Dalam bebarapa literatur tentang
Perempuan dan Politik, Memposisikan Skandenavia Sebagai Negara yang Paling
Demokratis Karena Keterwakilan Perempuan dalam Politik Mencapai 30% Lebih,
sedangkan Indonesia adalah negara dengan sistem demkokratis namun gagal
mewujudkan sistem Demokrasi dalam perpolitikan, hal ini dibuktikan dengan
kedudukan Negara –Negara dalam Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen, Indonesia
hanya mencapai 16, 5 % berbeda dengan negara – negara lainnya yang mampu
mencapai 50% sampai dengan posisi 60%.(Sumber IPU)
UUD 1945 Meligitimasi hak Sipol setiap
Warga Negara untuk mendapatkan kesempatan dan kebebasan Memilih dalam segala
Aspek Kehidupan, sebagai perwujudan Hak Asasi Manusia tanpa Memandang gender.
Lahirnya Upaya affirmative action untuk mendorong keterwakilan Perempuan dalam
Politik terus diperjuangkan, dalam UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pemilu Legislatif), serta UU No 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik telah Memberikan Mandat Kepada Parpol untuk memenuhi
kouta 30 % Bagi Perempuan dalam Politik, terutama di lembaga Perwakilan Rakyat.
Jumlah Penduduk
Perempuan Maluku Utara yang Mencapai 506 694 jiwa, (Sumber. BPS Malut).
Seharusnya Mampu untuk mendongkrak kapasitas Perempuan dalam Kontestasi
Perpolitikan, sehingga perempuan tidak hanya dijadikan sebagai Vote Getter (Pendulang Suara),
Berdasarkan Data Kategori Keterwakilan Perempuan di Parlemen, dalam Peningkatan
Keterwakilan Perempuan Pada Pemilu 2019 menunjukan Peran Perempuan dalam
Kontestasi Politik di Maluku Utara hanya Mencapai 8,89 % dengan kategori
Rendah, sangat jauh dari angka 30 % yang
disediakan oleh Negara.(Sumber Keputusan KPU No. 417/Kptsn/KPU Tahun 2014).
Disparitas angka
Pencapaian Kontestasi Politik Perempuan Maluku Utara yang tidak Mencapai angka
30% menyiratkan terdapat Hambatan-hambatan Keterwakilan Perempuan Maluku Utara
dalam Parlemen, PertamaAspek Budaya,
Doktrin Budaya Patriarki, yakni Perempuan selalu di sampingkan dari
jabatan-jabatan Publik dan Menjabat jabatan yang berbau Feminis, Kedua. Aspek Prosedural yakni
Ketidakramahan Parpol pada Perempuan, sebeb perempuan hanya dijadikan sebagai
tempat pendulang suara Vote Getter
dalam aktifitas Kampanye Politik, perempuan hanya di jadikann Sebagai Sarana
Mempromosikan Kandidat namun tidak ikut dalam membahas masalah sentral yang ada
pada daerah. Ketiga Pendidikan
Politik Perempuan yang tidak memadai, sehingga perempuan lebih memprioritaskan
diri sebagai penyumbang suara.
Untuk itu Pentingnya Pertama, Pendidikan Politik Praktis Bagi
Perempuan, yakni selain Membahas Permasalahan Daerah. Perempuan juga harus
mengetahui haknya dalam Kontestasi Perpolitikan di Maluku Utara, serta membahas
isu- isu sentral gender dalam Ekopol dan Hukum, dalam bentuk Seminar maupun
diskusi Publik, karena dengan Kesadaran Pendidikan Politik Praktis Perempuan,
Perempuan dapat Mengetahui mengapa perempuan perlu berperanserta dalam politik,
Kedua,Bentuk sosialisasi aturan
Kepada Perempuan Maupun Parpol tentang Kewajiban Keterwakilan Perempuan 30
Persen dalam Politik dengan tujuan Memberikan Pemahaman Baik kepada setiap
Perempuan dan Parpol terkait
HakPerempuan yang dijamin Negara.Jika Kesadaran Perempuan dan Parpol terus
dipupuk maka Segmentasi Perempuan Maluku utara dalam Politik Mampu mencapai angka yang harapkan.
(***)
(***)