-->
    |


Mimpi Dibalik Kandang ( Part I)

Sumber Gambar : Tinofaf,worldpres.com

Oleh : Karman Samuda


Malam itu sang purnama semakin membubung naik kecakrawala, terhindar dari penyelimutan awan yang bergumpal-gumpal, terhanyut oleh keheningan malam. Sunyi-senyap telah tiba, hasrat kecintaan makin menghasut batin sintia, terhadap lelaki pilihannya untuk membuat keputusan. Sintia terlahir dari keluarga beragama kristen,’’ bagi Sintia menikah adalah jalan terbaik, meskipun lelaki yang ia cintai bukan sesama agama. Tetapi dengan kerinduan ini, mudah-mudahan tuhan dapat mengetuk pintu hati untuk menikah, agar bisa membalut seluruh rasa kegelisahan batin yang terpenjara selama ini.

Alhamdulilah akhirnya tuhan dapat menyatukan dua insan ini meskipun Sintia telah diusir ayahnya dan tak pernah menganggap Sintia bagian dari keluarga mereka. Karena Sintia sudah terlanjur mencintai orang yang berbeda agama. Beberapa tahun kemudian mereka dikarunia dua orang anak yaitu’’ Irfan dan Indi’’ yang mengisi hari-hari panjang dengan berbagai canda tawa, penuh kasih. Meskipun hidup serba keterbatasan, tapi keluarganya amatlah ceria. Bang irwan, suami Bu Sintia bekerja sebagai buruh bangunan dengan penghasilan begitu terbatas hanya bisa mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari, 

Pagi itu pak bos telefon dan marah-marah "kamu ini kerja kok jam begini belum datang juga berengsek cepatlah kesini" iya pa jawab Bang Irwan sembari mematikan telepon.  Irwan pamit kepada istrinya .

" Bu saya pergi dulu ya, Sahut Bang Iwan
" Bang....sarapan dululah" Jawab Sintia
"Jangan lagi pak bos menyuruh cepat, abang berangkat kerja dulu ya’’ jawab bang Iwan
"iya bang hati-hati" Sahut Sintia.

Setelah jelang beberapa menit  Irwan merasa kepalanya pening dan tubuh menjadi lemas ‘’preekkkkkkk....’’Irwan jatuh dari sirap rumah yang membuatnya pingsan dan tulang belakangnya patah.

Dari kecalakaan ini Irwan mengalami sakit lumpuh dan terbaring diranjang menahan rasa sakit. Selama bertahun-tahun akhirnya Irwan dipanggil oleh sang pencipta ’’inalillahi wainnaillahi raziun. ‘’Malam itu adalah malam dimana wanita dengan dua orang anak merasa menanggung segala urusan  keluarga yang cukup berat, suara tangisan menderu ke udara tak henti-henti’’ tapi apalah daya telah menjadi keputusan sang Ilahi.

Ibu Sintia terpaksa mengambil peran suaminya sebagai kepala rumah tangga di atas tanah seluas ini, untuk menghadapi kekejaman dunia, serta menerawang gelombang kepedihan silih berganti. Sebelum mentari terbit di ufuk timur memancarkan sinarnya di pasir putih hingga dapat menyilaukan kedua bola mata Bu sintia sudah harus bangun dari tempat tidur beralaskan tikar anyaman, bersiap-siap pergi ke rumah tetangga untuk mencuci pakaian.

Semenjak suaminya meninggal pendapatan Sintia tidak cukup untuk membayar biaya kosan perbulan. Semasa bang Irwan hidup mereka tinggal dikosan, maka langkah yang diambil oleh seorang kepala keluarga, pagi itu bu Sintia pergi meminta salah satu tempat tinggal ditetangga mereka.

’’Assalamu’alaikum.....’’
" Ada apa bu ? Jawab Tetangga nya
" Boleh bicara sebentar dengan ibu? Sahut Sintia dengan penuh keyakinan.
" Iya boleh bu Sintia"
" Saya dan kedua anak sudah mau keluar dari kosan, jadi saya ingin meminta tempat tinggal bu’’ Ucap Sintia.
" Tempat tinggal ?’’ Ibu kost menjawab dengan mata melotot kepada bu Sintia’’ Sebelum menjawab " Aduh bagaiman ya’’ sekarang kalian lihat rumah saya tidak besar seperti tetangga yang lainkan, belum lagi anak saya juga banyak
" Iya bu... tapi maksud  kedatangan saya kesini meminta kepada ibu apa boleh kami tinggal disamping rumah ibu’’ Kekeh Sintia dengan pendirian nya
" Yang mana ? tanya tetangganya penuh keheranan.
" Bekas kandang kambing itu ? Apa ? ya ampun...’’ ibu mau mengajak anak-anak di kandang kambing itu. Tetangganya semakin melonggo tak habis pikir.
" Iya bu soalnya saya sudah tidak bisa bayar kosan’’ hal ini sudah menjadi keputusan saya bu’’
" yah, kalau ini sudah menjadi kehendak ibu, silahkan saja, tapi... masih bauh sekali bu
" Tidak apa-apa, nanti saya dan anak-anak membersihkan, terimakasih bu,sudah memberikan tempat tinggal"
" Iya sama-sama’’  begitu saya pamit pulang,Terima kasih.

