-->
    |


Tak Mudah Menjadi Pemuda ( Re-definisi Nilai kebebasan Kaum Intelektual)

 


Oleh : RISMAN TIDORE

Pemerhati kebijakan publik & civil society

Pemuda adalah kekuatan. Demikianlah kata para pemimpin besar di forum formal dan informal. Dan kekuatan yang dimiliki kaum pemuda bukan terbatas pada kecukupan otot secara fisik akan tetapi kekuatan kaum muda adalah kemampuan intelektual, semangat inspirasi, kreativitas, karya besar, simbol pencapaian, ketegaran, kesegaran, dan energi yang mampu menjadi penopang kemajuan bagi suatu bangsa. 

Dalam pengertiannya, pemuda menurut UU nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. 

Pengertian diatas sejalan dengan pendapat ahli psikolog John P. Dworetzky, yang menyebutkan bahwa perkembangan fisik seorang individu di usia dewasa awal akan mencapai puncak kekuatannya berada pada usia 30 tahun. Dimana beberapa organ tubuh akan mencapai pertumbuhan besar dan berat antara usia 20 tahun sampai 30 tahun. 

Pada fase inilah keberlimpahan kekuatan dari eksistensi pemuda khususnya kemampuan atau kecerdasan intelektual (intellegence) yang menurut bahasa berarti 

pemahamaan, kecepatan dan kesempurnaan sesuatu, yakni kemampuan dalam memahami sesuatu secara cepat dan sempurna. Dari pengertian tersebut, tampaklah bahwa kecerdasan bukanlah sesuatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatu karya ilmiah untuk mendeskripsikan perilaku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual seorang pemuda. 

Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi privilege atau hak istimewa yang dimiliki pemuda sehingga kepeloporan pemuda yang dikenal sebagai aktor perubahan (agen of change) dimana pemuda memiliki peran dan tanggungjawab besar untuk keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara. 

Berkenan dengan kemampuan intelektual kaum muda, Profesor linguistik sekaligus penulis ternama Avram Noam Chomsky menerbitkan sebuah buku yang berjudul "The responsibility of intellectual" yang jika dialihbahasakan menjadi tanggung jawab intelektual yang ditulis dan diterbitkan pada tahun 2017 silam. 

Buku ini juga memiliki senyawa atau satu garisan napas dengan buku yang ditulis oleh Edward Said yang berjudul peran intelektual, karena tanggung jawab dan peran merupakan satu hal yang berkelindan. Dimana kaum intelektual dipersonifikasi sebagai garda terdepan atau aktor sosial yang memiliki serta menggunakan akal-intelektualnya untuk hajat hidup orang banyak. 

kehadiran buku ini juga adalah sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan amerikan yang pro perang sekaligus sebagai auto kritik terhadap kaum intelektual yang mengaminkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro perang.

Jika meminjam istilah dari Edward Said, kaum intelektual dibagi atas dua yang pertama adalah intelektual tradisional dan intelektual organik. Dimana intelektual tradisional adalah mereka yang memiliki gelar akademik yang mendistribusikan pengetahuannya di ruang-ruang kelas atau dalam hal ini seperti dosen guru dan lain sebagainya.

Sementara intelektual organik adalah mereka yang memiliki karunia untuk membangkitkan daya nalar kritis orang lain untuk menguniversal kan kriris dengan tujuan menciptakan suatu kelompok masa dan juga mengungkapkan kebenaran dalam hal ini kebenaran yang bersifat universal. 

Untuk mendemarkasi hal tersebut filsuf antonio Gramsci kemudian mendefinisikan Intelektual organik sebagai seorang yang sifatnya profesi atau individu tidak tercerabut dari akar sosialnya. Jika dikomparasikan antara intelektual intelektual tradisional dan organik ke dalam habit dan adab Jika intelektual tradisional itu bertumpu pada kebiasaan apa yang dilakukan setiap hari sementara intelektual organik bertumpu pada adanya kesadaran kritis terhadap sesuatu yang harus diubah setiap harinya sehingga intelektual organik adalah mereka yang merupakan garda terdepan terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. 

Itulah perwujudan sederhana dari kaum intelektual. Seperti kata Yudi Latif dalam bukunya mata air keteladanan kita sebenarnya tidak pernah kering terhadap sosok teladan misalnya jika kita rujuk Indonesia seperti soe hok gie sebagai sosok intelektual pra excellent yang konsisten menjaga jarak dengan kekuasaan begitupun Soekarno misalnya pada rezim hindia-belanda. 

Seperti yang disebutkan diatas bahwa seorang intelektual itu selalu harus berjarak pada Kekuasaan dalam artian meskipun tidak selamanya intelektual itu selalu opposan (oposisi) misalnya jika kita merujuk pada qoutes agung seorang Lord Acton, "Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely" yang artinya kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut sudah pasti korup. 

Maka, lebih lanjut misalnya Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa didiklah masyarakat dengan organisasi dan didiklah pemerintah dengan kritik sehingga tugas parab intelektual itu adalah menciptakan atau bahkan mengorganisir sebuah masyarakat yang kritis supaya jalannya pemerintahan selalu dapat terkontrol.

Karena kita tidak dapat berharap sepenuhnya hanya kepada wakil rakyat tentunya. Hal ini kemudian mendasari Soe Hoe Gie yang mengucapkan kalimat monumentalnya yaitu Lebih baik saya diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. 

Sikap Gie menjadi relevan dengan prinsip yang dikemukakan Edward Said bahwa lebih baik menjadi intelektual yang amatir tapi sadar daripada menjadi intelektual profesional tapi tunduk pada relasi sosial atau kekuasaan.

Sebab karakteristik dari seorang intelektual yang paling utama adalah lantang dalam menyuarakan kebenaran meski kebenaran itu datang dari penguasa dalam artian. Jika kebenaran itu tidak di amplifikasi oleh penguasa maka kaum intelektual adalah orang pertama yang harus menggonggong ketidakbenaran tersebut bahkan kaum intelektual harus berani melakukan otokritik terhadap argumentasinya sendiri. 

Dan yang kedua, dosa terbesar dari seorang intelektual ketika ia diam terhadap penindasan kalau kita berbicara intelektual maka kaki kata dasarnya adalah pengetahuan dan kemerdekaan maka seperti kata Dann Brown dalam novelnya Inferno neraka terdalam bagi mereka yang diam ketika terjadi krisis moral.

Yang perlu kita pahami juga konsekuensi dari seorang intelektual yang Progresif adalah adanya apa yang oleh Daniel dekade dalam buku Benedict Anderson Imagine community sebagai intelektual Abortus seperti namanya Abortus itu aborsi yang artinya intelektual abortus adalah intelektual yang dipotong oleh otoritas makanya kita tahu beberapa orang yang kritis yang tipis pasti dipotong sama senior beberapa dosen yang kritis pasti akan ada di asingkan oleh kampus, maka kita kemudian mengenal apa yang disebut sebagai kaum ekspatriat atau mereka yang selalu di asingkan atau mereka yang selalu dimarjinalkan. 

Untuk itu, hari sumpah pemuda yang ke-94 tahun adalah sebuah pengingat sejarah yang menandakan perjuangan yang bukan hanya semata-mata kemerdekaan bangsa dari penjajahan fisik dan politik tapi lebih dari itu, nilai-nilai universal tentang kemerdekaan pemuda adalah kebebasan absolut untuk terus berkarya dan berdinamika intelektual untuk keberlangsungan peradaban hidup yang bebas dan universal. 

Selamat Hari Sumpah Pemuda! 

Tidore, 28 Oktober 2022

Komentar

Berita Terkini