-->
    |



Keamanan Nasional dan Sistem Bertahan Hidup Kelas Bawah



Oleh : Hairil Sadik

"Wabah menyerang secara universal di bagian bumi, dunia seakan kocar-kacir memberdayakan Sumber Daya Manusia yang kompeten untuk mencari jalan terbaik menyudahi satu daya besar dari Wabah Covid-19".

Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Coronavirus yang disebut Covid-19 terjangkit ke manusia biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan, mulai flu biasa hingga penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernafasan Akut Berat/ Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).

Satu daya besar Coronavirus jenis baru ini ditemukan pada manusia hampir di beberapa negara termasuk Indonesia, sejak kejadian luar biasa muncul di Wuhan Cina, pada Desember 2019 silam. Daya besar yang memiliki magic luar biasa telah menghipnotis psikologi manusia pasca di temukan pertama kali di Wuhan Cina kemudian diberi nama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV2), dan menyebabkan penyakit Coronavirus Disease-2019 (COVID-19), tulis Infeksiemerging.Kemkes pada 6 Maret 2020.

Begitulah wabah Covid-19 dinamai, melahirkan banyak spekulasi dan asumsi yang sengit di dunia kesehatan. Bukan hanya Indonesia, negara lain pun berdebat menguji mata rantai penyebaran serta menajamkan pisau analisis untuk menemukan metode penyembuhannnya.

Saat ini, Indonesia Jumlah postiv terus meningkat hingga mencapai 16.000 jiwa perhari Kamis, 14 Mei kemarin. Berbagai kebijakan digaungkan dan dalam sakala besar kebijakan larangan berkumpul di tempat ramai, alih-alih memperkecil angka penyebaran atau penularannnya.

Disatu sisi, kebijakan sangat tajam merawat status ekonomi negara sebagai kekuatan nasional. Kebijakan bersakala besar menimbulkan ketakutan yang besar pula. Kegaduhan pecah di penjuru wilayah, alasan rasionalnya kebijakan tidak beraktivitas seperti membawa nasib rakyat kepada kekacauan.

Kita sedang melihat kegaduhan di negeri ini, dari sisi religius para tokoh melihat daya besar wabah Covid-19 ini sebagai musibah yang datang dari sang pencipta. Disisi lain, tokoh ekonom dan politik lebih mengarahkan pandangan pada stabilitas ekonomi dan keamanan negara.

Di samping kegaduhan yang tengah terjadi, ada banyak skenario yang justru tak mencerminkan upaya pencegahan sama sekali dan lebih lekat pada kepetingan oligarki diantaranya, perkara Tenaga Kerja Asing (TKA) yang datang ke Indonesia, padahal rakyat sendiri dilarang untuk tidak melakukan aktivitas diluar.

Belum lagi, banyak napi yang dibebaskan dengan asumsi daya tampung Rutan (Rumah tahanan) semakin kecil. Di bagian lain, rakyat dan pemerintah di daerah saling lempar batu sembunyi tangan hingga problem-problem  pemicu mencuat sebagai entitas yang tidak dapat diterjemahkan dengan narasi keberpihakan kebijakan pemerintah saat ini.

Rakyat kecil panik, mereka dipaksa menuruti kebijakan dan dirumahkan. Sedangkan elit? Sama juga dirumahkan. Ini hanya perkara kebijakan yang harus di jalankan dan ditiruti, tapi toh, melihat perbandingan realita setelah kebijakan dirumahkan mulai di jalankan, rakyat kelas bawah adalah kelompok paling rapuh karena kehilangan pekerjaan dan tidak memiliki pendapat yang membuat daya beli turun drastis. Sedang elit, di rumahkan saja masih kuat ekonominya.

Hal semacam ini tetap mengalir dari 1920-an hingga saat sekarang. Ini bukan hal baru, hanya saja frasa problemnya berbeda. Negara ini berulang kali diguncang dengan kejadian luar biasa yang imbasnya dirasakan secara nasional. Benar kata Allen S Whiting;- ada ancaman negara-negara besar bagi keamanan Asia, khususnya Indonesia.

Bisa jadi, sebagian dari kita melihat Negara ini dalam keadan baik dan aman-aman saja. Tapi sebenarnya, psikologi negara ini sudah terganggu. Pertama karena wabah covid-19, kedua masalah ketahan pangan, dan ketiga masalah keamanan negara.