Perlahan langkah demi selangkah bu Sintia menjatuhkan air mata tak henti-henti dengan kehidupan yang di tanggungnya. Perkataan dalam hati, apa mungkin dia harus mengajak anak-anaknya untuk duduk di tempat yang bukan rumah yang seperti orang lain milikinya’’ ya tuhan lindungilah hamba yang berdosa ini, berikanlah segala ke imanan dan kesebaran hambamu’’.

Bu sintia terus berjalan menuju kosan. Setiba di kosan, ia melihat Irfan dan Indi lagi masak, bu Sintia duduk di lantai.
" Mari nak", Irfan dan Indi terkejut melihat ibunya bercucuran air mata. 
" Bu kenapa menangis? tanya Indi. Ucapan kata tersendat oleh suara tangisan, maafkan ibu nak.
" Bu kenapa"? tanya Irfan. 
" Kita harus pindah dari kosan ini, jawab ibunya. 
" Ada apa bu ? Indi menanggapi ibunya diikuti suara gemetar.
'' Ibu sudah tidak sanggup untuk membayar biaya kosan, ketika mendengar jawaban dari ibu mereka, suasana mulai berubah. 

Leburan air mata tergenang ke lantai, suara tangisan seakan menerobos lapisan dinding ruangan, mereka bertiga saling merangkul’’ ibunya berkata inilah kenyataan hidup yang kita rasakan, tapi tidak harus kita nyerah begitu saja’’sudah semestinya kita berusaha semampu tenaga, ini bukan akhir dari segalanya, tapi awal untuk kita melangkahkan kaki  menyusuri setapak demi setapak.

Kamis pagi, ibu Sintia bersama anaknya melangkahkan kaki untuk bergegas menuju kandang kambing, walaupun kandang kambing sudah tidak difungsikan tetapi masih saja banyak kotoran kaimbing lainnya, maupun sisah sisah makanan busuk. Akan tetapi tak sedikitpun membuat ibu dua orang anak itu gentar untuk membersihkan kandang kambing. Setelah semuanya sudah beres mereka menuju ketempat kos, untuk mengambil seluruh barang-barangnya. Semua sudah usai dianggkut ke rumah baru mereka, bu Sintia kecapean bersama kedua anaknya hari itu tertidur pulas.


Matahari telah berwarna kuning pertanda sore telah menghampiri gubuk tua itu.  Irfan terbangun dari tempat tidurnya lalu menuju ke sumur untuk mengambil air. Setelah kembali mereka berdua membantu ibunya untuk memasak. Kedua pasang mata bu Sintia terarah ke jam dinding menunjukan pukul 06:30 bahwa pertanda waktu Magrib telah tiba, ayo nak’’ kita sholat dulu’’ mendegarkan perkataan ibunya, mereka bertiga bergegas mengambil air wuduh untuk sholat. 

Menjelang beberapa menit merekapun sudah selasai sholat dan langsung ke dapur untuk mengambil makanan, setelah itu mereka duduk melingkari dan mencicipi makanan yang sudah di sajikan. " mari kita berdoa dulu ya’’. Setelah berdoa barulah mereka bersama-sama makan. Rumah berkuran 3x3 m itu diterangi menggunakan lampu pelita yang terbuat dari kaleng-kaleng bekas. Selesai makan Indi adik perempuan irfan membereskan peralatan dapur sedangkan irfan mencari bukunya untuk belajar.  Indipun seusai mencuci piring langsung mengambil buku-bukunya. Indi salah satu anak yang paling gemar dengan buku bahasa Ingris.

Kemudian ibunya menunggu waktu sholat isyah tiba, walaupun bu Sintia mualaf tetapi tak pernah meningalkan sholat lima waktu. Pukul 10 malam menendakan sudah waktunya tidur, larut malam mulai terasa, hawa dingin menghampiri dinding kayu tuah yang ditutupi  daun rumbia, suara para hewan kicil menjadi musik sehingga merekapun tertidup lelap. Mentari kembali menyinari tembok dinding lapuk itu.

Sesuai aktifitas serta profesi masing-masing, pagi itu Irfan bersama Indi berangkat ke sekolah sedangkan ibunya berjalan menuju rumah para tetangga untuk mencuci pakain. Rentetan cemohan, celaan datang silih berganti namun wanita dua orang anak itu tanpa menghiraukan celaan tersebut. Sholat adalah perisai bagi keluarga bu Sinta. Hasil perolehan dari mencuci tak menentu terkadang 30 ribu sampai 50 ribu setiap hari. Tetapi, ibu paruh baya itu tetap membiayai sekolah anak-anaknya.

