-->
    |


Bobo Isa : Jejak Sejarah Ekspansi Sosial-Ekonomi dari Desa Bobo ke Halmahera Barat

Penulis :
Alifan Kene (Pemuda Kelurahan Bobo, Tikep)

Desa Bobo, yang secara administratif ditetapkan sebagai desa definitif pada tahun 1963, merupakan titik awal dari sebuah perjalanan panjang pembangunan dan transformasi sosial-ekonomi masyarakatnya. 

Terletak di wilayah Maluku Utara, komunitas Bobo segera memulai upaya perbaikan kualitas hidup melalui pembangunan infrastruktur, khususnya di sektor perumahan dan permukiman, yang dipimpin oleh sejumlah tokoh masyarakat. Kebutuhan bahan bangunan mendorong mereka menjelajahi wilayah Halmahera untuk mendapatkan sumber daya, terutama kayu, yang menjadi bahan utama pembangunan rumah-rumah di desa baru mereka.
 
Perjalanan eksploratif ini pada akhirnya membawa sebagian warga Bobo ke wilayah selatan Kecamatan Jailolo, Halmahera Barat, sebuah kawasan yang saat ini dikenal sebagai Desa Suka Damai.

Proses ini berawal pada tahun 1967, ketika Almarhum Haruna Muhammad, seorang tokoh visioner dari Bobo, (Kami, Generasi muda memanggilnya Tete Runa), memimpin rombongan dengan perahu semang menuju wilayah Tanjung Nenas, saat itu masih (wilayah Desa Akeara) untuk mengambil kayu untuk kebutuhan pembangunan rumah.

Dalam bahasa lokal, Kayu Rumah merujuk pada bahan balok, papan, atau lainnya dari bahan kayu yang dipotong sesuai ukuran tertentu. Kawasan ini pada waktu itu berada di bawah kuasa adat suku Tobaru.

Di Tanjung Nenas, Alm Haruna bertemu dengan dua bersaudara dari Suku Tobaru, Nikodemus Djawa dan Kisman Djawa, yang kemudian memberikan izin secara terbuka dan ikhlas kepada alm Haruna dan kelompoknya untuk mengambil kayu. Lebih jauh dari sekadar eksploitasi sumber daya, Haruna melihat potensi besar wilayah ini sebagai kawasan pertanian yang dapat menunjang ketahanan pangan bagi komunitas Bobo yang sedang berkembang saat itu.

Dengan semangat kolektif dan visi jangka panjang, Haruna kemudian mengupayakan agar wilayah ini dapat dikelola oleh warga Bobo. Berkat ketulusan dua bersaudara dari Tobaru tersebut, Haruna memperoleh izin pengelolaan secara adat untuk kepentingan masyarakat Bobo yang datang dari pulau utama Tidore.

Sekembalinya ke Bobo, Haruna Muhammad menggalang warga untuk memulai ekspansi sosial-ekonomi ke wilayah Tanjung Nenas. Tahun 1979 menjadi tonggak penting dalam proses migrasi ini, ditandai dengan gelombang kedua kedatangan warga Bobo ke wilayah tersebut. Sebanyak 73 pemuda diberangkatkan di bagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama disebut Jala Ibi dipimpin oleh Ibrahim dan kelompok kedua, Bobo Isa dipimpin oleh Kenau Sehat dan diberikan wilayah pertanian lebih ke pedalaman yang kini dikenal sebagai jalur utama Trans Halmahera.

Dari semangat para pemuda inilah geliat pembangunan dimulai. Lahan untuk masjid, lapangan bola, dan kawasan pemukiman dibebaskan dengan anggaran swadaya sebesar Rp 1.800.000, sebuah nilai yang mencerminkan komitmen kuat masyarakat dalam membangun kehidupan baru.

Wilayah ini pun kemudian menjadi bagian administratif dari Desa Akeara, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Ternate, dan diberi nama Bobo Isa, dengan Haruna Muhammad diangkat sebagai kepala dusun pertama.

