-->
    |


Proklamasi : Refleksi, Makna dan Fenomena

 


Oleh : Finna Fathia Wajo 

Hari ini 17 Agustus 2021, refleksi kemerdekaan Indonesia yang ditandai dengan Upacara kebangsaan untuk mengenang suatu peristiwa bersejarah 76 tahun silam, berlansung di seluruh republik ini. Suatu kemerdekaan yang diawali dengan tampilnya dua tokoh bangsa bernama Soekarno dan Mohammad Hatta yang dinobatkan menjadi dwi-itunggal (karena pengaruhnya yang cukup besar di mata masyarakat saat itu), sebagai representasi seluruh penduduk nusantara ini untuk memproklamirkan kemerdekaan sebuah Negara yang dinamai Indonesia, melalui pembacaan teks proklamasi. Bersama para tokoh bangsa serta komponen pemuda, Soekarno-Hatta tampil di pegangsaan timur No. 56, Menteng - Jakarta Pusat, dalam satu spirit dan tekad yang sudah lama diperjuangkan, yakni mewujudkan Indonesia sebagai Negara berdaulat (sovereign state) yang merdeka dari kolonialisme bangsa-bangsa dunia. Atas inisiator inilah Soekarno-Hatta kemudian disebut-sebut sebagai bapak pendiri bangsa (The Founding Fathers).

Deklarasi yang bernilai sejarah itu dituangkan dalam goresan pena sang proklamator Ir. Soekarno, setelah disepakati dalam sebuah diskusi antara Sukarno dan Hatta bersama Mohammad Yamin dan Ahmad Soebarjo (salah satu perumus teks proklamasi) dan beberapa tokoh bangsa serta komponen pemuda. Teks tulisan tangan itu selanjutnya diketik oleh seorang juru tik bernama Sayuti Malik setelah dilakukan perubahan pada beberapa kalimat tertentu berdasarkan masukan dan saran dari beberapa pihak. (Aman, 2015). Meskipun kemudian dokementasi akta lahir Negara ini “nyaris raib” tanpa perlindungan Negara, karena pasca kemerdekaan Indonesia, perang kembali berkobar sehingga konsentrasi semua komponen bangsa masih tertuju pada upaya menyelematkan bangsa dari serangan militer dan politik Negara penjajah. Beruntunglah akta asli tersebut terselamatkan oleh seorang Jurnalis Republikan berjiwa patriotis bernama M. Diah, setelah distrika karena terkoyak dan disimpannya selama nyaris setengah abad, barulah naskah asli tersebut kembali ke folder Negara. (M. Dahlan, 2021)

Kejadian pada Jumat tanggal 17 Agustus 1945 itu bukan berdiri sendiri secara tunggal, tetapi merupakan puncak dari rangkaian kejadian yang telah terjadi sebelumnya. Proklamasi oleh sebagain orang dianggap sebagai titik kulminasi perjuangan panjang bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya. Dengan demikian adalah keliru jika ada yang beranggapan bahwa kemerdekaan Indonesia didapat sebagai hadiah dari bangsa lain. Memang pernah tercatat dalam sejarah bahwa sebelum proklamasi digelar, pada tanggal 12 Agustus 1945, Jenderal Besar Jepang bernama Terauci sempat menyampaikan kepada beberapa tokoh pergerakan yaitu Ir.Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan dr. Radjiman Wediodiningrat bahwa pemerintah “kemaharajaan” telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun hal tersebut hanyalah bagian dari rangkain perjuangan rakyat Indonesia serta kekalahan politik pemerintahan Jepang terhadap Amerika Serikat. (Rinaldi, 2017).

Uraian di atas tidak bermaksud menguak lebih dalam akar historis dari lahirnya dokumen bersejarah ini,  namun ada banyak pesan dari setiap alinea proklamasi yang singkat tetapi sangat bermuatan filofis dan sosiologis. Teks ini sekaligus menunjukkan ketegasan rakyat Indonesia kepada dunia Internasional tentang jati diri bangsa serta pernyataan sikap rakyat Indonesia untuk merdeka dari rongrongan penjajahan bangsa manapun.

Pertama; di alinea pertama teks proklamasi terdapat kalimat “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Suatu  narasi yang berarti pernyataan dari kemauan seluruh komponen bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. (Aman, 2015: 7). Inilah makna filosofi dan sosiologis bangsa berdaulat (sovereignty state), yaitu terbentuknya suatu negara yang memiliki kekuasan tertinggi untuk mengatur dan menjalankan pemerintahan sendiri, mementukan nasib sendiri, berdiri di atas kemampuan sendiri, sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Negara yang berdaulat karena memegang kekuasaan kenegaraan yang tertinggi, tidak terikat pada kekuasaan Negara lain. Sementara Negara yang tidak terikat pada kekuasaan kenegaraan Negara lain adalah “Negara merdeka”. Dengan demikian Negara yang berdaulat adalah Negara yang merdeka. (Sugeng Istanto,1994). Dalam kaitan ini Soekarno dalam sebuah risalah berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka (1933)”, menyatakan “kemerdekaan adalah “politieke onafhankelijkheid, political independence, tidak lain dan tidak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas....., di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan, kita punya masyarakat”. (Jazim Hamidi, 2006)

