-->
    |


Opini : Suara Mahasiswa Apatis

Oleh : Hartini Muhammad 

(Mahasiswa semester 6 Ilmu Administrasi Negara, Universitas Nuku)


Kondisi persaingan mahasiswa di lingkungan kampus saat ini telah mengalami degradasi dalam praktek menunjang pendidikan yang layak, ilmiah dan demokratis.

Tulisan ini hadir sebagai ruang menyampaikan hal-hal berkaitan fenomena mahasiswa apatis yang penulis serta rekan-rekan mahasiswa seperjuangan ikut merasakan. Fenomena kuat mahasiswa apatis atau acuh tahu terhadap kewajibannya sebagai civitas academica membuat penulis terdorong untuk menyuarakan dan menuangkan rasa emosional ini dalam tulisan tidak berseni ini. Dan bagi penulis, fenomena mahasiswa apatis tidak terjadi tanpa sebab.

Berbicara soal mahasiswa sangat berkaitan dengan Tri Dharma perguruan tinggi yang harus di junjung tinggi oleh personal civitas academica. Gunanya tentu saja untuk mewujudkan kehidupan intelektual yang nyata di kampus agar bisa menjadi pelopor saat kembalinya mahasiswa ke lingkungan masyarakat.

Tiga kewajiban tersebut ialah Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, dan Pengabdian Kepada Masyarakat.

"Menjadi seorang mahasiswa adalah sebuah privilege atau hak istimewa yang dimiliki setiap pemuda" kurang lebih demikian pernyataan Najwa Shihab. 

Tentu benar yang di utarakan perempuan yang akrab di sapa mba Nana ini karena selain sebagai Agent Of Change atau agen perubahan, mahasiswa juga berfungsi sebagai Social Control atau kontrol sosial, Moral Force atau punya kekuatan moral, Iron Stock atau para penerus bangsa dan Guardian Of Value atau sebagai penjaga nilai-nilai yang luhur.

Dari beberapa peran atau fungsi mahasiswa tersebut rupanya tidak semuanya diketahui dan bahkan melekat pada personal mahasiswa. Padahal peran serta fungsi-fungsi ini hanya penggalan jati diri mahasiswa yang harus dijunjung tinggi dan menjadi instrumen menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam mewujudkan pendidikan yang ilmiah dan demokratis.

Lalu, faktor apa saja yang mendasari sikap apatis para mahasiswa?

Penulis coba memilah faktor internal dan eksternal setiap mahasiswa. Misalnya beberapa faktor secara eksternal yang kemudian merangsang mahasiswa untuk bisa menjadi apatis, salah satunya terkait fenomena "dosen raib" atau dosen yang jarang masuk atau tidak masif dalam melakukan aktivitas perkuliahan. 

Selain itu juga kebebasan mahasiswa yang dibungkam dan berujung pada ancaman nilai rendah pasca mahasiswa mengkritisi kampus dan dosen yang bersangkutan juga rupanya memicu sikap apatis mahaiswa. Dua gambaran itu kemudian menjadi cerminan hilangnya hak mahasiswa dalam menerima pendidikan.

Faktor eksternal diri mahasiswa yang lainnya ialah lingkungan pendidikan kaum intelektual yang kental dengan unsur nepotisme serta kapitalisme. Kondisi yang marak terjadi di indonesia tak terkecuali pada perguruan tinggi negeri atau PTN serta dominan terjadi di perguruan tinggi swasta atau PTS. Tak bisa kita pungkiri bahwa kondisi nyata di lapangan sering terjadi dan berunsur nepotisme seperti beasiswa yang tidak tepat sasaran bagi yang berhak mendapatkannya dan hal ini sering terjadi di perguruan tinggi swasta atau PTS di negeri ini.

Setelah dipengaruhi dan terangsang dengan adanya lingkungan kampus yang dipolitiasi dan disusupi kepentingan-kepentingan segelentir orang menyebkan mahasiswa semakin jauh dari tugas mahasiswa apalagi dalam perihal menjunjung tinggi Tri Dharma Perguruan Tinggi. 

Faktor internal diri mahasiswa ialah susah keluar dari lingkungan yang membuatnya menjadi apatis hingga akhirnya larut dalam diri mahasiswa yang apatis.

Sebagaimana yang termuat dalam laporan statistik indonesia bahwa ada sekitar 2.982 unit Perguruan Tinggi di Indonesia pada tahun 2022 merupakan perguruan tinggi swasta (PTS) dan ada 125 unit perguruan tinggi di Indonesia berasal dari perguruan tinggi negeri (PTN), dengan jumlah PTS atau perguruan tinggi swasta yang mendominasi di negara ini juga bisa saja menjadi peluang semakin maraknya pendidikan transaksional di rana kaum intelektual, sebab minim peluang bagi terwujudnya pendidikan yang gratis,ilmiah dan demokratis.

Karlina Supelli, salah seorang astronomer perempuan pertama pernah menyatakan bahwa "Pendidikan itu tidak hanya mengolah akal budi, tapi juga mengolah batin/emosi. Maka dengan kata lain Karlina menyatakan bahwa orang yang berpendidikan ialah orang yang mengerti betul bagaimana hidup bersama, berbangsa/bernegara dan hidup dalam kemanusiaannya.

Maka penulis sepakat bahwasannya kehidupan kaum intelektual sudah barang tentu paham seperti apa tindakan manusia yang berpendidikan layaknya tujuan pendidikan menurut bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara bahwa "tujuan pendidikan ialah memanusiakan manusia".

Dan hadirnya tulisan ini juga merupakan representasi apa yang dialami oleh penulis serta beberapa rekan-rekan mahasiswa yang penulis coba kemas dalam tulisan tidak berseni ini.menutup tulisan kali ini penulis Mengutip bait puisi Kawan Dan Berlawan 4 dalam buku Kawan dan Berlawan karya Dominggus Oktavianus, "Dan celakalah rasa takut yang mencegah manusia untuk menjadi manusia".

Dari penggalan bait puisi tersebut, penulis meyakini upaya yang harus dilakukan sang agen of change, sang control sosial selaku cerminan masyarakat dan penerus bangsa yang mengaku berpendidikan ialah melawan hal-hal yang melenceng dari Tri Dharma perguruan tinggi atau keluar dari tantangan dalam diri kita sebagai mahasiswa yang apatis dengan pendidikan hingga dapat mewujudkan pendidikan yang ilmiah dan demokratis bukannya menjadi kerbau yang selalu ditarik sang pemilik dengan tali. Cukup sudah dijajah bangsa sendiri dengan kepentingan bedebah negara.

#SalamAkalSehat

Komentar

Berita Terkini