Dalam tahap awal pengelolaan sektor pertanian, warga Bobo Isa menjadikan kakao sebagai komoditas unggulan, diikuti dengan penanaman jagung, singkong, dan aneka sayuran. Hasil pertanian mereka dipasarkan hingga ke Kabupaten Ternate.

Bobo Isa saat itu terbagi atas dua wilayah, di pesisir (Tanjung Nenas) dan wilayah Pedalaman. Seiring perkembangan waktu dan pertumbuhan jumlah penduduk, wilayah ini mengalami pemekaran administratif. Pada tahun 2013, Bobo Isa resmi dimekarkan menjadi desa mandiri dengan status administratif baru. Jafar Hamisi, alumnus Tsanawiyah Mareku Tidore Tahun 1978, ditunjuk sebagai pejabat pelaksana tugas kepala Desa pertama.

Transformasi administratif ini juga membawa perubahan nama. Atas kebijakan Pemerintah Kecamatan Jailolo Selatan, nama Bobo Isa diubah menjadi Desa Suka Damai, sebuah penanda baru atas semangat damai dan kerja sama antar komunitas, khususnya antara warga Bobo dan keluarga besar suku Tobaru di Akeara. Desa ini kemudian terdiri atas tiga Rukun Tetangga yang menjadi tulang punggung pemerintahan lokal.

Jafar Hamisi, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Om Jef, memegang tiga prinsip utama dalam memimpin desa : Kejujuran, Cinta Kasih kepada rakyat, dan Cinta akan Desanya. Ia memulai pembangunan dengan pendekatan partisipatif, menanamkan nilai-nilai luhur kepada warganya. Dalam satu kesempatan, ia mengingatkan;

 Bahwa Desa ini dibangun atas dasar keikhlasan dan kebenaran, dua fondasi moral yang harus senantiasa dijaga. 

Ia juga mengutip pesan almarhum Haruna Muhammad (Tete Runa) dalam bahasa Tidore:

Soninga! Gahi gam ge gati gahi gura, gure hisa laha-laha, ua soho susu oyo joro.” (Ingat! Membangun wilayah itu seperti berkebun, pagari dengan baik agar tak dimakan hama babi hutan)
Om Jef juga mengenang jasa para peletak dasar kehidupan masyarakat Bobo, seperti Kepala Desa pertama Bobo, Jumati Hadi; tokoh agama Ahmad Lampa dan Tete Madi; yang bersama-sama membangun pondasi agama dan pendidikan bagi generasi Bobo di tanah baru mereka.

Mewakili segenab generasi pendahulu dan generasi baru, penulis menyampaikan Penghargaan khusus kepada keluarga besar suku Tobaru, khususnya kepada mantan Kepala Desa Akeara, Moses Djawa. Tanpa ketulusan dan kasih yang mereka berikan, wilayah ini mungkin tidak akan berkembang sebagaimana hari ini. Sejarah Bobo Isa atau Desa Suka Damai adalah sejarah kolaborasi, kepercayaan, dan penghormatan antar komunitas adat. Sebuah warisan berharga yang harus terus dijaga oleh generasi masa depan.
 
Disclaimer:

Tulisan ini ditulis dan disusun berdasarkan sumber-sumber yang tersedia dan ingatan kolektif masyarakat yang dapat diakses pada saat observasi lapangan dan wawancara penulisan pada sumber. 

Penulis menyadari bahwa keterbatasan data dan dokumentasi historis dapat menyebabkan adanya ketidaktepatan dalam penyebutan nama tokoh, tempat, maupun kronologi peristiwa. Oleh karena itu, kritik, saran, serta koreksi dari berbagai pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan narasi ini, agar sejarah yang tertuang dapat menjadi cerminan yang utuh dan akurat bagi generasi mendatang.


Komentar

Berita Terkini