Kedua, teks proklamasi ditutup dengan pernyataan, “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Alinea ini merupakan suatu pernyataan pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty) dari kolonialisme penjajah kepada masyarakat Indonesia sesegera mungkin atau dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. (Aman, 2015: 7).  Hal ini menujukkan bahwa Proklamasi tidak sekedar revolusi politik, lebih dari adalah alat hukum dalam menyatakan pengakuan kekuasaan Indonesia kepada dunia Internasional. Mohammad Yamin ketika menafsirkan arti “proklamasi kemerdekaan”, menyatakan bahwa proklamasi sebagai suatu alat hukum internasional untuk menyatakan kepada rakyat dan seluruh dunia, bahwa bangsa Indonesia mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri untuk menggenggam seluruh hak kemerdekaan yang meliputi bangsa, tanah air, pemerintahan, dan kebahagiaan masyarakat”. (Mohammad Yamin, 1952).

Dua uraian tentang arti kemerdekaan di atas, memberikan kita sebuah kongklusi bahwa Indenesia sebagai Negara berdaulat secara hukum maupun politik telah diakui oleh dunia sejak diproklamirkan pada tanggal 17 agustus 1945 silam. Saat ini kemerdekaan itu sudah berjalan 76 tahun atau sudah mendekati satu abad kemerdekaan. Suatu perjalanan kemerdekaan yang cukup lama dan akan terus bergerak dinamis sepanjang keutuhan NKRI ini masih terjaga. Kemerdekaan republik ini memang jauh lebih lama dari beberapa Negara tetangga, diantaranya Malaysia (31 Agustus 1957) dan Singapura (9 Agustus 1965). Tanpa bermasud mengkomparasi untuk menemukan kelemahan Negara ini, namun perlu diakui bahwa ekspansi kedua Negara tersebut sudah jauh lebih maju dari Indonesia yang lebih dahulu merdeka.

Indonesia kini, secara internal masih saja bergelut dengan banyaknya persoalan bangsa yang menjerat kakinya untuk bergerak lebih kencang mewujudkan Negara berdaulat sebagaimana ekpektasi para pendiri bangsa. Peliknya persoalan politik kebangsaan, rapuhnya tata kelola pemerintahan, tabiat penyelenggara Negara, ketidak-adilan, ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, korupsi, kolusi dan nepotisme serta terorisme, intoleransi dan kejahatan kemanusiaan lainnya adalah bagian dari banyaknya persoalan yang tidak terpisahkan dalam keseharian hidup berbangsa dan bernegara di republik ini. Sementara secara ekternal, bangsa ini dihadapkan pada tantangan kehidupan dunia internasional yang semakin kompleks, baik di bidang politik, pertahanan dan keamanan, perekonomian global, kemajuan Informasi dan tekhnologi yang sulit dihindari, serta isu-isu kemanusiaan seperti HAM dan terorisme serta fenomena wabah penyakit covid 19 yang juga menjadi permasalah besar bangsa.

Meskipun perubahan bagi bangsa ini  terasa berat, namun perlu disadari bahwa gerakan para pendahulu dalam memerdekakan bangsa dengan segala keterbatasannya dari rongrongan kolonialisme jauh lebih berat. Berkat perjuangan merekalah Indonesia dalam pergaulan Internasional diakui sebagai salah satu Negara berdaulat dengan gelar sebagai “Negara berkembang” (developing state). Meskipun oleh Hasan Al-Banna menyebut sandangan ini hanyalah ungkapan halus sebagai “Negara miskin” dari Negara-negara maju. Menurut Al-Banna, negara berkembang (termasuk Indonesia) memang sudah tidak dijajah lagi secara “kolonialisme” namun penjajahan terhadap terhadap Negara ini masih terus berlansung secara “imprealisme” melalui kebijakan ekonomi Internasional dari Negara-negara maju. Dan Indonesia adalah bagian dari wilayah jajahan imprealisme asing itu. Sebut saja ketergantungan Indonesia untuk hidup dan membangun dengan cara berhutang ratusan triliun, mengimport sebagai besar kebutuhan barang dan jasa, menyerahkan sejumlah kekayaan alam pada perusahaan asing dan lainya sebagai bagian dari fakta penjajahan imprealisme bangsa-bangsa asing di Indonesia saat ini.  

Untuk itu dihari kemerdekaan ini, sebagai warga Negara kita semua berharap agar peringatan ini tidak sekedar berevoria dengan rutinitas setiap tanggal 17 agustus. Melainkan menjadi momentum refleksi bagi para pemangku kementingan untuk bergerak menata perjalanan bangsa ini menjadi lebih maju dan berdaulat. Saat ini ekspektasi masyarakat bertumpu pada kepemimpinan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang telah bertekad dihadapan rakyat Indonesia untuk membawa bangsa ini lebih produktif, memiliki daya saing, dan fleksibilitas tinggi dalam menghadapi perubahan di dunia. (https://indonesiabaik.id/infografis). Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf untuk segera mengimplementasikan visi tersebut. Melalui peringatan kemerdekaan ini, kita berharap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf memiliki strategi yang tepat untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis ekonomi, lingkungan, kemanusiaan, politik, hukum, dan budaya yang sedang dialami masyarakat. Sebagaimana strategi para pendahulu untuk merebut kemerdekaan dari tangan kolonialisme.     

Yaumil Milad Bangsaku

Abdiku Padamu

Bhaktimu Padaku

 

Komentar

Berita Terkini