-->
    |

Hari Pahlawan dan Jiwa Kepahlawanan.


(Oleh: Muhammad Subhan T. Djafar)

Pahlawan bagi banyak kalangan sering diidentikkan dengan representasi dari jiwa  seseorang yang tak lepas dari semangat pengorbanan. Pengorbanan yang tak kenal rugi, tak kenal rumus, tak kenal mundur, apalagi takut!.

Semangat kepahlawanan secara situasional, dapat muncul dan terstimulasi dari jiwa seseorang demi beratus-ribu jiwa yang sedang tertindas.Akan tetapi, sejatinya jiwa kepahlawanan yang dimaksud adalah jiwa yang selalu terang dan disinari cahaya kebenaran dan keadilan secara realistis serta tanpa pandang Bulu.

Jika lembaran-lembaran peristiwa yang telah lalu (sejarah) di buka, kita akan menemukan bahwa jiwa kepahlawanan anak kandung bangsa ini telah teruji pada massa silam. Ketika tetesan air segar kemerdekaan baru dirasakan, datanglah pukulan yang meminta balasan. Dengan semangat yang berkobar-kobar, para Koloni pembawa misi setanic diusir dengan perlawanan sengit, mengorbankan ribuan jiwa masyarakat pribumi yang heroistik. 

Jika ditanyakan, kenapa hal yang demikian harus dilakukan? maka jawaban yang secara spontan terdengar dengan sangat keras bahwa; Karena “Kemerdekaan adalah Hak Seluruh bangsa” tanpa ada pengecualian. 

Refleksi jiwa kepahlanan para anak bangsa ini adalah untuk memperingati pertempuran Surabaya yang sempat tercatat dalam sejarah. Pertempuran tersebut mengharuskan para pejuang Indonesia harus hadapan dengan sekutu, dan mengusir mereka secara paksa. 

Maka lantangnya suara Bung Tomo terlontar dengan pekikan “Merdeka atau Mati” yang diakhiri dengan kalimat takbir terbukti mampu menggerakkan, membakar jiwa-jiwa para pejuang, para pahlawan untuk melawan dengan kekuatan penuh. 

Semangat kepahlawanan ini perlu kiranya terus direfleksi sebagai vitamin bagi pemuda agar tidak lemah dalam menangkal serangan-serangan dalam skala besar yang mengancam kestabilan serta kondisi kebangsaan dalam skala kecil terhadap kemerdekaan secara pribadi. 

 Berangkat dari kata “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”, Tepat pada 10 November 1945 garis start Hari Pahlawan Nasional mulai dihitung dengan ditetapkannya Keppres Nomor 316 tahun 1959. 14 tahun setelah hari bersejarah-berdarah itu terjadi. 

Pada hari ini, seluruh anak bangsa diwajibkan untuk sejenak menundukkan kepala seraya mengirimkan do’a sebagai bentuk rasa hormat tak terhingga kepada para pejuang yang telah gugur demi kedaulatan Negara Kesatuan ini. 

Pada Hari ini pula, pejuang bangsa yang menjadi saksi hidup sejarah perjuangan silam yakni para Veteran, banjir akan air Mata. Menangisi teman seperjuangan dahulu yang telah gugur mengorbankan nyawa demi Kemerdekaan dan kemanusiaan. Sekali lagi para veteran menangis melihat dan mencermati pola pikir, pola laku, dan pola tindak generasi muda bangsa ini yang mungkin tidak sedikitpun mengingat jasanya. 

Bagaimana tidak?harapannya pada masa lalu yang menjadi semangatnya ketika berjuang, yakni membebaskan bangsa dan negara ini dari segala bentuk penindasan, dikhinati oleh anak kandungnya dengan menjadi boneka bangsa tiran. Bahkan, tidak sedikit anak bangsa ini yang mengaku berjuang demi kemajuan, kemanusiaan dan kemaslahatan sosial, justru masih tertempel sebongkah niat tiranistik yang membabi-buta demi kepentingan tertentu.

Fenomena tidak berkasih inilah yang menyebabkan kenapa Bung Karno pernah mengatakan bahwa “Perjuanganmu akan lebih sulit, karena engkau akan melawan bangsamu Sendiri”.

Harus dijujuri bahwa fenomena yang demikian tidak dapat dielakkan dengan memberi testimoni manis, karena kondisi yang demikian telah menjadi “Aib” bahkan “Aib Internasional” bagi bangsa Ini. Berjuta Ikhtiar telah diluncurkan dengan kertas-kertas secara regulatif, tapi hasilnya adalah “Nol Besar” dari sisi realisasi.

Pancasila dan UUD hanya dijadikan rumus dan sistematisasi prinsip hidup yang tidak ada bukti nyata. Beratus kasus yang sengaja maupun tidak, yang lama maupun baru, hanya menjadi hiasan laporan kertas yang kosong makna karena penyelesaiannya berakhir dikantong beberapa oknum elit pejabat struktural maupun fungsional dihampir semua instansi pemerintahan maupun swasta tanpa rasa bersalah. 

Mengapa demikian Saudara-saudariku sekalian? Jawaban yang pasti adalah karena diantara orang-orang baik, masih ada lebih banyak orang yang jahat, karena diantara manusia bermental malaikat, masih banyak pula manusia yang bermental perampok.  

Memang benar yang dibahasakan Engineer bahwa “Bangsa-bangsa yang telah lepas dari cengkeraman kolonial barat, akan menjadi demokratis. Namun segera berubah menjadi rezim otoriter karena pembangunan, khususnya ekonomi dirancang untuk kepentingan sekelompok elit masyarakat. Bahkan teknologi dan westernisasi menjadi ukuran Peradaban”.

Padahal, peradaban yang sejatinya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai budaya kita dan kehendak bangsa yang terpatri dalam semangat para pahlawan. Yang, tidak lepas dari nilai-nilai kebenaran, keadilan dan harus berperikemanusiaan.

Bagi saya, semangat kepahlawanan yang dititipkan kepada kita sebagai generasi muda adalah semangat untuk menegakkan keadilan. Barulah kemudian, kita semua dapat menopang tercapainya cita-cita negara yakni; “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Amiin.

Tulisan ini bukanlah teori resepsi yang membutuhkan tanggapan sastarais, tetapi hasil dari tarian jemari ini adalah “Fulungku” (Kepalan tangan) keras yang ditujukan kepada kita semua, untuk kembali merefleksikan semangat kepahlawanan para Founding Fathers, agar kemudian semangat tersebut dapat kita aplikasikan dengan pikiran yang kritis, gerak yang dinamis, dan langkah yang optimis, sebagai pengejahwantahan nilai kita sebagai mahasiswa, masyarakat, dan umumnya sebagai anak bangsa tercinta Ini. 

Hidup Pahlawan Indonesia, Salam Pemuda, Salam Peradaban!
Komentar

Berita Terkini