-->
    |


PEMILU BERINTEGRITAS “Telaah kritis Penyelenggaraan PEMILU, Argumentasi UU No 7 Tahun 2017”


Oleh : Hamidah Umalekhoa, M.I.Kom
(PB HMI Periode 2016-2018)

Integritas atau sebutan lain adalah prinsip moralitas yang berkaitan erat dengan sikap jujur, setara atau adil, serta loyal  dalam pelaksanaan demokrasi. Pelaksanaan Demokrasi dilakukan lima tahun sekali untuk memilih presiden dan wakil presiden, untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana yang dimuat dalam UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Selanjutnya penyelenggara PEMILU diharuskan untuk memenuhi prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efesien. Komponen-komponen yang dimuat dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentu menjadi suatu prasyarat untuk mempertegaskan kepada aktor penyelenggaraan untuk memperkuat karakter diri dalam melaksanakan proses demokrasi yang bermartabat.

Sebagai aktor yang dipercayakan Publik untuk melaksanakan pesta demokrasi, tentu karakter diri akan menjadi taruhan baik secara sosial maupun secara politik. Untuk dapat mempertahankan karakter diri serta mewujudkan demokrasi yang bermartabat maka dituntut untuk dapat mempertahankan dua prinsip moralitas yakni:

a. Prinsip Diri

Prinsip diri atau yang disebut Alfred Adler seorang psikolog individu sebagai suatu kesadaran diri. Adler menjelaskan kesadaran sebagai inti dari kepribadian individu. Manusia yang sadar akan prinsipnya ia akan dapat melakukan serta mengarahkan sesuatu sesuai tujuan secara sadar.

Dalam konteks PEMILU yang berintegritas aktor politik dan penyelenggara harus dapat mengkomparasikan prinsip diri dengan berbagai komponen yang telah diatur dalam Undang-undang pemilu diantaranya, memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konssitensi pengaturan sistem pemilu, memberikan kepastian Hukum dan mencegah duplikasi dalam sistem pengaturan Pemilu serta mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien sebagaimana yang terdapat dalam pasal 4 UU pemilu no 7 tahun 2017.

Selain itu, penguatan prinsip diri secara personal dan kelompok penyelenggara sangat dibutuhkan untuk melakukan basis integritas Pemilu dilingkungan masyarakat sejak dini, sebagai salah satu instrumen untuk mengantisipasi pengaruh dari berbagai kepentingan kelompok yang nantinya dapat merusak nilai-nilai demokrasi.

b. Kepercayaan Diri(self Confident).

Kepercayaan diri (self Confident). Setiap individu memiliki tingkat kepercayaan diri yang berbeda beda. Kepercayaan diri dapat mencerminkan karakter seseorang dalam melakukan sesuatu yang diinginkan, serta dapat menunjukan sikap kemandirian seseorang dalam mewujudkan impian.

Tentang kepercayaan diri, Anthony, seorang pakar teori organisasi berpendapat bahwa kepercayaan diri merupakan sikap seseorang yang dapat menerima kenyataan, mengembangkan kesadaran diri, berpikir positif, memiliki kemandirian, mempunyai kemampuan untuk memiliki segala sesuatu yang diinginkan.

Pendapat tersebut jika dilekatkan pada konteks demokrasi maka seluruh aktor baik Pemilih, Peserta Pemilu maupun penyelenggara harus dapat mempertahan kepercayaan diri, sehingga tidak terpengaruh ataupun saling mempengaruhi satu sama lainnya dengan tujuan tertentu yang justru berdampak negatif dalam kontestasi politik.

Prinsip moralitas yang dijelaskan diatas telah dimiliki oleh setiap individu, namun dalam praktek demokrasi masih sangat kontras antara prinsip diri dengan integritas Pemilu yang diharapkan, mengapa? Sebab, akhir-akhir ini masih saja ditemukan pelaksanaan demokrasi yang berujung dengan konflik kepentingan bahkan berakhir di Mahkama Konstitusi. Benar bahwa, Mahkama Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang berfungsi untuk memeriksa, dan memutuskan sengketa Pilkada. Tetapi pesta Demokrasi yang cenderung diselesaikan di MK justru mencerminkan kelemahan sikap integritas dalam pelaksanaan demokrasi.

Padahal, dengan kedua prinsip tersebut dapat dijadikan sebagai barometer dalam mempertahankan sikap intergiritas Personal sekaligus dapat dipertahankan  dalam kelompok penyelenggara untuk meraih Pemilu yang berintegritas.

Secara yuridis dalam UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur secara jelas terkait dengan tata cara menangani pelanggaran pemilu tetapi yang perlu kita menggaris bawahi bahwa apapun yang diatur dalam UU pemilu tentang tata cara menangani pelanggaran pemilu ataupun melaksanakan Penugumutan Suara Ulang (PSU) semuanya bertujuan untuk mengantisipasi hal-hal terburuk yang terjadi saat berlangsungnya pesta demokrasi. dan faktanya banyak hal terburuk yang terjadi saat berlangsungnya pesta demokrasi akhir-akhir ini, terutama di Daerah-daerah yang rentan kendalinya jauh dari Ibu Kota. misalnya, Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Maluku Utara yang juga dapat dikategorikan sebagai Daerah yang sangat riskan dalam pelaksanaan pesta Demokrasi.

Belakangan ini,  seringkali ditemukan terjadinya Pemungutan Suara Ulang di Kabupaten yang ada di Provinsi Maluku Utara, misalnya di Kabupaten Kepulauan Sula belakangan ini, setiap pelaksanaan Pemilu /pesta demokrasi sudah barang tentu akan terjadinya PSU dan berakhir di Mahkama Konstitusi (MK). Memang Konsekuensi demokrasinya berakhir secara hukum namun prinsip moralitas dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas sulit untuk dicapai. oleh karena itu, setiap aktor penyelenggara seharusnya dapat menanamkan sikap kemandirian serta menjunjung tinggi prinsip moralitasnya dalam proses pengambilan keputusan sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh pihak manapun.
Komentar

Berita Terkini