Penulis :
Hairil (Pemuda Kelurahan Bobo, Tikep)
Di tengah gemuruh politik lokal dan harapan rakyat yang kian menggumpal, Maluku Utara memilih sesuatu yang berbeda. Seorang perempuan, seorang ibu, dan seorang pemimpin, Sherly Tjoanda- bukan hanya berparas cantik dengan penampilan elegan - namun membawa serta ketegasan dalam karakter kepemimpinanya membalut kebijakan-kebijakan yang menjanjikan. Di balik balutan kain kebesaran birokrasi, tersimpan niat keibuan yang tulus untuk menata kembali negeri rempah yang semberawut ini. Sebuah kepemimpinan yang jarang dan oleh karenanya, sangat berharga.
Dalam seratus hari pertamanya, Gubernur Sherly menyalakan obor perubahan. Dirinya menggulirkan program penghapusan uang komite, pembebasan ijazah tertahan, hingga renovasi118 sekolah (Baca : Kompas.com). Ia mematri komitmen pada pendidikan seperti seorang ibu menyisir rambut anaknya sebelum berangkat sekolah, penuh perhatian, pelan, namun pasti.
Tak berhenti di situ, niat menghadirkan Sekolah Rakyat untuk keluarga miskin dan miskin ekstrem adalah langkah berani dalam lanskap sosial Maluku Utara yang masih keropos. Seolah dirinya ingin berkata “kemiskinan bukanlah kutukan, tapi soal akses yang harus dibuka”. Dirinya mendekatkan layanan, bukan hanya dengan kebijakan, tapi dengan kehadiran.
Namun, memimpin negeri tak cukup dengan niat baik dan puisi-puisi harapan. Sherly melangkah lebih jauh. Dirinya menggandeng Polda Malut dalam MoU pengamanan program (Baca : wartasofifi.id-Gubernur Sherly dan Polda Sepakat Kawal Program Strategis Daerah), merapat juga ke Kejaksaan Agung untuk menghindari lubang-lubang korupsi yang dulu menjerumuskan pendahulunya. Di titik ini, kepemimpinannya adalah campuran antara idealisme dan kewaspadaan, antara kasih dan kalkulasi.
Langkah dengan hati-hati dari seorang pimpinan ini mempertegas idealisme kepemimpinannya agar terhindar dari segala bentuk tindakan yang melangkahi etik kepemimpinannya. Terlebih, sebuah kewaspadaan sudah disolidkan sejak seratus hari pertama kepemimpinannya.
Penuh dengan kalkulasi sebagai pemimpin yang ingin rakyatnya merasakan kekuatan kebijakannya yang dipastikan berpihak pada yang berhak mendapatkannya.
Dari langkah kehati-hatian ini dan kewaspadaan mempertegas idealisme kepemimpinan dirinya agar program yang direncakan berbuah manis. Meskipun demikian, saya punya dua Hipotesis bila Kebijakan ini terealisasi:
1. Lompatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Jika sekolah rakyat, beasiswa, dan program pendidikan ini konsisten, maka Maluku Utara akan mencetak generasi unggul dari lapisan terbawah masyarakat. Dalam jangka menengah, ini akan mengurangi beban sosial, menguatkan partisipasi ekonomi, dan menciptakan kader lokal yang mampu memimpin daerahnya sendiri, menciptakan siklus pembangunan dari dalam.
2. Tumbuhnya Kepercayaan Publik dan Budaya Pemerintahan Bersih
Kolaborasi dengan Polda dan Kejaksaan Agung bisa menjadi tonggak perubahan kultur birokrasi. Pemerintahan bersih bukan lagi jargon, tetapi sistem. Maka, jika ini berhasil, Sherly akan menjadi role model nasional, dan Maluku Utara bisa menjadi laboratorium reformasi pemerintahan di wilayah timur Indonesia.
