-->
    |


Emas di Perut Bumi dan Luka di Wajah Rakyat : Tagihan Pertama yang Harus Dibayar

 

Penulis : 

Hairil (Pemuda Keluarahan Bobo, Tidore)

 Maluku Utara kini dielu-elukan sebagai kisah sukses hilirisasi nasional. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung pernah menegaskan bahwa provinsi ini telah bertransformasi dari sekadar pengekspor bijih mentah menjadi produsen strategis nikel dan kobalt, komoditas vital untuk baterai kendaraan listrik.

Dengan investasi Rp 55 triliun pada Januari-September 2024, ekonomi Maluku Utara melonjak hingga 20,49% pada 2023, bahkan lebih dari 24% di 2022. Di atas kertas, ini prestasi mengilap. Namun, di balik angka - angka itu, ada tanya besar: siapa yang sebenarnya menuai hasil dari "sukses" ini, Rakyat, atau Korporasi Tambang?

Ketakutan kita semua tentu sama, jangan sampai gencar fokus pada tranformasi dan mengenyamping dampak-dampak serius seperti yang dialami Raja Ampat saat ini. Terlu serius sampai kita semua lupa hal mendasar  tentang dampak negatifnya lainya yang lebih besar tapi belum nampak di permukaan.

Ruang Hidup, Hak Hutan, Sejarah Panjang dan sejumlah problem lain akan bertekuk lutut kalau kita saat bicara perihal hilirisasi nasional. Tiga hal utama yang harus dikontrol secara penuh dan masif sosialisasinya adalah perkara dampak negatifnya, apalagi bicara tentang dampak ekonomi, sosial atau lingkungan. Ketiga hal ini, sudah lihat dan alami sama-sama, terutama daerah terdampak disekitar wilayah pertambangan.

Dilansir CNBC Indonesia, 3 Juni 2025, Wamen ESDM Yuliot mengingatkan pentingnya keterlibatan pelaku usaha lokal dalam proyek hilirisasi. Ia menekankan bahwa setiap investasi yang masuk seharusnya wajib melibatkan pelaku usaha di daerah, agar tidak memperparah ketimpangan ekonomi.

Ada ketegasan Wamen ESDM Yuliot yang perlu kita pahami jauh lebih dalam, bahwa jangan itu hanya yang besar masuk tanpa keterlibatan pelaku usaha di daerah yang akan menjawabkan semakin timpangnya kondisi ekonomi yang ada di daerah.

Hail ini sangat penting buat kita semua, bahwa keterlibatan pelaku usaha merupakan salah satu dari sekian banyak indikator kalau kita bicara tentang pemerataan ekonomi. Secara eksplisit, hemat saya, ketimpangan ekonomi - meskipun digencar dengan berbagai program pengentasan atau semacam itu- tanpa partisipasi dari pelaku usaha, semua kondisi tersebut akan lamban/bahkan mustahil mencapai titik puncaknya kestabilan pemerataan.

Di tengah sorak-sorai statistik makro ekonomi, saya pikir, Maluku Utara bukan hanya tampil bak bintang panggung ekonomi nasional. Maluku Utara secara seksama membuka diri menerima efek hitam dari nyanyian tranformasi tersebut.

Dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 yang meroket ke angka 34,6%, Provinsi ini seolah menari di atas panggung kemakmuran, memamerkan lekukan tubuh yang membuat banyak pihak terkesima. Kalau Maluku Utara pada suatu pentas panggung, terlihat wujudnya sedang perlihatkan keberanian dengan memaerkan kilau logam nikel sebagai mahkota kebanggaannya. Tapi, di balik sorotan lampu sorak dan angka-angka gemilang ini, terselip jeritan pelan rakyatnya yang masih bertahan hidup dalam skenario distopia pertambangan.

Maluku Utara kini bukan hanya wilayah administratif di ujung timur negeri. Maluku Utara telah menjelma menjadi ladang tambang bernilai triliunan rupiah. Negeri kita, kini berdiri sebagai jantung logistik bagi mimpi global kendaraan listrik. Tak tanggung-tanggung, negeri dengan luas 319.982 KM2 ini dikepung 127 IUP dengan  62 IUP bergerak di komoditas nikel dengan luas konseksi nikel mencapai 239.737,35 Hektar 

Pertanyaan fundamentalnya adalah siapa yang benar-benar menikmati pesta ekonomi ini? Siapa yang memegang sendok saat kekayaan dikocok dalam panci pertumbuhan?

Bagi saya, Gubernur Sherly Tjoanda tak menutupi realitas getir ini. Di tengah parade angka ekonomi yang menggiurkan, Sherly justru membuka tabir bahwa rakyat Maluku Utara masih hidup dalam bayang-bayang standar hidup yang rendah. Bagai rumah megah dengan fondasi rapuh, provinsi ini berdiri gagah di luar, tapi berderak di dalam. Dalam kata-katanya yang jujur dan tajam : "Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika rakyat Maluku Utara masih hidup dengan standar hidup yang kurang baik?"

Pertanyaan itu seharusnya menjadi sirene bagi para pemangku kepentingan, bukan sekadar kutipan manis untuk headline media. Maluku Utara menyumbang 40% ekspor nikel nasional—angka fantastis yang membuat para investor global bersorak sambil menggosok tangan. Tapi rakyat lokal justru disuguhi air sungai beracun, udara berjelaga logam, dan lahan-lahan mati yang tak bisa ditanami lagi. Ironi macam apa ini? Negeri yang menopang energi masa depan dunia, justru tak sanggup menyalakan lentera kecil di rumah warganya.

Saya punya dua hipotesa terkait meroketnya angka pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya tolak ukur kesejahteraan di Negeri kita yang kaya akan Sumber Daya Alam.

