-->
    |

11 Warga Adat Maba Sangaji Divonis Bersalah Usai Pertahankan Tanah Adat, JATAM Sebut Bentuk Kriminalisasi Pembela Lingkungan

Foto: JATAM Maluku Utara

Reportmalut.com - Sebelas warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore Kepulauan, dengan hukuman lima bulan delapan hari penjara. Mereka dinyatakan melanggar hukum usai menolak aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan oleh PT Position di wilayah adat mereka.

Putusan tersebut memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak, termasuk Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional dan JATAM Maluku Utara.

Organisasi advokasi lingkungan itu menilai vonis tersebut merupakan bentuk nyata kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanah dan lingkungan hidupnya dari ancaman tambang.

Menurut JATAM, 11 warga yang divonis bersalah adalah bagian dari kelompok masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan, sungai, dan lahan pertanian yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Konflik bermula saat warga melakukan ritual adat sebagai bentuk penolakan terhadap kegiatan tambang nikel yang dinilai telah merusak kawasan hutan dan mencemari aliran sungai. Namun, aksi damai itu justru berujung pada penangkapan massal oleh aparat kepolisian.

Dari hasil penelusuran JATAM, penangkapan terhadap 27 warga dilakukan secara sewenang-wenang dan bahkan menggunakan kendaraan milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).

Hal ini, menurut JATAM, menunjukkan adanya dugaan keterlibatan perusahaan tambang dalam operasi penegakan hukum. Selain itu, warga juga disebut mengalami intimidasi, pemaksaan tanda tangan tanpa pendamping hukum, hingga kekerasan fisik selama proses pemeriksaan.

JATAM menilai, putusan pengadilan terhadap warga adat Maba Sangaji bertentangan dengan sejumlah regulasi yang seharusnya melindungi pembela lingkungan, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PermenLHK Nomor P.22 Tahun 2018, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Anti-SLAPP.

Menurut JATAM, ketiga peraturan tersebut secara tegas memberikan perlindungan hukum bagi warga yang memperjuangkan kelestarian lingkungan dari ancaman perusakan. Namun, dalam praktiknya, hukum justru digunakan untuk menekan mereka yang bersuara.

Oleh karenanya itu, Jatam Nasional maupun Jatam Maluku Utara menuntut:

  1. Mahkamah Agung RI meninjau ulang vonis hakim PN Soasio dan memulihkan nama baik serta hak-hak 11 warga adat Maba Sangaji.

  2. Kepolisian RI melakukan pemeriksaan internal terhadap aparat yang terlibat dalam penangkapan ilegal dan penggunaan fasilitas perusahaan tambang untuk operasi penegakan hukum.

  3. Kementerian Lingkungan Hidup segera menjalankan amanat PermenLHK No. P.22/2018 dan memastikan mekanisme perlindungan nyata bagi pembela lingkungan hidup.

  4. Presiden Republik Indonesia harus turun tangan langsung untuk menghentikan praktik kriminalisasi pembela lingkungan, mencabut izin penambangan PT Position di Halmahera Timur, serta memastikan pemulihan lingkungan hidup dan sosial bagi masyarakat terdampak.

JATAM menegaskan bahwa kasus Maba Sangaji menjadi cermin buram wajah penegakan hukum di Indonesia, di mana masyarakat adat yang menjaga bumi justru dikriminalisasi, sementara perusak lingkungan dibiarkan bebas.

kasus ini diharapakan tidak berhenti di meja sidang, tetapi menjadi momentum bagi pemerintah untuk menegakkan keadilan ekologis dan menghentikan impunitas perusahaan tambang di tanah air.

Komentar

Berita Terkini