Sebagai Gambaran, baru-baru ini, Maluku Utara dengan kejadian serikat buruh pada satu Perusahaan ternama melakukan demonstrasi dan mogok besar-besaran. Di Sulawesi, TKI ribut sengit dengan TKA asal Cina dll. Bukankan ini terkait keaman negara, yang sebagian orang memikirkan ketahan nasional dan sebagiannya lagi menjerit di himpit narasi kebijakan yang katanya berpihak pada kelas bawah?.

Di ibu kota provinsi mungkin tidak terjadi Deadlock (kemacetan akan terjadi dimana-mana). Tapi jelasnya di kota besar, dijalan raya, kita melihat pemudik kelabakan dihentikan untuk mempertegas amanat social distancing.

Belum lagi masalah pada kebijakan pemerintah menggelontorkan dana untuk penjaminan kebijakan bermiliar-milyaran ke kantong daerah dengan asumsi full pengontrolan. Realisasinya terjadi keributan. Klaim saling klaim antara masyarakat dan elit pemerintah sebagai jembatan merealisasi puluhan bahkan ratusan triliun tersebut untuk masalah kesehatan. Diseberang ketahanan hukum, stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat dan lain-lain. Problem besar menggerogoti kekuatan daya kebijakan sehingga gangguan menjadi struktur dari atas kebawah, dan stagnan pada rakyat kelas bawah, blunder yang terjadi.

Meminjam istilah gangguan struktural dari Takashi Inoguchi;-melihat ini sebagai gangguan struktural. Karena kegaduhan ini merupakan pelajaran khusus semenjak zaman kolonial sampai pada zaman mellenial.

Juwono Sudarsono;-pernah menyinggung hal ini, soal perbedaan pendapat (Dissension) di bidang Agama, etnis dan Ideologi. Tapi banyak juga tokoh yang meminimalisir asumsi tentang wabah ini adalah musibah secara nasional, atau ujian untuk ketahanan negara.

Lambat laun keamanan menjadi suatu jaringan yang tidak bertepi, bersentuhan dengan persoalan ekonomi. Memburu reslisasi kebijakan sebagai pisau analisis untuk memperkecil efek samping. Tapi rakyat tetap bersikuku dengan prinsip persoalan perut.

Negara mengupayakan semaksimal mungkin memuluskan penangan masalah kesehatan dan lupa masalah sosial lainnya. Atau fokus pada masalah sosial dan kesehatan sedangkan ketahanan ekonomi negara menuju jalan terjal.

Bagaimana pun juga. Di abad penuh ketergantungan ini, suatu negara tidak akan berdiri sendiri. Negara kita mungkin punya kebutuhan yang bisa negara lain sumbangsikan. Begitupun sebaliknya.

Tapi ini hanya soal keamanan, kita tak perlu panik. Sebab panik berlebihan akan berdampak pada peran negara. Dampak ini terlalu besar seperti arus samudera pasifik di pertengahan tahun. Sosial, agama, hukum dan ekonomi merupakan dampak teratas lingkup nasional. Sedangkan, dampak lapisan bawah hanya pada harga sembako dll dll. Itupun pemicu kegaduhan adalah level atas pada perkara mempertegas kebijakan tapi tak melihat sisi lain yang terbuka peluangnya sebagai kegaduhan baru dalam menjemput suksesnya realisasi kebijakan.

Bisa jadi, moyang-moyang kita tidak mungkin percaya bahwa di abad ini, kita masih berdiri di tanah yang subur dan lembab tetapi masih kekurangan gizi. Gizi dan daya tahan tubuh negara ini tergantung pada sukses atau tidaknya realisasi kebijakan pemerintah tentang social distancing.

Itu hanya level bawah. Ataukah ada saat dimana negara sudah menutup mata dan telinga dan menganggap rakyatnya hanya sebagai beban anggaran? beban kegaduhan yang merembet kemana-mana? Atau ada asumsi lain yang lebih fulgar untuk di labelkan kepada rakyat kecil sebagai kelas bawah yang bosan dengan berbagai kebijakan. Itu pun hanya asumsi kosong hanya karena soal keamanan, apa bisa rakyatnya dalam kehidupan sehari harinya dapat menambah beban anggaran?.

Ini yang sering di sebut sebagai keanehan asumsi. Dan Bagaimana pun, kita sama-sama mencari solusi dan meminimalisir ancaman yang ada. Pada akhirnya, kita dapat melihat roda berputar selingkaran penuh dengan kemenangan jika realisasi kebijakan yang dianggap berpihak kepada rakyat ini benar-benar full power 100% sejalan dengan analisa uotputnya. Tapi bukankah itu adalah kerja kerja kita ?







Komentar

Berita Terkini