Pertama : Pertumbuhan ekonomi tinggi di daerah kaya sumber daya alam seperti Maluku Utara bukanlah satu-satunya indikator kesejahteraan masyarakat. Ada banyak indikator lainnya jika tidak terukur maka pertumbuhan ekonomi hanya cermin dominasi oligarki ekstraktif yang menukar keseimbangan lingkungan dan hak hidup rakyat di Maluku Utara demi grafik naik pada layar presentasi investor.

Kedua : Model pembangunan berbasis industri tambang di Maluku Utara bukan solusi berkelanjutan, tapi jebakan jangka panjang yang menyamar sebagai berkah, meninggalkan generasi masa depan dengan tanah rusak, laut mati, ikan tercemar dan keterampilan yang usang di tengah dunia yang bergerak ke arah kecerdasan buatan dan teknologi hijau.

Dua hipotesa ini bisa diuji lebih dalam, jelas fokusnya adalah upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dalam tafsiran yang sangat spesifik. Tetapi, tentang pertumbuhan ekonomi ini, bukan hanya kesejahteraan masyarakat yang kita tinjau, kesejahteraan lingkungan juga perlu mendapatkan perhatian serius.

Gubernur Sherly, saat ini mencoba meretas pola pikir lama. Ia bicara tentang transformasi dari nelayan menjadi pengembang AI, dari petani menjadi arsitek masa depan. 

Tapi ini bukan dongeng startup yang bisa diakhiri dengan modal dan pitch-deck. 

Perubahan ini butuh lebih dari sekadar niat baik, perubahan memerlukan reformasi struktural. Gubernur Sherly tentunya, paham betul soal langkah taktis mendesain model perubahan pada wilayah pemerintahannya yang ia pimpin. Infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan teknologi, semuanya harus dibangun serempak, bukan dikeruk dengan rakus dan ditambal setelah bencana datang.

Kita lihat komponen IPM pada empat dimensi mengalami mengalami peningkatan secara statistik. Di Maluku Utara, (data BPS Provinsi Malut) 2023, selama periode tahun 2020 hingga 2022 semua dimensi baik dimensi kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan taraf kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak penduduk di Maluku Utara semakin membaik.

Secara statistik, IPM merupakan bagian terpenting dari barometer kesejahteraan. Tapi kenyataan di lapangan, robekan-robekan kesejahteraan disertai ketidaksejahteraannya lingkungan menandakan bahwa Maluku Utara masih punya problem krusial yang harus ditemukan metode penyelesaiannya untuk menopang esensi dari strategi nasional Hilirisasi.

Sayangnya, kita hidup di republik di mana pertumbuhan ekonomi sering dijadikan kembang api untuk mengaburkan gelapnya ketimpangan terutama di daerah yang punya potensi SDA-nya. Maluku Utara kini seperti kapal Titanic yang megah, tapi sudah menabrak gunung es sosial dan ekologis. Penumpangnya bernyanyi riang di dek atas, sementara ruang bawahnya perlahan terisi air kerusakan yang mengganas.

Kita lihat lagi data BPS Malut 2023, Meskipun sempat mengalami perlambatan sebesar 0,86 persen jika dibandingkan dengan tahun 2019. Kemudian pada tahun 2021 pertumbuhan ekonomi Maluku Utara melesat tajam mencapai 16,79 persen. Hal ini membuat Maluku Utara menjadi provinsi dengan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia pada tahun 2021. Pada tahun 2022 pertumbuhan ekonomi Maluku Utara kembali mencatatkan pertumbuhan yang tertinggi dengan persentase sebesar 22,94 persen.

Menurut Laporan Perekonomian Bank Indonesia (data BPS Malut) pada bulan Februari 2023, tingginya pertumbuhan ekonomi Maluku Utara pada tahun 2022 ditopang oleh masifnya pertumbuhan ekonomi sektor pertambangan dan penggalian serta industri pengolahan sejalan dengan terus bertambahnya jumlah smelter yang diikuti dengan optimalisasi produksi, serta pengaruh dari tren positif harga nikel dunia sepanjang tahun 2022.

Melihat peluang pertumbuhan ini, Gubernur Sherly mengajak untuk membangun industri yang bukan hanya tentang keuntungan, tapi juga tentang tujuan, semoga saja semua itu bisa terwujud. Ia melihat dengan kacamata kemimpinan, jelasnya pandangan seorang pemimpin melalui berbagai tahapan-tahapannya dengan segala perpektif pertimbangan kemungkinan dampak yang terjadi kemudian hari.

Hemat saya, sebuah pernyataan kesejahteraan ibarat puisi dalam ceramah indah ekonomi. Terdengarnya sangat puitis, tapi implementasinya tentu punya sisi positif dan negatif. Puisi-puisi indah kesejahteraan ini rentan ditelan debu birokrasi dan kepentingan tambang, kacamata Ibu Gubernur Sherly mungkin saja menggunakan ukuran dan lensa yang dapat menjangkau beberapa bagian dimensi yang sebelumnya masih jauh dari radar perhatian pemimpin.

Saya melihat, justru di situlah titik api harapan itu menyala. Ketika seorang kepala daerah berani bicara keras tentang kegagalan struktur meski berdiri di tengah panggung kemakmuran semu, kita wajib mendengar lebih seksama meggunakan telinga sehat kita.

Sebab pada akhirnya, seperti pepatah yang ia kutip : bumi ini bukan warisan, tapi pinjaman dan Maluku Utara hari ini, dengan tambang berkilau dan rakyat berpeluh, mungkin adalah tagihan pertama yang harus kita bayar, jika kita masih berharap generasi esok tumbuh di tanah yang bisa ditanam, bukan hanya digali.

 

 

 

Komentar

Berita Terkini