Waktu terus berjalan, kepasrahan hidup di berikan kepada tuhan sebagai maha pencipta. Irfan pun sudah lulus SMA, saat itu dengan segala keterbatasan yang ada sebagai anak laki-laki tertua yang sudah seharusnya mengantikan posisi ayahnya, Irfan memiliki keinginan agar mendapat pekerjaan yang bisa membantu kebutuhan keluarganya. Dalam pusaran dinamika hidup makin memburuk, Irfan menyampaikan sedikit kenginannya kepada ibunya.
 "Bu saya ingin ikut seleksi polisi'
 "Fan, bagaiman mungkin kamu harus tes polisi, sementara ibu tidak punya uang". Sahut ibunya penuh keraguan.
 " Bu tidak apa, Irfan seleksi polisi untuk mencari pengalaman saja, biar nanti kalau teman-teman saya bercerita tentang masuk polisi saya juga sudah tahu, kebutulan dibuka pendaftaran seleksi polisi. Irfan mencoba meyakinkan ibunya.
" Yah sudahlah kalau kamu mau ingin mencoba silahkan saja’’
 " Iya bu hanya sekali ini sajalah. 

Perbincangan panjang itupun selesai. Keesokan harinya, Irfan pergi memasukan segala dokumen yang dibutuhkan. :Alhamdulliah berkas yang di masukan diterima". Sahut Irfan dalam hati. Selanjutnya Irfan setiap hari pergi mengikut seleksi yang diadakan sebulan penuh. Pada 27 desember di adakan pengumuman hasil.  Sore itu langit diukir oleh beragam warna indah bersama awan putih, berhamburan seluruh telinga dan kedua bola mata polos tanpa menatap liar mengarahkan didapan soundsistem. 

Semua teman-teman Irfan canggung ketika detik-detik mendengarkan hasil perjuangan mereka, Irfan melihat pengumunan dan berada pada nomor dua dari hasil pengemuman. Tetapi Irfan juga tak yakin dengan hasil pengemuman Tersebut. Setelah itu, Irfan bergegas pulang kerumah. Sesampainya dirumah, ibu Irfan menanyakan kepada Irfan " waktu itu ibu sudah bilang kepada  mu jangan, nah sekarang kamu kecewakan? kata ibunya sembari menatap lekat wajah anaknya. "idak bu saya tadi sempat mendengar nama saya juga namun tak yakin saya  bisa lolos. Irfan menyahut penuh tanda tanya. Ternyata Irfan sudah tak mengharapkan untuk balik lagi ke kantor Polres, karena nama-nama yang lulus seleksi akan balik. Irfan pun karena lelah,  memilih untuk tidur karena hampir sebulan lebih dia juga tidak dapat istirahat yang tenang. ada seorang tetangga irfan beliau adalah seorang polisi hari itu datang tergesa-gesa menemui ibunya.

Bu’’ Irfan di mana ? 
dia tidur pak, jawab bu Sintia’’ 
"kenapa dia  tidur, apakah dia tidak balik ke kantor polres, soalnya dia lulus seleksi polisi’’ jawab pak polisi terlihat sedikit ngos-ngosan dan geram.
"ah betul kah pak" ibu Sintia hampir tak mempercayai ucapan yang di keluarkan oleh tetangganya tersebut.
"Iya Irfan lulus" Jawab Pak Polisi dengan pasti. 

Setelah mendengar ucapan bapak polisi itu, bu Sintia berlari untuk membanggunkan Irfan yang sedang tidur.  Fan, bangun’’ kamu lulus,  iyakah bu? iya pak polisi tetatangga kita barusan kesini memberitahu ibu kalau kamu lulus menjadi seorang polisi. Jawab ibunya sambil menangis haru atas perjuangan anaknya.  Irfan terkejut, langsung bangun dari tempat tidur berlari menuju sumur untuk mandi. 

Seusai mandi, Irfan pergi kekantor polisi. Sedangkan bu Sintia sudah tak kuasa menahan air mata bahagia seraya berucap "Ya allah terima kasih atas semua yang engkau berikan kepada hambamu yang lemah ini’ hanyalah kepadamu yang kami meminta pertolongan dan meminta petunjuk".**

Karman samuda:  pernah bersekolah di SD Inpres  Wailoba, dan SMP di Negeri 2 Sanana kemudian melanjutkan SMA  di SMA Alhilal Sanana, memasuki Perguruan Tinggi di STKIP kie raha Ternate jurusan Biologi, dan pernah menjabat sebagai ketua  BEM  Universitas periode 2017-2018 STKIP  dan bergabung di organisasi HPMS cabang ternate.
 
 


Komentar

Berita Terkini