-->
    |



Pilkada dalam Narasi Covid-19

 


Oleh: Sufrin Ridja

Penulis Adalah Mahasiswa Pascasarjana Hukum Tata Negara pada Universitas Jayabaya Jakarta.

  

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada delapan kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara, akan terjadi patahan karena hanya sebatas narasi ketika masyakat menerima narasi politik para pasangan calon secara mentah, akan melahirkan tata cara penyelenggaraan, serta konflik di kalangan masyarakat secara fisik maupun argumentasi politik yang berujung pada menguras energi. 

Penyelenggara masih sebatas berkutat pada cara pelaksanaannya, sementara rakyat sebagai hak kedaulatan dicuekin, tanpa perantara kompotitor. Bukankah masih sebatas narasi?. 

Pilkada di masa pendemi ibarat memutar waktu. Mengapa tidak, nyaris tak ada yang beda pada tataran penyelanggaraan. Sebab, rata-rata Paslon sekedar memenuhi unsur Pilkada. Artinya, visi dan misi sebatas memenuhi unsur pencalonan Paslon di KPUD. Kondisi ini di perparah dengan perilaku Paslon yang sulit merealisasikan janji ketika terpilih. Paslon perlu tahu, pemilih tak hanya masyarakat awam. Tapi ada klasifikasi pemilih intelektual, termasuk mahasiswa. 

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 8 kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara; Kabupaten Hmahera Timur, Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Kabpuaten Kepulauan Sula, Kabupaten Taliabu, Kota Ternate, serta Kota Tidore Kepulauan, bakal dihelat tanggal 9 desember 2020 mendatang. Pasangan calon, dan elemen masyarakat akan menyalurkan hak pilih masing-masing. Lantas apakah Pilkada berlangsung mulus?.  

Pilkada ditengah pendemi memberi efek tersendiri. Pola lama masih kental, tak seperti sebelumnya kecenderungan Pilkada patahan-patahan  narasi yang dibangun para calon. Visi dan Misi pasangan calon minim mengedukasi warga dengan alasan kerumunan massa. Pilkada masa pendemi bisa di bilang gagal. Bayang-bayang kegagalan, itu ketika kampanye di batasi jumlah warga berkerumun. Penyampaian Visi, dan Misi pasangan calon tak tersalurkan secara maksimal. Mengapa penyelanggara Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) mengabaikam media komunikasi, misalnya media cetak, media online, radio, dan media televisi sebagai saluran kampanye masing-masing pasangan calon.  

Pilkada sengaja di undur hingga 9 desember dari sebelumnya pada 23 september 2020 akibat adanya covid-19. Hemat penulis melanggar konsititusional. Salah satunya pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Apalagi akan digelar yang melibatkan 270 wilayah di Indonesia. Meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, serta 37 kota. Rangkaian Pilkada menerapkan protokol kesehatan dengan menggunakan masker, mencuci tangan, phisical distancing saat pencoblosan ke Tempat Pengumutan Suara (TPS).

Keresahan sebagaimana ulasan di atas dalam Komunikasi Politik Mempertahankan Integritas Akademisi, Politikus, dan Negarawan oleh Leonard W. Doob, mejelaskan komunikator harus diidentifikasi dan kedudukan mereka dalam masyarakat harus ditetapkan. 

Ada tiga kategori yang diidentifikasi, yakni politikus, bertindak sebagai komunikator politik, komunikator profesonal dalam politik,  dan aktivis/komunikator paruh waktu. Sebab, menurut Itzhak Galnoor, komunikasi Politik merupakan bagian dari infrastruktur politik, sebuah kombinasi dari interaksi sosial dimana informasi digabungkan ke dalam karya kolektif dan hubungan kekuasaan yang saling mengisi.

Merujuk pada perspektif komunikasi politik, komunikator politik tanpa menunggu fasilitator menjangkau warga sebagai kedaulatan, apalagi pemilih pemula menyalurkan pesan politik secara baik, dan di terima masyarakat, yang tertebani kondisi kesehatan makin amburadul. Masa kampanye mestinya dimanfaatkan Paslon menyampaikan gagasan barunya untuk kepentingan membangun daerah lima tahun.

Pergulatan Paslon pada ranah Pilkada kini, cenderung euforia semata, tanpa mengedukasi dalam narasi bangunan, kemajuan, serta kesejahteraan warganya di daerah. 

Pilkada selama kurun waktu, janji dalam bentuk Visi dan Misi bagi Paslon, nyaris alergi diperdebatkan di lingkungan kampus. Terlepas dari itu, tak sedikit mahasiswa juga melakukan kajian hanya sebatas narasi kekuatan dari pasangan calon. Bukan janji, yang selanjutnya bisa dikontrol. Sebab, Visi dan Misi hanyalah sebuah gambaran umum, kemudian dijabarkan secara sub. Misalnya pembangunan infrastrktur, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi di daerah. 

Euforia demokratisasi di tengah-tengah pendemi perlu pertimbangan jumlah angka kematian, dan angka positif terpapar meningkat. Karena itu, masyarakat, partai politik, maupun penyelenggraan Pilkada untuk berpartisipasi menjaga kesehatan, menerapkan protokoler yang ketat untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19 di lingkungannya.

Kondisi ini perlu problem solving. Tidak terjebak pada narasi Covid-19 semata, tranformasi pesan politik sepaket dengan covid-19, dikaji secara kemanfaatan, agar masyarakat menerima pesan politik dengan tidak mengabaikan protap protokol kesehatan. Sebab, kondisi ini menganggu psikologis masyarakat yang belum stabil menghadapi pandemik. Intinya, kepentingan Pilkada adalah penentu masa depan daerah lima tahun mendatang. Kepentingan daerah justru menguatamakan keselamatan hidup masyarakat.*)  


Komentar

Berita Terkini