangsungan manusia? Sangat besar.
Aku juga tertarik soal ini. Dan telah ku kaji berkali-kali. Laut kita, Indonesia, yang menciptakan nenek moyang pelaut handal juga menciptakan ekonomi bagi negara. Perikanan.
Data-data menujukan, potensi perikanan kita sangatlah besar. Bahkan menjadi juara beberapa komoditi dalam ekspor. Namun tahukah kalian siapa yang memiliki itu semua? Kita ataukah nelayan? Tentu bukan dua-duanya, pemodal, penguasa dan punya kuasalah kepunyaan isinya.
Lewat modal dan kekuasaan atau merayu penguasa mereka mendirikan perusahan-perusahaan besar dengan bekengan kuat. Membeli dari nelayan dengan harga rendah dan menjual dengan harga tinggi, ke Eropa atau ke luar negeri sesuai tujuan bisnis.
Sementara nelayan, hanyalah simbol pembahasan kesejahteraan. Tak punya modal, tak punya kuasa tak punya power. Narasi kesejahteraan sekalipun di lumbung ikan tak jua dirasakan. Hidup berhutang bergantung dan tercekik.
Perikanan dikuasai mafia-mafia, layaknya peternakan. Sedikit diganggu, maka gelombang kekuatan besar akan mengamuk. Pun dengan kehutanan dan segala isinya di dalam tanah.
Lihat saja negeri ini, dikepung pertambangan yang eksklusif. Bahkan untuk masuk dan melihat-lihat saja, penjagaan begitu ketat. Salah-salah jadi korban.
Pertambangan merajalela. Tanah-tanah digerus oleh alat-alat berat yang canggih. Hutan dibabat habis, gundul di mana-mana. Menciptakan abrasi, memengaruhi udara, darat hingga laut. Banjir, longsor, pencemaran udara, air menjadi sederet masalah yang menjadi keseriusan semua pihak. Kita mengurus hal-hal berefek dan membiarkan asalnya terus disakiti.
Konflik lahan tak luput mengikuti. Pecah di mana-mana. Namun apa daya kekuatan bukan milik orang-orang atau masyarakat karena semua punya negara. Bisa diberikan kepada siapapun untuk mengolah.
Sudah begitu, hasilnya hanya persenan kecil buat negara. Sisanya, lari keluar, ke kantong-kantong pemodal atau ke bank-bank luar. Persenan yang dibanggakan lagi-lagi sebagai agregat penguat pertumbuhan ekonomi.
Apakah pemerintah, pihak-pihak tidak tahu itu? Mereka tahu namun sekali lagi, tak ada obat pasti dari mana harus memulai. Pikir-pikirku, mungkin akibat penguasa kita selalu bisa disediakan sarapan oleh pengusaha; pemodal.
Tuan-tuan pemodal rupanya terlalu berkuasa. Pikirku kemerdekaan akan menghapus kesewenangan tuan-tuan. Ternyata tidak. Justru memperkuat posisi tersebut. Aku skeptis, jangan-jangan kemerdekaan ini rupanya untuk mereka dan bukan untuk rakyat.
Coba kalian hitung, seberapa banyak orang kaya paling paling kaya di Indonesia? Tak bisa menjawab? Hanya sedikit dan setiap tahun hanya mereka yang berlomba dalam peringkat menjadi orang terkaya. Seperti memburu peringkat di sekolah. Itu-itu saja. Aku tak ingin membahas lebih.
Cukuplah sudah aku bercerita. Aku cukupkan sampai di sini. Moga-moga, kedepan jika kalian menjadi penguasa janganlah takluk pada yang punya kekuasaan, punya duit yang membikin kehancuran pada negeri.
Kita harus merdeka mendesain. Merdeka mensejaterahkan rakyat, merdeka melindungi. Seperti aku yakin, kemiskinan tak bisa diberantas karena sudah mengakar, tapi tidak bisakah miskin bisa sarapan roti tiap hari? Dan bukan mengais koin satu demi satu untuk makan. Atau mengikat perut semalam dua marlam karena tak makan.
Cukuplah. Ini tanggung jawab kita semua. Dan ini hanya pemikiranku. Kalian boleh ambil mana baiknya. Buah buruknya. Sebagai penghuni bangsa dan negeri yang merdeka, penjajahan belum usai, seperti kata Bung Karno.
*
Ia mengakhiri ceritanya ketika matahari sudah memuncak dan hembusan angin pantai tak lagi menyegarkan. Petanda mereka ikut geram atas kebiadan, kesoktahuan obrolan ini.
Kami pulang. Kembali ke rumah masing-masing.
Mungkinkah kita sudah terbebas dari penjajahan? Kenapa rahmat Tuhan pada alam hanya membikin kaya beberapa orang atau kelompok? Ke mana uang mereka?10 persen saja dari kumpulan orang itu aku rasa bisa mengatasi semuanya, kemiskinan, pembangunan, pendidikan, kesehatan dll.
Ah sudahlah...Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia ke 77.
Artikel sudah pernah tayang di Kompasiana dengam Judul : Kemerdekaan Bagi Tuan