Jika semua berjalan lancar, kita akan melihat cahaya bersinar dari kebijakan seorang Gubernur cantik yang mengais asa di ujung timur negeri.
Saya lebih focus pada poin satu, dimana kebijakan mengarah kepada mendorong kualitas sumber daya manusia (SDM). Prinsipnya, sekolah adalah salah satu tolak ukur utama untuk memuluskan program tersebut. Anggap saja, selain kemiskinan dan perihal kesehatan, Sumber Daya Manusia (SDM) kita menjadi problem krusial sejauh ini.
Urgensi peningkatan produktivitas tenaga kerja sesuai dengan rekomendasi studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia pada tahun 2015 dalam riset “Transformasi Struktural dan Perangkap Pendapatan Menengah. Studi ini menelaah proses Pembangunan di Indonesia Menuju 2030” yang menyebutkan bahwa diperlukan kebijakan ketenagakerjaan yang berfokus pada upaya peningkatan (Baca : Raodmap Prekonomian : Kontribusi Apindo Bagi Kepemimpinan Nasional 2019-2024).
Lapangan pekerjaan mungkin akan terbuka dengan lebar, menggenjot banyak tenaga kerja dikemudian hari. Namun, ukuran dan kualitas SDM sangat diperlukan. Gubernur Sherly punya teropong yang lebih jauh melihat kebutuhan itu dengan mendorong program pendidikan sebagai tolak ukurnya peningkatan kualitas SDM.
Program bebaskan uang komite, ijazah yang tertahan dan renovasi sekolah maupun sekolah rakyat pada prinsip dasarnya guna meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia.
Lantas Bagaimana jika seluruh pencanangan program sebagai sebuah terobosan ini tertunda, atau pun gagal dijalankan?. Ada dua harapan yang pupus dalambingkai reformasi dan realisasi programbesar ini.
1. Pudarnya Asa dan Kembali ke Politik Transaksional
Jika program-program ini tak segera menyentuh rakyat karena anggaran, resistensi elite lokal, atau koordinasi lemah. Maka, sudah pasti antusiasme akan berubah jadi sinisme. Rakyat yang pernah berharap bisa berubah menjadi rakyat yang kembali apatis. Akibatnya, politik transaksional kembali berkuasa.
2. Penumpukan Beban Pembangunan di Tengah Ambisi Besar
Dengan banyaknya program strategis, jika tak diprioritaskan secara presisi, potensi tumpang tindih atau stagnasi sangat besar. Dititik ini, gubernur bisa terlihat terlalu banyak janji, terlalu sedikit realisasi. Dan itu akan menjadi bumerang di tengah tahun politik dan tuntutan publik yang makin tajam.
Di antara langkah-langkahnya, terdapat pula benih keraguan yang mesti diwaspadai. Kecantikan dan kelembutan bisa menjadi kekuatan, tapi juga bisa digoda oleh jebakan popularitas. Memimpin takhanya soal program, tapi juga soal integritas, konsistensi, dan keteguhan dalam badai.
Harus diakui, keberpihakan Sherly kepada pendidikan dan nelayan dan kesehatan adalah keputusan populis yang strategis. Tapi, publik menanti lebih dari sekadar simbol, realisasi nyata dan keberlanjutan.
Sherly Tjoanda memulai babak baru dengan baik. Namun, cerita yang baik tak selalu berakhir baik, kecuali dirinya dijaga oleh ketelitian dan keberanian untuk menghadapi kenyataan.
Akhirnya kita akan tahu bahwa kepemimpinan bukan sekadar tentang pencapaian jangka pendek, tapi tentang kemampuan menjaga api di tengah angin.
Semoga sentuhan keibuan Gubernur Sherly bukan sekadar pengantar mimpi, tetapi menjadi tangan hangat yang membangunkan Maluku Utara dari tidurnya yang panjang. Tetaplah tegak, Ibu Gubernur, karena negeri ini terlalu indah untuk ditinggal dalam gelap.